Kania, gadis yang hidupnya berubah seketika di hari pernikahannya.
Ayah dan ibu tirinya secara tiba-tiba membatalkan pernikahan yang telah lama direncanakan, menggantikan posisi Kania dengan adik tiri yang licik. Namun, penderitaan belum berhenti di situ. Herman, ayah kandungnya, terhasut oleh Leni—adik Elizabet, ibu tirinya—dan dengan tega mengusir Kania dari rumah.
Terlunta di jalanan, dihujani cobaan yang tak berkesudahan, Kania bertemu dengan seorang pria tua kaya raya yang dingin dan penuh luka karena pengkhianatan wanita di masa lalu.
Meski disakiti dan diperlakukan kejam, Kania tak menyerah. Dengan segala upaya, ia berjuang untuk mendapatkan hati pria itu—meski harus menanggung luka dan sakit hati berkali-kali.
Akankah Kania berhasil menembus dinding hati pria dingin itu? Atau akankah penderitaannya bertambah dalam?
Ikuti kisah penuh emosi, duka, dan romansa yang menguras air mata—hanya di Novel Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26. ATURAN TIDAK MASUK AKAL
Tak lama kemudian, sekretaris Bams muncul, diiringi Kania dan Mawar yang melangkah masuk dari belakang. Keduanya segera berdiri di hadapan meja kerja tuan Bram, berusaha menjaga sikap.
Tatapan Ibu Mega langsung mengeras, bola matanya melotot tajam ke arah mereka berdua seolah sebuah peringatan tanpa suara.
Mawar, yang sudah hapal betul arti pandangan itu, hanya bisa menahan napas. Ia tahu maksud Ibu Mega. Mereka harus diam, menutup mulut rapat-rapat, dan kalau perlu, melontarkan pujian manis agar wibawa perempuan itu tetap utuh di hadapan tuan Bram.
Mawar tak berdaya, dia harus mengorbankan ambisinya kalau masih ingin bekerja di perusahaan MARLIN grup.
“Apa benar kalian tidak mau menjalankan tugas yang kuberikan?” suara Tuan Bram terdengar dingin.
Tatapan Tuan Bram menancap pada Kania sejenak, lalu berpindah tajam menyorot Mawar.
Keduanya hanya bisa menunduk. Terlebih Mawar, hatinya terasa seperti terjepit buah simalakama. Jika berkata jujur, ia harus berhadapan dengan Ibu Mega dan Pak Ganjar. Namun jika berbohong, itu berarti menghadapi murka tuan Bram yang terkenal sadis sekaligus menakutkan.
Kania menyentuh bahu Mawar, memberi kode, berharap gadis itu berani membuka suara di hadapan tuan Bram. Namun Mawar hanya terdiam kaku, seolah patung tanpa nyawa.
Senyum tipis terlukis di bibir Ibu Mega, menikmati ketakutan yang mengikat keduanya.
“Di perusahaan ini, tidak ada seorang pun yang boleh menindas karyawan lain. Jika aku menemukan hal itu, bersiaplah angkat kaki dari sini. Dan ingat, pelakunya akan ku blacklist dari semua perusahaan. Jadi, jawab dengan jujur… sebelum kesabaranku habis.”
Angin sejuk terasa menerpa wajah Mawar. Kata-kata tuan Bram barusan seperti memberi harapan baru. Senyum tipis terukir di bibirnya saat melihat Ibu Mega yang kini justru diliputi rasa takut.
Dengan mengumpulkan keberanian Mawar menatap tuan Bram. Menyusun kata-kata jangan sampai ada kekeliruan.
"Kami berdua yang berjuang mendapatkan tanda tangan Pak Hendra, mempertaruhkan tenaga dan dan pikiran kami. Sedangkan ibu Mega hanya mengambil hasil dari kerja keras kami.”
Bola mata Ibu Mega nyaris keluar, tak percaya kalau Mawar yang biasanya penurut kini berani Menantangnya apalagi di depan tuan Bram.
Tuan Bram kembali menatap tajam ke arah Ibu Mega, menunggu jawaban atas ucapan Mawar barusan.
Perempuan paruh baya itu sempat menelan saliva, mencoba menenangkan diri. Namun lidahnya tetap berkelit. Dengan suara yang terdengar memaksa, ia menegaskan bahwa justru Kania dan Mawar yang berbohong. Menurutnya, dialah yang benar-benar menemui pak Hendra di kantornya dan memintanya menandatangani dokumen itu.
Tuan Bram menggeleng pelan. Sebenarnya, ia sudah mengetahui kebenarannya sejak awal. Namun, ia masih memilih untuk menggali lebih dalam, mencari apa yang selama ini tersembunyi dan luput dari pengawasannya di perusahaan.
Tuan Bram berpikir keras, mencari cara untuk menguji kebohongan Ibu Mega. Pandangannya jatuh pada map di atas meja. Dari sanalah sebuah ide muncul.
Tuan Bram membuka laci meja kerjanya, menarik dua lembar kertas putih dan dua buah pulpen. Dengan gerakan tenang namun penuh wibawa, ia meletakkan satu di hadapan Mawar dan satu lagi di hadapan Ibu Mega.
“Kalau memang kalian yang benar-benar mendapatkan tanda tangan Hendra, tulis sekarang juga apa isi pokok perjanjian dalam proyek itu. Aku ingin bukti, bukan sekadar kata-kata.”
