MOHON MAAF
TAHAP REVISI
Pernikahan siri antara Nirmala Wongso dan juga Seno Aji Prakoso membuahkan hasil seorang anak laki-laki yang tidak pernah diakui oleh Seno, karena ia takut keluarga besarnya akan tahu tentang aibnya yang diam-diam menikahi gadis pelayan di club malam.
Setelah dinyatakan hamil oleh dokter Seno mulai berubah dan menyuruh Nirmala untuk menggugurkan kandungannya jika masih tetap ingin menjadi istrinya.
Namun Nirmala memilih jalan untuk mempertahankan buah hati dan meninggalkan kemewahannya bersama dengan Seno.
Penasaran?? ikuti jalan kisah Nirmala yang penuh dengan lika-liku kehidupan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Tiga hari berlalu sejak Nirmala dirawat. Kondisinya mulai membaik. Wajahnya tidak lagi sepucat kemarin dan setiap kali ia menatap Alaska, senyumnya selalu hadir meski masih lemah.
Pagi itu, dokter masuk ke ruangan sambil memeriksa hasil pemeriksaan terakhir. Ia tersenyum hangat kepada keduanya.
“Alhamdulillah, Ibu Nirmala sudah boleh pulang hari ini. Tapi harus banyak istirahat di rumah, ya. Jangan memaksakan diri bekerja dulu.”
Nirmala menatap Alaska yang langsung tersenyum lega.
“Makasih banyak, Dok,” ucapnya dengan nada tulus.
Setelah dokter pergi, perawat datang membawa berkas administrasi dan beberapa obat. Namun wajahnya tampak sedikit ragu.
“Ibu, ini resep obat dan surat pulang. Tapi… biaya perawatan masih belum dilunasi semuanya. Mungkin Ibu bisa ke bagian kasir dulu.”
Wajah Nirmala berubah sendu. Ia menunduk pelan, menatap Alaska yang duduk di kursi samping ranjang. Anak kecil itu segera paham, lalu berucap lirih,
“Bu, uang kita masih cukup, kan?”
Nirmala berusaha tersenyum agar anaknya tak khawatir.
“Iya, Nak… insyaallah cukup. Ibu urus sebentar, ya.”
Namun saat ia membuka lipatan kain kecil tempat menyimpan uang hasil bekerja di ladang dan jualan jamur, yang tersisa hanya beberapa lembar rupiah lusuh. Hatinya bergetar. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
“Ya Allah… beri jalan keluar. Aku tak ingin anakku melihat aku lemah,” doanya dalam hati.
Tak lama kemudian, seorang perawat laki-laki yang sempat melihat perjuangan Alaska malam itu menghampiri mereka. Ia menatap Nirmala dengan lembut.
“Bu, tadi saya sudah sampaikan ke kepala ruangan tentang kondisi Ibu. Biayanya sudah dibantu sebagian lewat dana sosial rumah sakit. Jadi Ibu hanya perlu bayar obatnya saja.”
Nirmala tertegun ia tidak pernah menyangka jika rejekinya datang tanpa ia duga, Nirmala menatap perawat itu, matanya berkaca-kaca.
"Apa benar ini," ucap Nirmala dengan anakan air mata yang mulai membasahi pipinya.
Perawat itu kembali menatap dengan senyuman hangat. "Aku tidak sengaja melihat perjuangan tangguh anak Ibu, semoga kelak ia menjadi anak yang sukses," sahut perawat itu.
“Masya Allah… terima kasih banyak. Saya… saya gak tahu harus bilang apa.”
Perawat itu tersenyum kecil. “Gak apa-apa, Bu. Anak Ibu luar biasa. Jarang saya lihat anak sekecil itu bawa ibunya sendirian ke rumah sakit. Itu sudah lebih dari cukup untuk mengetuk hati siapa pun.”
Air mata Nirmala menetes. Ia menatap Alaska yang menunduk malu, lalu mengusap kepalanya penuh kasih. “Laska… Allah selalu punya cara untuk menolong hamba-Nya yang sabar, Nak.”
Anak kecil itu mengangguk. “Berarti Allah sayang sama kita, ya Bu?”
“Iya, Nak. Sangat sayang."
☘️☘️☘️☘️
Beberapa jam kemudian, mereka akhirnya keluar dari rumah sakit. Nirmala mengenakan kerudung lusuhnya, sementara Alaska mendorong gerobak kayu kecil yang dulu ia pakai untuk membawa sang ibu. Bedanya, kali ini tidak ada panik dan tangis hanya rasa syukur yang menenangkan.
