Luka Vania belum tuntas dari cinta pertama yang tak terbalas, lalu datang Rayhan—sang primadona kampus, dengan pernyataan yang mengejutkan dan dengan sadar memberi kehangatan yang dulu sempat dia rasakan. Namun, semua itu penuh kepalsuan. Untuk kedua kalinya, Vania mendapatkan lara di atas luka yang masih bernanah.
Apakah lukanya akan sembuh atau justru mati rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksy_K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Air Mata
Di bawah lampu jalan yang remang, Vania berdiri terdiam. Menatap sosok pria yang duduk terpuruk. Meski hanya beberapa langkah, jarak itu terasa lebih jauh dari yang Vania kira.
Hening. Tak ada yang sanggup bersuara. Dengan tubuh terbujur kaku, berselimut rindu, Vania meremas ujung hoodie—menyalurkan lara hati.
Sementara Rayhan mendadak linglung, hingga putung rokok yang menipis menyentuh jemarinya membuatnya terbangun. Ia mendesis kesal, tanpa sadar mengumpat. “Sialan!” lalu melempar kasar sisa rokok ke lantai dan menginjaknya.
Perbuatan itu sontak membuat Vania tertegun, apakah perubahan sikap seperti ini yang Elma dan Elsa maksud? Terlihat dingin, tak seperti yang Vania kenal, bahkan ia mengumpat saat kembali bertemu dengannya.
Vania menghela napas kasar, langkahnya mulai maju dengan sentakan, tak melirik sedikit pun ke arah Rayhan.
“Van ...” sapanya pelan hampir tak terdengar, sampai Vania masuk ke dalam minimarket.
Rayhan mengacak rambut dengan resah. Merasa salah paham yang lain muncul tanpa bisa ia kira. Kakinya tak berhenti bergetar, menunggu Vania yang masih di dalam cukup lama. Entah dia sengaja mengulur waktu tak ingin bertemu, atau memang Rayhan yang tak cukup sabar.
Sebab, ini kali pertama mereka bertemu kembali, sejak terakhir kali Rayhan memutuskan untuk berhenti mengejar Vania demi menemani Cassie. Ia tahu tak sepantasnya ia berada di sana, menunggu tanpa tahu malu. Bahkan keberadaannya mungkin saja menyakitkan bagi Vania.
Tapi, egonya untuk melihat Vania lebih tinggi. Ia mencoba meyakinkan diri, ini terakhir kalinya ia mencuri pandang dan akan menjaga jarak sejauh mungkin.
Tak lama decitan pintu terdengar. Vania keluar dengan membawa dua kantong plastik besar, yang di dalamnya terlihat dengan jelas. Tanpa sadar ujung bibir Rayhan tertarik perlahan.
“Kebiasaan makannya masih sama,” gumamnya lirih. Melihat berbagai camilan manis yang Vania beli.
Vania berjalan tanpa menoleh sedikit pun, seolah tak melihat wujud Rayhan yang terduduk dengan tubuh tegap. Begitu jarak mereka cukup jauh, Rayhan beranjak dari duduknya, lalu perlahan mulai ikut melangkah.
Beberapa kali Vania melirik, sadar bahwa Rayhan berada tepat di belakangnya. Situasi ini mengingatkannya pada saat Rayhan mencoba mengantarnya pulang namun ia tolak dengan menyodorkan senter kejut. Yang membedakan kini perasaan mereka yang berubah rumit.
Jalanan malam itu cukup sunyi, hanya derap langkah mereka dan sesekali kendaraan yang melaju. Namun, jantungnya sejak tadi terus gaduh oleh seseorang yang seenaknya membolak-balik hatinya.
“Kenapa sih gak pulang dari tadi?” keluhnya lirih.
Langit malam yang hitam kelam kini mulai menjatuhkan rintik air. Tak butuh waktu lama, butir-butir air yang jatuh kini berubah menjadi hujan deras.
Dari arah belakang, Rayhan meraih salah satu belanjaan Vania dan menggenggam tangannya dengan cepat, erat, dan hangat. Menarik tubuhnya, berlari menuju salah satu gazebo di dekat taman—berteduh dari derasnya hujan.
“Harusnya gue udah ngira bakal hujan, dari tadi langitnya mendung.” Gumam Rayhan samar, sembari melihat langit yang menumpahkan airnya begitu deras.
Vania berdehem keras, membuat Rayhan menoleh. Buru-buru ia melepas pegangannya, ketika mata Vania menatap lurus tangan yang masih tergenggam. Tanpa sadar kebiasaannya yang bertindak tanpa pikir panjang, menyeretnya dalam situasi canggung. Terjebak dalam bangunan kecil tanpa tahu kapan hujan akan berhenti.
“Maaf, Van. Gue gak bermaksud, gue cuman refleks karena hujan tiba-tiba.”
Vania hanya mengangguk pelan, ia merebut kembali kantong belanja yang sempat Rayhan bawa. Pandangannya lurus ke depan, tak ingin perasaannya makin larut dalam sikap Rayhan.
