NovelToon NovelToon
Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Matabatin / Kutukan / Tumbal
Popularitas:842
Nilai: 5
Nama Author: kriicers

Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31•

...Mimpi yang Membawa Kematian...

Malam itu, jam digital di nakas menunjukkan pukul 02.17 dini hari. Hujan di luar jendela Kamar Bunga Mawar – begitu ibu menyebutnya – terdengar seperti rintihan panjang yang tak berkesudahan. Aku terbangun dengan napas memburu, selimut melilit tubuhku yang basah oleh keringat dingin. Mimpi itu lagi.

Sejak seminggu yang lalu, mimpi itu selalu sama. Aku berdiri di sebuah gang sempit, remang-remang, dengan dinding bata kusam yang ditumbuhi lumut. Di ujung gang, sesosok bayangan hitam tinggi kurus berdiri membelakangiku. Setiap kali aku mencoba mendekat, bayangan itu akan berbalik perlahan, dan saat wajahnya mulai terlihat samar, aku selalu terbangun dengan ketakutan yang mencekik. Kali ini, ada yang berbeda. Aku bisa mendengar suara. Suara desahan pelan, seperti bisikan angin di antara dedaunan kering.

“Kamu… datang…”

Suara itu, sangat dekat, membuatku merinding hingga ke sumsum tulang. Aku membuka mata lebar-lebar, memindai sekeliling kamar yang gelap. Hanya siluet lemari pakaian dan meja belajar yang tampak samar diterangi cahaya lampu jalanan yang menembus tirai. Aku menenangkan diri, mencoba meyakinkan bahwa itu hanya sisa-sisa mimpi buruk.

Keesokan paginya, aku duduk di meja sarapan, memandang Ibu yang sibuk menuangkan teh. Mata panda di bawah mataku pasti terlihat jelas.

“Kamu lagi-lagi kurang tidur, Nak?” tanya Ibu, suaranya lembut, namun tersirat kekhawatiran.

Aku mengaduk tehku tanpa minat. “Mimpi buruk lagi, Bu. Sama seperti yang kemarin-kemarin.”

Ibu duduk di hadapanku, mengusap rambutku dengan sayang. “Mungkin kamu terlalu banyak begadang menonton film horor, Rio. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Ini cuma mimpi.”

Kata-kata Ibu memang menenangkan, tapi tidak menghapus kegelisahan di hatiku. Mimpi ini terasa terlalu nyata untuk sekadar bunga tidur. Aku merasa ada pesan tersembunyi di dalamnya, sesuatu yang ingin disampaikan kepadaku.

Siang itu, aku memutuskan untuk mengunjungi Danu. Dia temanku sejak kecil, seorang seniman yang percaya pada hal-hal mistis dan sering membaca buku-buku kuno tentang primbon dan takhayul. Mungkin dia bisa memberiku pencerahan.

Aku menemukan Danu di studio kecilnya, sedang melukis kanvas besar dengan warna-warna gelap. Bau cat minyak yang menyengat memenuhi ruangan.

“Ada apa, Bro? Muka lo kayak habis lihat setan,” Danu menyapa, senyum di bibirnya mengembang.

Aku menceritakan semua detail mimpiku, termasuk suara bisikan yang kudengar tadi malam. Danu mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk-angguk. Setelah aku selesai, ia terdiam sejenak, memegang dagunya.

“Ini bukan mimpi biasa, Yo. Ada semacam koneksi yang terbentuk,” katanya serius. “Bayangan hitam itu… apakah ada ciri khas lain selain tinggi kurus?”

Aku mencoba mengingat. “Dia memakai semacam jubah. Dan… tangannya panjang, kurus, dengan kuku yang terlihat tajam, meskipun samar.”

Danu berdiri, berjalan ke rak bukunya dan menarik sebuah buku tua bersampul usang. Ia membuka halaman-halaman yang sudah menguning. “Dalam kepercayaan lama, bayangan semacam itu seringkali adalah ‘penjemput’. Entitas yang datang untuk… mengambil sesuatu.”

Jantungku berdebar lebih kencang. “Mengambil apa?”

“Bisa roh, bisa juga… nyawa,” Danu menatapku tajam. “Tapi anehnya, penjemput biasanya tidak berbicara atau menampakkan diri sejelas itu di mimpi berulang. Apalagi sampai ada bisikan.”

Aku bergidik. “Jadi, apa yang harus kulakukan?”

“Jangan takut,” Danu menasehati. “Ketakutanmu akan menariknya lebih dekat. Malam ini, sebelum tidur, letakkan garam kasar di bawah tempat tidurmu. Dan jangan biarkan kakimu menyentuh lantai saat bangun tidur di tengah malam.”

Aku mengangguk, merasa sedikit lega karena ada sesuatu yang bisa kulakukan. Malamnya, aku mengikuti semua saran Danu. Aku menaburkan garam kasar di bawah kasur, dan memastikan semua lampu di kamar mandi dan dapur mati sebelum aku tidur. Aku berharap malam ini akan tenang.

Namun, kegelapan kembali menelanku ke dalam mimpi yang sama. Gang sempit, dinding kusam, dan bayangan hitam di ujungnya. Kali ini, bayangan itu langsung berbalik. Wajahnya… aku bisa melihatnya lebih jelas. Sebuah wajah yang tidak memiliki fitur jelas, hanya lubang hitam sebagai mata dan mulut. Dan kuku-kukunya yang panjang, melengkung seperti cakar, semakin terlihat nyata.

