Isabella Rosales mencintai Alex Ferguson dan ketiga anak kembar mereka—Adrian, Eren, dan Alden—lebih dari hidupnya sendiri. Namun, kebahagiaan mereka direnggut secara paksa. Berasal dari keluarga Rosales yang merupakan musuh bebuyutan keluarga Ferguson, Isabella diancam oleh keluarganya sendiri: tinggalkan Alex dan anak-anaknya, atau mereka semua akan dihancurkan.
Demi melindungi orang-orang yang dicintainya, Isabella membuat pengorbanan terbesar. Ia berpura-pura meninggalkan mereka atas kemauannya sendiri, membiarkan Alex percaya bahwa ia adalah wanita tak berperasaan yang memilih kebebasan. Selama lima tahun, ia hidup dalam pengasingan yang menyakitkan, memandangi foto anak-anaknya dari jauh, hatinya hancur setiap hari.
Di sisi lain kota, Celine Severe, seorang desainer yatim piatu yang baik hati, menjalani hidupnya yang sederhana. Jiwanya lelah setelah berjuang sendirian begitu lama.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang tragis. Sebuah kecelakaan hebat terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Malam itu, bagi Alex Ferguson, tidur adalah kemewahan yang tidak bisa ia jangkau. Ruang kerjanya yang luas di jantung Rumah Awan Pelangi, yang biasanya menjadi benteng ketenangannya, kini terasa seperti ruang interogasi. Cahaya biru dari layar komputernya memantulkan bayangan tajam di wajahnya saat ia menggali lebih dalam ke dalam kebohongan yang disajikan dengan begitu meyakinkan oleh Celine Severe.
Firma arsitektur "Citra Angkasa" memang ada, dan memang benar mereka adalah kontraktor utama untuk proyek ini. Mendiang Tuan Hermawan juga tercatat sebagai kepala arsitek lanskap. Sejauh ini, cerita Celine akurat. Namun, di situlah jejaknya berakhir. Mencari daftar intern dari enam tahun yang lalu sama seperti mencari sebutir pasir di padang gurun. Tidak ada catatan digital yang bisa diakses publik. Ia menemukan beberapa artikel lama tentang pameran proyek mahasiswa dari universitas ternama, berharap menemukan nama Celine Severe di sana, tetapi hasilnya nihil.
Wanita itu seperti hantu. Ceritanya kokoh di permukaan, tetapi fondasinya tidak dapat ditemukan. Frustrasi menggerogoti dirinya. Kurangnya bukti tidak membuktikan kebohongan, tetapi juga tidak membenarkan kepercayaannya. Itu hanya memperdalam misteri, mengubah kecurigaan menjadi obsesi yang dingin. Ia bisa saja menelepon kontak lamanya di Citra Angkasa, tetapi apa yang akan ia tanyakan? "Apakah Anda ingat seorang anak magang tidak penting dari bertahun-tahun yang lalu?" Pertanyaan seperti itu akan menimbulkan lebih banyak pertanyaan. Ia butuh pendekatan yang lebih halus. Untuk saat ini, ia hanya bisa mengamati.
Bagi Isabella, pagi setelah pengakuannya terasa seperti berjalan di atas lapisan es tipis di atas danau yang dalam. Setiap langkah terasa berbahaya, setiap suara bisa memecahkan permukaan rapuh yang melindunginya. Ia sadar, kini ia berada di bawah pengawasan yang lebih ketat. Alex mungkin telah menerima ceritanya untuk sementara, tetapi ia tidak bodoh. Pria itu kini akan mengamatinya, menunggu satu kesalahan kecil, satu inkonsistensi yang akan menghancurkan seluruh alibinya.
Akibatnya, Isabella menjadi pengasuh yang terlalu sempurna. Ia mengikuti jadwal harian yang tertera di tablet dengan presisi robotik. Pukul sembilan adalah waktu belajar, pukul sepuluh adalah waktu bermain di dalam ruangan, pukul sebelas adalah waktu camilan sehat. Ia menjadi efisien, sopan, dan menjaga jarak emosional yang aman. Ia berhenti menyenandungkan lagu secara spontan. Ia berhenti menceritakan dongeng dari ingatannya, dan sebaliknya membaca kata demi kata dari buku. Ia secara aktif menekan setiap naluri Isabella dan hanya membiarkan Celine, sang karyawan, yang muncul ke permukaan.
Ironisnya, anak-anak tidak menyukainya.
Perubahan itu halus, tetapi nyata. Tawa mereka menjadi sedikit kurang lepas. Mereka masih menurutinya, tetapi sihir itu seolah memudar.
"Mama Celine," tanya Eren siang itu saat mereka sedang melukis. "Kenapa kau tidak menari lagi?"
"Karena sekarang waktunya melukis, sayang," jawab Isabella dengan senyum lembut namun kaku.
Bahkan Alden, putranya yang paling ceria, tampak merasakannya. Ia tidak lagi mencoba melompat ke punggungnya secara tiba-tiba, seolah ada dinding tak terlihat yang kini memisahkan mereka.
Namun, Adrian-lah yang paling terpengaruh. Putra sulungnya yang pendiam dan logis itu menatapnya dengan tatapan menyelidik yang sama seperti ayahnya. Suatu sore, ia menemukan Adrian duduk sendirian di sudut ruang bermain, tampak frustrasi di depan sebuah model replika struktur galaksi yang rumit—proyek sains untuk sekolahnya. Beberapa bagian tampak tidak pas, dan instruksinya tergeletak di sampingnya, diabaikan.
"Ada masalah, Adrian?" tanya Isabella pelan, mendekatinya dengan hati-hati.
"Ini bodoh," gerutu Adrian, menyenggol sebuah planet plastik hingga jatuh. "Instruksinya salah. Poros Saturnus tidak seharusnya miring seperti ini jika dipasang di lengan Orion. Pusat gravitasinya jadi tidak seimbang."