Rayhan menelan ludahnya dengan susah payah, memberanikan diri membuka suara.
“Gue ... gak nyangka kita akan bertemu dengan situasi kacau begini.”
Vania berdecak pelan. “Dari dulu tiap ketemu lo emang selalu kacau. Lo yang pamit pergi tapi sekarang datang seolah tak ada apa-apa.” Sindirnya, tanpa menoleh.
“Gue pergi karena Cassie sakit. Dia ... cuman punya waktu sedikit, gue terpaksa untuk selalu di sampingnya. Gue harap lo ngerti.” Jelasnya, tatapannya berat.
Vania menoleh ke samping, matanya mulai berkaca-kaca.
“Gue ngerti, gue selalu ngerti, dan itu yang bikin gue hancur. Karena di saat gue mulai sadar ... lo milih mundur.” Vania menggigit bibirnya, menahan getaran.
“Tiap hari gue selalu nahan diri buat gak nyari lo, Van. Tapi, hati gue sialnya gak mau menurut dan itu gak gampang, Vania. Gue gak bisa bohong lagi. Gue masih cinta sama lo.” Suaranya pecah, ganjalan hati yang susah payah ia tahan, kini tak lagi mampu bertahan.
Vania sejenak membeku, sorot matanya lekat. Mencari maksud dari ucapan yang terdengar hanya omong kosong. Perlahan ia maju selangkah, air matanya lolos, wajahnya merah padam.
“Lo egois, Ray! Waktu hati gue mulai mendekat, lo seenaknya ngebuang. Sekarang lo mau ambil lagi? Gue lagi belajar ikhlas .... dan gue juga bisa capek, Ray.”
Tanpa peduli hujan yang terus mengguyur malam itu, Vania memilih pergi. Meninggalkan Rayhan yang hanya bisa menggenggam udara kosong.
***
Keesokan harinya, Rayhan mendapat telepon darurat dari Ali. Dengan napas tersengal ia berlari ke rumah sakit. Di depan kamar rawat, sudah berkumpul keluarga dan orang-orang terdekat dengan raut wajah cemas. Vania pun ada di sana, membuat langkahnya terhenti sejenak.
Tanpa sempat mempertanyakan kehadiran Vania, Om Rama yang baru saja keluar dari balik pintu menyuruh Rayhan dan Vania masuk. Matanya memerah karena tangis dengan senyum pahit yang di paksakan.
Rayhan dan Vania masuk dengan berat hati. Tubuh Cassie tampak ringkih di atas ranjang. Wajahnya pucat, bibirnya kering, dan napasnya tersengal-sengal seolah setiap tarikan napas adalah pertarungan terakhir.
“Kak Ray ... Kak Vania..” suaranya serak, nyaris seperti bisikan.
Rayhan menggenggam tangannya, menyalurkan kehangatan. “Iya Cassie, gue di sini.”
Sementara Vania tersenyum getir. Ia sendiri bingung, kenapa dipanggil di tempat itu. Padahal mereka tidak benar-benar dekat, bahkan mereka hanya beberapa kali bertemu.
“Maaf ... Cassie repotin terus ....”
“Nggak kok, nggak ada yang merasa di repotkan di sini.”
“Bohong ... Cassie tahu, Kak ... semuanya,”
“Cassie, gue—”
“Kak Aliando, kan? Pasti karena permintaan dia. Makasih ya ... sekarang Kak Ray gak perlu ke sini lagi.” Kalimat panjang itu membuat Cassie terbatuk-batuk, dadanya naik turun dengan cepat.
“Lo jangan ngomong yang aneh-aneh lagi Cassie, jangan buang tenaga lo,” suara Rayhan bergetar, matanya memanas.
Bibir pucat itu tertarik tipis, ia mengalihkan pandangan pada Vania, tak mau berdebat lagi dengan Rayhan. Ia mengulurkan tangannya dengan lemah. Vania meraihnya, seketika hatinya campur aduk.
“Maaf ya kak ...kalau tingkah Cassie nyebelin,” ujar Cassie lagi, meski napasnya pendek, terkesan terburu-buru.
Vania hanya terdiam, lidahnya kelu, ia tak tahu harus merespon apa selain senyum yang ia usahakan terus melengkung.
“Se... sekarang, Cassie... gak butuh Kak Ray lagi, jadi ....” napasnya tercekat, kalimat itu menggantung di udara.
“Kalian ... bisa bersama, tanpa pengganggu seperti Cassie ....”
“Jangan bilang begitu, lo bukan pengganggu Cassie,” balas Vania, pipinya sudah basah oleh air mata. Ia sangat tidak tega melihat Cassie yang berusaha meminta maaf dengan kondisi yang menyakitkan.
“Lo berhak untuk di cintai. Jika waktu bisa diputar, dan gue kenal lo lebih dulu daripada Rayhan, mungkin kita bisa berteman dengan baik.”
Vania menepuk pelan punggung tangan yang dipenuhi jarum infus dan bekas suntikan.
“Benarkah?”
“Iya, tentu saja.”