Mereka berjalan perlahan menyusuri jalan kampung. Udara siang terasa hangat, dan suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin terdengar menenangkan. Di tangan Nirmala tergenggam erat tas kecil berisi obat-obatan.
“Bu, nanti kalau Ibu udah sembuh, aku bantu jualan lagi ya. Aku juga bisa bantu dorong gerobak untuk bawa kayu bakar,” ujar Alaska sambil tersenyum polos.
Nirmala menatapnya, senyum mengembang di bibirnya.
“Iya, Nak. Tapi sekarang, Ibu maunya kamu fokus sekolah dulu. Ibu yang akan berjuang cari rezeki.”
“Tapi aku juga mau bantu, Bu.”
“Kamu bantu Ibu dengan doa aja dulu, ya. Itu sudah cukup,” ucap Nirmala lembut.
Mereka terus berjalan di bawah sinar matahari sore yang mulai condong. Setiap langkah terasa berat tapi penuh harapan.
Saat sampai di ujung jalan, rumah kayu sederhana mereka tampak dari kejauhan. Catnya sudah pudar, tapi bagi Alaska dan Nirmala, rumah itu adalah tempat paling indah di dunia, tempat yang mereka sebut rumah dengan doa yang tak pernah putus.
Nirmala berhenti sejenak, menatap langit biru yang mulai berubah jingga.
“Alhamdulillah, Ya Allah… Engkau masih izinkan kami pulang bersama,” ucapnya pelan, menatap anaknya yang kini menggenggam tangannya erat.
Alaska tersenyum, matanya berbinar.
“Ayo, Bu… kita pulang.”
Dan di bawah langit senja itu, dua sosok tangguh berjalan berdampingan ibu dan anak yang pernah diuji oleh getirnya hidup, tapi selalu diselimuti kasih, iman, dan doa.
☘️☘️☘️☘️
Beberapa minggu setelah keluar dari rumah sakit, keadaan Nirmala mulai berangsur membaik. Meski tubuhnya belum sepenuhnya kuat, semangat hidupnya tumbuh kembali. Di kebun tangan kecil itu mulai kembali mencari sepotong kayu yang sudah berserakan, aroma tanah basah sisa hujan semalam tidak menghentikan langkahnya tanda bahwa roda kehidupan mereka mulai berputar lagi.
Alaska berdiri di samping ibunya, tangannya cekatan ikut mengikat kayu hasil buruan ibunya, dan wajahnya selalu tampak serius saat bekerja.
“Bu, aku bantu angkat gerobak, ya?” ujarnya sambil mengusap keringat di dahi.
Nirmala tersenyum lembut. “Pelan-pelan aja, Nak. Badan kamu masih kecil, nanti malah sakit.”
“Gak apa-apa, Bu. Aku kuat kok.”
Kayu-kayu hasil pencariannya mulai dimasukkan ke dalam gerobak, Dan memang, sejak pagi hingga sore, Alaska selalu setia menemani ibunya di kebun. Ia dorong gerobak kecil itu melewati jalanan yang tidak mulus, namun keahliannya sudah tidak diragukan lagi, karena setiap harinya ia susah bertempur melewati medan yang cukup curam.
Di pertengahan jalan, Alaska bertemu dengan teman-temannya, mereka ada yang mengejek, menertawakan karena anak itu mendorong gerobak, namun Alaaja tidak pernah menghiraukan, keinginannya untuk membantu sang ibu begitu kuat.
“Aku gak mau Ibu kerja sendirian lagi.”
☘️☘️☘️☘️☘️
Malam hari, setelah selesai membantu ibunya, Alaska sering duduk di ruang tamu sambil menonton TV. Ia menatap acara TV itu dengan serius, terdengar suara marching band dari televisi yang ia tonton hati kecilnya bergetar melihat tentara yang sedang latihan.
Setiap kali mendengar suara itu, dadanya berdegup. Ada sesuatu dalam dirinya yang terpanggil sebuah tekad yang tumbuh diam-diam sejak kecil menjadi pelindung, seperti doa ibunya.
“Bu… nanti kalau aku sudah besar, aku mau jadi tentara.” ucapnya sambil menunjukkan acara yang sedang ia tonton.
Nirmala menoleh, menatap anaknya yang berbicara dengan kesungguhan luar biasa.
“Tentara? Kenapa, Nak?”
“Biar bisa jaga Ibu. Biar gak ada yang nyakitin Ibu lagi.”
Seketika air mata menetes di pipi Nirmala. Ia tersenyum sambil mengusap kepala anak itu.
“Masya Allah, semoga Allah kabulkan cita-citamu, Nak. Tapi ingat, jadi tentara bukan cuma soal kekuatan, tapi juga soal hati yang bersih.”