Kania dan Mawar tersenyum. Mereka sangat memahami isi proyek tersebut karena sudah membacanya berulang kali sebelum berangkat ke WARRIOR grup.
Sementara itu, di pihak Ibu Mega, keringat dingin mulai mengalir di wajahnya. Terlalu larut dalam kegembiraan saat mendapatkan map itu, ia sampai lupa membaca isinya.
Dengan cekatan, Mawar menuliskan detail isi proyek lalu menyerahkannya kepada Tuan Bram. Sementara itu, tangan Ibu Mega tampak gemetar saat menorehkan tinta di atas kertas. Dengan sisa keberanian yang ia miliki, akhirnya ia juga menyerahkan kertas berisi karangan bebasnya pada tuan Bram.
"Mega, kamu benar-benar pintar." senyum tuan Bram mengembang, mendengar hal itu ibu Mega yang tadinya tertunduk segera mengangkat wajahnya sambil tersenyum. Ternyata hasil karangan bebasnya benar.
"Iya, pintar berbohong." senyum tuan Bram seketika berubah menjadi tatapan tajam, membuat ibu Mega kembali menunduk.
Proyek itu sejatinya adalah pembangunan jembatan, bukan proyek mall seperti yang tertulis dalam karangan Ibu Mega. Fakta itu menjadi bukti jelas bahwa selama ini ia hanya memanfaatkan bawahannya, menyuruh mereka bekerja keras sementara hasil dan bonusnya ia nikmati. Sebuah bukti nyata akan ambisi dan kelicikan yang menutupi akal sehatnya.
Dengan tegas tuan Bram mengatakan kalau mulai saat itu juga, Ibu Mega harus mengangkat semua barang-barangnya dan meninggalkan perusahaan karena ia resmi dipecat.
Tentu saja Ibu Mega tidak terima begitu saja pemecatan itu dengan alasan ia sudah bertahun tahun mengabdi di perusahaan, lagi pula Ganjar masih kerabat dekatnya dan juga pemilik saham di perusahaan MARLIN grup.
Jawaban yang keluar dari mulut Ibu Mega menjadi titik terang yang sedari tadi tuan Bram tunggu. Untaian kata itu akhirnya membuka tabir, memperlihatkan siapa sosok di balik keberanian Ibu Mega menindas dan menekan karyawan lain selama ini.
Tuan Bram memberi instruksi singkat pada sekretaris Bams untuk segera menelpon Ganjar. Tak berapa lama, terdengar langkah tergesa dari arah arah koridor. Seorang pria paruh baya dengan kacamata tebal muncul terburu-buru, napasnya memburu, persis seperti prajurit yang tengah dikejar musuh. Wajahnya pucat, namun ia berusaha menampilkan kewibawaan saat melangkah masuk ke ruangan.
“Kesalahan apa lagi yang sudah kamu lakukan hingga tuan Bram memanggilku, Kemari?” bentak pria itu kepada Ibu Mega, lalu memberi hormat kepada Tuan Bram.
Ibu Mega terseduh, menggenggam lengan jas Ganjar.
“Aku dipecat… bantu aku agar Tuan Bram menarik ucapannya.”
“Itu urusanmu, Tuan. Aku tidak ikut campur, semua kesalahan tujukan saja padanya.” Elak Ganjar
Kata-kata Ganjar membuat ibu Mega naik pitam.
“Apa? Maksudmu semua kesalahanku? Jadi semua yang kudapatkan selama ini, menindas karyawan hingga memanipulasi data, tidak kau nikmati? Tuan Bram, dialah aktor di balik semuanya.” tunjuk ibu Mega pada Ganjar.
Plak .......
Satu tamparan keras melayang di pipi ibu Mega.
"Tuan Bram jangan dengarkan dia."
Ganjar bersujud memohon ampun pada tuan Bram.
Sekretaris Bams memaksa keduanya keluar ruangan, kemudian kembali berdiri di posisinya semula.
Keheningan menyelimuti ruangan. Tuan Bram mempersilakan Kania dan Mawar duduk, seakan ada hal penting yang ingin ia disampaikan.
Ternyata benar, hasil kerja keras mereka membuahkan hasil. Kania langsung diangkat menjadi Kepala Pemasaran, sedangkan Mawar ditunjuk sebagai Ketua team menggantikan ibu Mega.
Keduanya tersenyum bahagia, hati mereka dipenuhi kegembiraan dan kebanggaan.
“Ini harus dirayakan! Kania, kita makan-makan, biar aku yang traktir kamu,” seru Mawar dengan antusias.
“Betul, kalau cuma berdua rasanya kurang seru, bagaimana kalau..” Kania menoleh ke Tuan Bram, tapi sorot mata tajam Tuan Bram Membuatnya terdiam seketika.
Kita ajak Sekretaris Bams saja…” Kania berdiri dan melangkah mendekati Bams.
“Bams, hanya sepiring nasi? Kamu mau menggantikan pekerjaanmu?
Senyum mengejek tuan Bram tapi penuh dengan ancaman.
Mau tidak mau sekertaris Bams langsung menolak ajakan mereka.
"Kalian boleh keluar untuk makan-makan, tapi ingat, jangan bersama pria, apalagi perempuan yang sudah bersuami. Itu aturan lama, dan tetap berlaku hingga sekarang.”
Sekretaris Bams mengusap kepalanya, tak menyangka sama sekali bahwa perusahaan memiliki peraturan seperti itu.