“Aku mohon! Tolong lepaskan!”
Seorang wanita muda tengah berbadan dua, memohon kepada para preman yang sedang menyiksa serta melecehkannya.
Dia begitu menyesal melewati jalanan sepi demi mengabari kehamilannya kepada sang suami.
Setelah puas menikmati hingga korban pingsan dengan kondisi mengenaskan, para pria biadab itu pergi meninggalkannya.
Beberapa jam kemudian, betapa terkejutnya mereka ketika kembali ke lokasi dan ingin melanjutkan lagi menikmati tubuh si korban, wanita itu hilang bak ditelan bumi.
Kemana perginya dia?
Benarkah ada yang menolong, lalu siapa sosoknya?
Sebenarnya siapa dan apa motif para preman tersebut...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam : 34
"Kira-kira siapa dalang dibalik teror Jahanam ini, Ki?!” Bahri menghisap dalam cerutunya, sorot mata yang biasanya selalu tegas, tajam nan kejam, kini ada getar samar.
Ki Jaya bersila duduk di atas lantai beralaskan tikar pandan, punggungnya bersandar sepenuhnya pada papan kayu.
"Sejauh ini, tidak ada satupun yang patut dicurigai. Para korbanmu baik dijadikan tumbal maupun mati dikarenakan persaingan usaha, semuanya dari kalangan biasa. Berharta, tapi tidak memiliki pegangan.”
“Namun, belasan tahun yang lalu, kita semua mengetahui bila ada sosok berdarah manis tulang wangi. Keturunan asli dukun sakti penganut ilmu hitam, Ni Dasah.”
Tubuh Sugeng tersentak, matanya terbelalak. Bahri dan lainnya juga sama.
Kendatipun Ayu serta Hardi tidak begitu paham dikarenakan pada waktu kejadian, umur mereka masih kecil, tetapi mengerti betapa keramatnya nama yang baru saja disebutkan oleh Ki Jaya.
Nama Ni Dasah dan suaminya Suliwa, menjadi momok dan pantang untuk disebutkan, serta kisah kelam tentang mereka sengaja ditenggelamkan.
“Tak mungkin! Saya melihat sendiri kondisinya yang sekarat akibat dilempari batu oleh warga saat diarak. Wajah berlumuran darah, jalan pincang, mustahil bila masih hidup. Kalaupun iya, mengapa selama belasan tahun tak pernah ada yang melihatnya.” Bahri menyangkal, enggan mempercayai.
“Benar itu Ki. Se-sakti-saktinya manusia, mustahil dapat bertahan disaat kondisinya babak belur. Terlebih menyaksikan suaminya mati tepat didepan matanya. Andaikan masih hidup, pasti kondisi mentalnya hancur alias gila!” Sugeng terkekeh.
Sesungguhnya Ki Jaya pun, tidak sepenuhnya percaya bila Ni Dasah masih bernyawa.
“Mengapa tak melakukan penyisiran di hutan terlarang. Selama ini wilayah angker itu sama sekali tidak tersentuh. Saat desa kita diteror, mulai dari hilangnya Rahman hingga Herman, hanya hutan itu yang belum kita periksa.” Gandi ambil suara, mengutarakan pendapatnya.
“Kau gila! Hal tersebut sama saja dengan mengantarkan nyawa. Tidakkah dirimu ingat pada empat orang warga yang tak sengaja masuk ke sana, pulang-pulang linglung mereka.” Hardi membentak seraya menatap sinis pada Gandi.
“Apa yang diusulkan Gandi masuk akal. Bagian mana yang tak kita datangi, periksa, hingga gundukan tanah mencurigakan pun digali, nyatanya hasilnya nihil. Sosok Rahman tetap menjadi misteri. Sekarang Herman … besok-besok bisa jadi salah satu diantara kita.” Samini bergidik, ada rasa takut didalam benaknya.
“Mulai esok pagi, kita cari Herman! Setelah empat hari belum juga ditemukan, paksa warga memasuki hutan terlarang.” Bahri telah memutuskan, yang mana menumbalkan masyarakat, dan dirinya sendiri menjadi penonton.
“Sekarang yang lebih mendesak daripada nyawa Herman ialah, mengatasi ganti rugi. Jelas saya tak sudi mengeluarkan uang, Ki!” Samini keberatan, mana mau dirinya mengikis hartanya.
“Redam dulu para warga, janjikan hal manis, ulur waktunya. Hilangnya Herman bisa kita jadikan alasan, buat mereka sibuk! Sementara saya mencarikan cara agar kalian tak perlu bertanggung jawab.”
Semua setuju dengan usulan Ki Jaya. Kemudian Bahri dan lainnya pamit undur diri.
.
.
“Apa Aki yakin, bila kejadian janggal ini ada campur tangan Dasah?” tanya Mak Indun, menatap lurus pada kebun cabai yang mana terdapat tiga pohon bunga kantil.
“Entahlah. Rasanya tak mungkin, tapi bila bukan nya lalu siapa? Cuma dia yang memiliki ilmu sakti mandraguna. Bodohnya malah memilih hidup normal, menyia-nyiakan kesempatan tenar dan dipuji sana-sini.”