“Aku janji, Bu. Aku bakal tetap baik, walau nanti udah pakai seragam.”
☘️☘️☘️☘️☘️
Di tempat lain, di kota yang jaraknya ratusan kilometer dari kampung Nirmala, seorang pria paruh baya duduk santai di tepi pantai bersama istri dan kedua anaknya. Langit sore begitu cerah, warna jingganya terpantul di permukaan laut yang berkilau lembut.
Di sebuah pantai yang tenang di pinggir kota, ombak berkejaran memecah batu karang, dan aroma laut bercampur semilir angin sore yang lembut. Seorang pria paruh baya duduk bersila di atas tikar piknik bersama keluarganya. Ia adalah Seno, lelaki berwajah teduh dengan rambut mulai beruban di sisi pelipisnya.
Di sampingnya, Nadira, sang istri, tengah sibuk menyiapkan bekal makan sore nasi hangat, ayam goreng, dan buah yang sudah dipotong rapi ala-ala piknik di tepi pantai. Sementara dua gadis kecil berlarian di tepi pasir, tertawa riang sambil memungut kerang yang terhempas ombak kecil.
“Papi! Lihat ini, cantik banget!” teriak Alice, si sulung berusia tujuh tahun, sambil menunjukkan kerang mungil berbentuk hati.
Seno tersenyum tipis, menatap anaknya dengan lembut.
“Iya, cantik banget. Itu buat Mami, ya?”
“Enggak! Buat Papi!” sela Alula, si bungsu, membuat Nadira tertawa kecil.
“Aduh, dua-duanya rebutan kasih sayang Papi, nih,” goda Nadira sambil menyodorkan air minum ke suaminya.
Seno menerima gelas itu, mengucap terima kasih pelan. Dari luar, pemandangan keluarga kecil itu tampak sempurna—hangat, sederhana, dan penuh cinta. Tapi di balik senyum yang ia paksakan, ada sesuatu yang menggelayut di benak Seno.
Tatapannya tiba-tiba mengarah ke laut. Ombak bergulung perlahan, dan di balik birunya yang tenang, seolah ada kenangan lama yang menunggu untuk muncul ke permukaan.
Nirmala...
Nama itu melintas begitu saja di kepalanya, diiringi denyut pelan di dadanya.
Ia masih ingat perempuan itu wajahnya lembut, matanya jernih, tutur katanya sopan. Sehingga membuatnya kecantol meskipun susah mempunyai istri.
Tapi saat Nirmala hamil, ketakutan menguasai Seno. Ia memilih pergi tanpa pamit, tanpa sepatah kata pun. Hanya meninggalkan luka, dan seorang perempuan yang mungkin menunggu dalam air mata.
Seno menarik napas panjang, menatap pantulan cahaya senja di air laut yang mulai keemasan.
“Bagaimana kabarmu sekarang, Nirmala? Dan dimana keberadaan mu, apakah anak kita tumbuh dengan baik?" Pertanyaan itu berputar dalam kepalanya, tapi bibirnya diam.
“Papi, makan yuk! Nasinya udah dingin,” suara Nadira memecah lamunannya.
Seno tersentak kecil, lalu tersenyum agar tak terlihat aneh.
“Iya, sayang. Papi ke situ, ya.”
Ia beranjak, duduk di antara Nadira dan anak-anaknya. Alula menyuapi ayahnya sepotong ayam sambil tertawa.
“Papi harus makan biar kuat! Nanti Papi bisa gendong Alula tinggi-tinggi!”
Tawa kecil itu membuat Seno menunduk. Ada perasaan aneh di dadanya antara bahagia dan bersalah.
“Aku punya keluarga yang bahagia sekarang... tapi ada bagian hidup yang dulu kutinggalkan begitu saja.”
Angin laut kembali bertiup, membawa aroma asin dan suara burung camar.
Di langit, matahari mulai turun ke ufuk barat, memancarkan cahaya lembut yang memantul di mata Seno. Ia menatap laut dalam diam, matanya berkabut oleh kenangan.
“Maafkan aku, Nirmala... semoga hidupmu baik-baik saja di luar sana,” ucapnya pelan dalam hati.
☘️☘️☘️☘️
Sementara itu, di tempat lain jauh di kampung sederhana yang dulu pernah menjadi saksi langkah kakinya seorang anak lelaki kecil tengah berlatih dengan semangat, mengangkat kayu dan berlari menempuh jalan berbatu.
Ia tumbuh menjadi anak yang kuat, dengan doa ibunya di setiap langkah.
Dan tanpa Seno tahu, darahnya sendiri sedang berjuang keras demi cita-cita menjadi pelindung bangsa.
Bersambung ....