Air mata membasahi bantal Cassie, namun senyumnya terus terukir bahkan kini makin lebar.
“Makasih ...”
Cassie meraih tangan mereka berdua, lalu menyatukannya. Dengan sekuat tenaga, ia berkata setengah berbisik.
“Cassie harap ... kalian bahagia.”
Tak lama Rayhan dan Vania keluar, langkah mereka lemah dan berat, masing-masing memegang surat lusuh dengan pita merah muda.
Kini giliran Ali yang masuk ke dalam. Ia menarik napas panjang, ia busungkan dadanya berusaha tegar. Pintu perlahan terbuka, tak lupa ia memasang senyum cerah meski hatinya mendung.
“Hai Cassandra, kak Aliando yang paling tampan datang.” Sapa Ali dengan suara yang ia buat ceria namun gagal. Ia duduk di samping ranjang.
Cassie terkekeh geli, namun air matanya justru makin deras. Sontak ali mengusap lembut, menatapnya penuh kasih.
“Makasih, Kak Ali ... udah ada ... di sisi Cassie sampai detik ini,”
"Harusnya gue yang minta maaf, Cassandra, karena belum bisa mewujudkan segala keinginan lo.” Air mata itu akhirnya lolos, ia belum siap dengan kemungkinan yang terjadi.
Cassie menggeleng. “Cassie ... udah bahagia, Cassie beruntung punya Kak Ali ....” ia diam sejenak. Menatap langit-langit kosong.
“Sekarang ... Cassie ngantuk, Cassie tidur boleh?”
Ali meremas tangannya kuat, mengangguk dengan berat. Kemudian Om Rama—ayah Cassie kembali masuk, menepuk bahu Ali yang bergetar hebat. Dengan tenang dan tabah, Om Rama mengelus lembut rambut cassie dan mengecup keningnya lama sekali.
Senyum Cassie terukir di wajahnya, napasnya makin pendek, tubuhnya kian tenang. Keheningan akhirnya jatuh, tangis pun pecah. Namun Cassie terlalu lelap, sebab ia telah tertidur untuk selamanya.
***
Siang harinya, setelah melakukan segala proses pemakaman. Mereka semua: Rayhan, Ali, Pandu, Vania dan Okta duduk di ruang tamu keluarga Ali. Tak ada yang bersuara, mereka hanya larut dalam pikiran masing-masing.
Pandu akhirnya memecah keheningan. “Katanya kalian dapat surat dari Cassie? Udah dibaca?”
Rayhan, Vania dan Ali mengangguk bersama, mereka sampai lupa dengan surat itu karena sibuk mengurus pemakaman. Dan satu persatu mulai membaca dalam diam.
Rayhan menghembuskan napas berat, kemudian perlahan membuka amplop berpita merah muda. Membaca baik-baik isi di dalamnya.
“Hallo ... Kak Rayhan. Jika Kak Ray baca surat ini, artinya Cassie udah gak menderita lagi, kan? Maafkan Cassie yang suka menyebalkan, karena telah membuang waktu berharga Kak Ray. Dan makasih udah membuat Cassie merasa dicintai, meski hanya sebentar.”
Rayhan menundukkan kepalanya, mengatur napasnya sebentar.
“Jangan merasa bersalah, Cassie pergi dengan senyum. Jangan mengorbankan kebahagiaan Kak Ray demi menyenangkan hati orang lain. Sekarang kejarlah lagi cinta yang terpaksa Kak Ray lepas.”
Rayhan meremas surat itu dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan.
Di satu sisi, Vania menangis dalam diam, memeluk Okta mencari ketenangan. Ia tak bisa membayangkan jika berada di posisi Cassie saat itu. Setelah membaca surat yang tintanya sedikit luntur, ia yakin itu adalah tetesan air mata Cassie.
“Kak Vania, maaf jika Cassie sempat buat Kakak terganggu dengan kehadiran Cassie. Selama Kak Ray di sini, Cassie sadar bahwa Kak Vania lah rumah sejati untuk Kak Ray. Cassie titip Kak Ray, ya. Sekali lagi maaf dan terimakasih.”
Ali juga tak bisa menahan tangis, bahkan ia meraung seperti anak kecil. Memeluk erat surat terakhir sebagai peninggalan berharga yang ia miliki.
“Kak Ali, lo gila ya? Masa maksa Kak Ray buat jadi pacar Cassie. Kak Ali pikir Cassie gak tahu? Tapi, makasih ya. Selama ini udah jadi tembok Cassie buat bertahan. Cassie cuman minta tolong, jaga Ayah Cassie ya, Cassie pasti udah bahagia sama ibu. Jadi bilang ke Ayah, jangan sedih."
Dan di hari itu, semua orang sadar. Cassie sudah pergi, tapi jejaknya akan selamanya tertinggal. Namum, mereka mengira pemakaman menutup segalanya: dari keegoisan, salah paham dan cinta yang terpaksa putus. Nyatanya, itulah awal dari luka yang lebih panjang.
sholeh bgt rayhan nih wkwk