Pengasuh lain mungkin hanya akan menyuruhnya mengikuti instruksi. Tapi Isabella, yang pernah menghabiskan waktu berjam-jam berdiskusi tentang fisika dan desain dengan Alex, segera melihat masalahnya. Adrian benar. Ada kesalahan cetak dalam manual instruksi itu. Naluri seorang insinyur—dan seorang ibu yang memahami pikiran logis putranya—bangkit.
Untuk sejenak, ia melupakan ketakutannya. Ia lupa harus menjadi Celine yang sederhana. Ia berlutut di samping putranya.
"Kau benar sekali," katanya dengan nada bersemangat yang tulus. "Pusat gravitasinya memang salah. Tapi bagaimana jika instruksi itu bukan satu-satunya cara? Arsitek dan insinyur hebat tidak selalu mengikuti manual. Mereka berimprovisasi."
Ia mengambil dua bagian yang tampak tidak cocok itu. "Lihat," katanya, "jika kita membalik konektor B dan menukarnya dengan penopang dari lengan Cygnus, kita bisa menciptakan titik tumpu baru. Itu akan menyeimbangkan berat cincin Saturnus dan membuat seluruh struktur lebih stabil. Coba lihat..."
Selama setengah jam berikutnya, mereka bekerja bersama dalam keheningan yang nyaman. Isabella tidak menyentuh model itu. Ia hanya memberikan saran, mengajukan pertanyaan yang memancing, dan membiarkan Adrian menemukan solusinya sendiri. Ia tidak berbicara pada Adrian seperti anak kecil, melainkan seperti rekan kerja yang cerdas. Untuk pertama kalinya, Adrian tidak melihatnya sebagai pengasuh, tetapi sebagai seseorang yang mengerti 'bahasa'-nya.
Saat mereka akhirnya berhasil memasang bagian terakhir dan model galaksi itu berdiri dengan sempurna, sebuah senyum tipis yang sangat langka terukir di wajah Adrian. "Terima kasih," bisiknya.
"Kau yang mengerjakannya, Adrian," jawab Isabella, hatinya menghangat oleh rasa bangga yang luar biasa. "Kau hanya perlu melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda."
Tanpa mereka sadari, Alex Ferguson telah berdiri di ambang pintu selama lima menit terakhir, mengamati seluruh interaksi itu dalam keheningan total.
Ia melihat sesuatu yang lebih dari sekadar seorang pengasuh yang membantu mengerjakan tugas. Ia melihat sebuah koneksi intelektual yang mendalam. Ia melihat cara "Celine" mengantisipasi jalan pikiran Adrian, cara wanita itu menjelaskan konsep fisika yang rumit dengan analogi sederhana yang langsung dipahami putranya. Ia melihat cahaya pemahaman dan kegembiraan di mata Adrian—cahaya yang sudah lama tidak ia lihat.
Sebuah perasaan aneh dan bertentangan menusuk Alex. Otaknya, penyelidiknya, menjerit bahwa wanita ini penuh dengan kebohongan dan rahasia. Setiap bukti tidak langsung menunjuk pada sebuah penipuan. Namun matanya, hati seorang ayahnya, melihat hasil yang tak terbantahkan. Anak-anaknya lebih bahagia. Putranya yang paling tertutup dan sulit dijangkau kini baru saja terbuka dan tersenyum.
Apa yang lebih penting? Membongkar misteri masa lalu wanita ini, atau mempertahankan kedamaian dan kebahagiaan anak-anaknya saat ini? Untuk pertama kalinya, kedua keinginan itu terasa saling bertentangan.
Malam itu, saat Isabella sedang berjalan di lorong menuju kamarnya, lelah setelah seharian penuh kewaspadaan, ia hampir menabrak Alex yang keluar dari ruang kerjanya.
"Maaf, Tuan," katanya refleks, menunduk.
Ia bersiap untuk sikap dingin atau tatapan tajam yang biasa. Tapi yang datang justru berbeda.
"Nyonya Diana melaporkan bahwa Anda tidak mengambil waktu istirahat sore Anda hari ini," kata Alex, suaranya tetap datar, tetapi tidak sedingin es seperti biasanya.
Isabella mendongak, terkejut. "Saya... saya sedang membantu Adrian dengan proyeknya, Tuan."
"Aku tahu," jawab Alex. Ia berhenti sejenak, seolah sedang memilih kata-katanya. "Pastikan Anda beristirahat besok, Nona Severe. Anak-anak membutuhkan Anda dalam kondisi terbaik Anda."
Setelah mengatakan itu, ia berjalan melewatinya menuju sayap pribadinya.
Isabella tetap berdiri di lorong yang sunyi, jantungnya berdebar karena alasan yang sama sekali baru. Itu bukanlah sebuah pujian. Itu bahkan bukan sebuah bentuk kebaikan. Itu adalah pernyataan pragmatis dari seorang majikan. Tapi itu adalah pertama kalinya Alex mengakui nilainya, mengakui bahwa ia 'dibutuhkan'. Sebuah retakan kecil, nyaris tak terlihat, telah muncul di dinding es yang mengelilingi Tuan Ferguson.
Saat ia akhirnya masuk ke kamarnya, Isabella merasa sedikit harapan yang gemetar. Ia mungkin telah memenangkan hati Adrian sore ini. Tapi perang dengan Alex... sepertinya baru saja memasuki babak baru yang jauh lebih rumit dan tidak terduga. Pria itu kini tidak hanya melihatnya sebagai sebuah teka-teki yang harus dipecahkan, tetapi juga sebagai aset yang berharga. Dan itu, entah bagaimana, terasa jauh lebih berbahaya.