“Waktumu… sudah dekat…” Suara itu berbisik, kini lebih jelas dan terdengar seperti gemerisik dedaunan kering.

Aku merasa ada tangan dingin yang menyentuh pergelangan kakiku. Aku berteriak dalam mimpi, mencoba menarik kakiku, tapi cakar itu mencengkeram erat. Aku terbangun dengan terkesiap, napas megap-megap.

Gelap. Dingin. Terdengar suara tik-tak jam dinding yang terlalu keras. Aku teringat saran Danu. Jangan biarkan kaki menyentuh lantai. Aku mencoba mengangkat kakiku, tapi rasanya sangat berat. Aku melirik ke bawah ranjang. Tidak ada garam. Atau lebih tepatnya, garam itu ada, tapi bercampur dengan bercak-bercak hitam basah yang baunya menusuk hidung, seperti… tanah basah dan besi.

Mataku terpaku pada cermin lemari pakaian di seberang kamar. Siluetku terpantul di sana. Aku melihat diriku sendiri, sedang duduk di tepi ranjang. Namun, bayangan di cermin itu… tangannya bergerak. Perlahan, bayangan tanganku yang terpantul di cermin itu mulai mencakar leherku sendiri.

Aku meraba leherku. Tidak ada apa-apa. Tapi bayangan di cermin itu semakin mencekik leherku, dengan kuku-kuku hitam yang panjang dan tajam. Aku melihat bayangan diriku mulai terhuyung, napasnya tersengal. Aku melihat bayangan itu membelalakkan matanya, menatapku, seolah memohon pertolongan.

Tiba-tiba, suara pintu kamar mandi terbuka pelan. Aku menoleh. Siluet Ibu berdiri di ambang pintu, tampak pucat.

“Rio… kenapa kamu belum tidur?” tanya Ibu, suaranya parau, seperti habis menangis.

Aku ingin menjawab, tapi tenggorokanku terasa tercekat. Aku menunjuk ke cermin. “Bu… lihat…”

Ibu berjalan mendekat, tatapannya kosong. Dia berhenti tepat di sampingku. Aku melihat bayangan Ibu di cermin. Wajahnya terlihat muram, tapi tidak ada yang aneh.

“Ada apa, Nak?” Ibu bertanya lagi, tangannya menyentuh pundakku. Sentuhannya dingin. Sangat dingin.

Saat itu juga, bayangan di cermin bergerak lagi. Kuku-kuku hitam yang mencekik leher bayanganku di cermin, kini mulai merobek kulitnya. Darah hitam pekat mengalir dari leher bayangan itu. Aku berteriak, panik.

Ibu di sampingku mendadak tertawa. Tawa yang kering, seperti suara daun-daun bergesekan. Tawa yang membuat bulu kudukku berdiri. “Bodoh sekali kamu, Rio. Sudah kubilang, jangan terlalu dipikirkan. Ini hanya mimpi.”

Aku menoleh perlahan ke arah Ibu. Wajahnya kini bukan lagi wajah Ibu yang kukenal. Matanya hitam pelegam, kosong tanpa pupil. Senyumnya lebar, memperlihatkan deretan gigi yang runcing dan kotor. Tangannya, yang masih bertengger di pundakku, kini terasa seperti cakar-cakar panjang yang menusuk kulitku.

“Tidak mungkin…” bisikku.

“Oh, mungkin saja,” suara itu, suara yang kudengar dalam mimpi, kini keluar dari mulut Ibu. “Kamu… datang… terlalu cepat.”

Aku mencoba melarikan diri, tapi tangannya mencengkeramku erat. Aku melihat ke arah cermin lagi. Bayangan diriku di cermin kini telah roboh, tergeletak tak berdaya dengan genangan darah hitam di sekelilingnya. Dan bayangan Ibu di cermin… berdiri di samping bayanganku, dengan seringai mengerikan.

Dan di samping bayangan Ibu, di dalam cermin, tampak sesosok bayangan lain yang lebih familiar. Bayangan tinggi kurus berjubah hitam dengan kuku-kuku tajam. Sosok “penjemput” dari mimpiku. Dia tidak berada di belakangku, atau di ujung gang. Dia berada di dalam cermin, bersama bayangan Ibu dan bayanganku yang terkapar.

Kutatap wajah ‘Ibu’ di hadapanku, wajah yang kini tidak menunjukkan sedikitpun kehangatan seorang ibu. Dia bukan Ibu. Dia adalah entitas yang telah lama menunggu, memanfaatkan ketakutan yang kurengkuh dalam mimpi.

“Mimpimu… membawamu kemari,” bisik ‘Ibu’ lagi, suaranya kini terdengar seperti bisikan kematian itu sendiri. “Dan kini… kamu ada di sini.”

Aku tahu. Aku tahu apa artinya itu. Aku tidak terbangun dari mimpiku. Aku hanya melangkah lebih dalam ke dalamnya. Gang sempit, bayangan hitam, bisikan itu… semua adalah jalan menuju tempat ini, tempat di mana kematian menanti. Dan yang lebih mengerikan, ‘Ibu’ yang selama ini menenangkanku, memberiku makan, merawatku… adalah bagian dari permainan ini. Aku telah terperangkap dalam mimpi yang membawa kematian, dan aku tahu, kali ini, tidak akan ada yang bisa membangunkanku lagi.

1
Kriicers
terimakasih bagi yangg sudahh membaca ya gaes ,apakah enak di gantung?😭🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!