Dahulu, Ki Jaya dan juga Mak Indun, kalah pamor dari ni Dasah. Para warga lebih memilih berobat bila sakit ataupun terkena sawan.
Sepasang suami istri itu memendam iri dengki. Kebencian mereka telah mendarah daging, sampai di mana menemukan iblis bertanduk Kerbau, yang membuka jalan menyingkirkan sekaligus menggantikan posisi Ni Dasah.
.
.
Rencana Ki Jaya berhasil, para warga kembali dihebohkan dengan kehilangan salah satu orang kepercayaan juragan Bahri. Berbondong-bondong mereka mencari, hingga ke desa sebelah.
Sama halnya seperti Rahman si mantan kepala desa. Herman pun hilang bak ditelan bumi, jejaknya sama sekali tidak ada.
Lastri masih bekerja seperti biasa di rumah juragan Bahri. Kini nyonya Samini memiliki sekutu dalam mengerjai pembantunya yang memiliki kecantikan alami.
Ayu istrinya Hardi, sedari awal sudah memendam rasa cemburu, tentu saja senang saat diboyong ke rumah orang tua suaminya. Dia jadi memiliki kesempatan memberikan pelajaran kepada Lastri.
“Kau itu sebetulnya bisa memijat tidak? Lemah sekali tenagamu. Naik lagi ke sini!” Ayu menunjuk lehernya yang terdapat banyak bekas kecupan Hardi.
Lastri bukan tidak tahu maksud tersembunyi itu, dikira hatinya akan panas apa? tentu saja tidak. Perasaannya telah habis, lenyap bersama luruh nya sang janin, kematian bapaknya dan kejadian dirudapaksa. Ia tekan kuat-kuat kerongkongan Ayu.
“Aduh! Sakit tolol!” Ayu mendorong bahu Lastri sampai terjengkang. “Pulang sana kau! Dasar tak berguna!”
Tanpa kata-kata, Lastri melangkah ke dapur kotor untuk mengambil tasnya. Meninggalkan Ayu seorang diri. Kemudian berjalan pulang lewat belakang rumah.
“Yang sabar, nyonya muda sifatnya memang seperti itu sedari kecil. Suka seenaknya sendiri,” Gandi menyemangati, ia tadi melihat jelas.
“Kakang mengagetkan saja.” Lastri memegang dadanya. “Saya sudah terbiasa, tak mengapa. Sewaktu di kota juga seperti itu. Ya namanya juga kerja sama orang, mau tak mau ya harus bisa menerima perlakuan mereka.”
Ucapan Lastri, mengena dihati Gandi. Semenjak pertemuan mereka di tepi sungai waktu itu, Gandi menjadi lebih ramah, sering menyapa lebih dulu.
.
.
Tiga hari sudah pencarian dilakukan, hasilnya tetap nihil. Para warga pun sudah tidak lagi berempati dikarenakan perut mereka wajib diisi. Namun, uang ganti rugi belum kunjung cair.
Entah siapa yang menjadi provokator, terlihat kerumunan massa memadati hunian besar juragan Bahri.
"Bila masih ditunda-tunda terus, maka kami akan bertindak! Apapun yang ada di dalam hunian juragan Bahri dan juga nyonya Samini. Halal untuk di jarah!” Teriakan lantang itu langsung disambut oleh lainnya. Tangan mereka tidak kosong, tapi menggenggam celurit, parang, kampak, dan kayu panjang.
“Benar!”
“Betul!”
Bahri menggeram, emosinya naik sampai ubun-ubun. Hal ini melesat dari rencana, seharusnya besok dia akan memaksa warga memasuki hutan terlarang. “Beraninya mereka mengancam!”
Hardi maju, berusaha tampil bijaksana. Padahal hatinya was-was takut dilempari batu. Kali ini emosi warga sudah sampai pada puncaknya.
“Bisa minta tolong sabar sebentar. Beri kami waktu satu jam untuk menyiapkan uang ganti ruginya!”
“Baiklah! Lewat dari batas waktu yang dipinta, jangan salahkan kami bertindak anarkis!”
“Siapa dia? Sedari tadi memanasi para warga?” tanya Hardi pada Gandi, dirinya sudah melangkah mundur.
Gandi dan sepuluh orang keroco juragan Bahri, berdiri paling depan membentuk pagar, tangan mereka menggenggam parang.
“Seperti bukan warga sini, Tuan. Bisa jadi dari desa sebelah.”
Ya, para pendemo bukan hanya berasal dari kampung Tani, tetapi juga desa tetangga. Yang pada waktu pesta bencana, ikut hadir dan menjadi korban. Termasuk para pedagang.
Samini mengumpat, tidak punya pilihan lain. Dibelakangnya ada Ayu dan juragan Bahri, mereka masuk ke dalam kamar luas, membuka lemari berisi peti emas dan uang.
Ayu membantu ibu mertuanya mengeluarkan peti persegi. Samini lah yang membuka gemboknya, saat bagian atas di buka ….
“Tidak!” Tubuh tambun itu lemas, Samini pingsan.
“Ulah siapa ini?!”
.
.
Bersambung.
satu satu tumbang,,,..