NovelToon NovelToon
PENANTIAN CINTA HALAL

PENANTIAN CINTA HALAL

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: ZIZIPEDI

Aila Rusli tumbuh dalam keluarga pesantren yang penuh kasih dan ilmu agama. Diam-diam, ia menyimpan cinta kepada Abian Respati, putra bungsu Abah Hasan, ayah angkatnya sendiri. Namun cinta mereka tak berjalan mudah. Ketika batas dilanggar, Abah Hasan mengambil keputusan besar, mengirim Abian ke Kairo, demi menjaga kehormatan dan masa depan mereka.

Bertahun-tahun kemudian, Abian kembali untuk menunaikan janji suci, menikahi Aila. Tapi di balik rencana pernikahan itu, ada rahasia yang mengintai, mengancam ketenangan cinta yang selama ini dibangun dalam doa dan ketulusan.

Apakah cinta yang tumbuh dalam kesucian mampu bertahan saat rahasia masa lalu terungkap?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

16 PENANTIAN CINTA HALAL

Udara subuh menyeruak lewat celah jendela. Kabut tipis masih menggantung, seperti enggan pergi. Dari balik pintu kamar, Azela diam-diam memperhatikan suaminya yang tengah mengenakan baju koko putih bersih. Syal tipis di leher Bayu mengisyaratkan bahwa subuh ini dia akan keluar mengisi kajian.

Bayu tampak tenang. Terlalu tenang. Tidak ada satu pun ekspresi emosional di wajahnya. Tapi justru itulah yang membuat Azela sulit menebak isi hatinya. Pria itu seperti karang, diam, tapi menyimpan badai.

“Mas…” lirih Azela, namun tak cukup nyaring untuk diperdengarkan. Mungkin hanya telinganya sendiri yang mendengarnya.

Tangannya menyentuh sisi perutnya yang masih terasa nyeri. Semalam, perutnya keram, namun Azela tak memberi tahu Bayu.

Kata-kata Bayu masih terngiang, tentang aib yang ditutupi, bukan diumbar. Tentang kebaikan yang tak harus disorot. Tentang kesabaran yang tak selalu berarti diam. Azela merasa tak enak terus merepotkan Bayu.

Sementara itu, Bayu keluar dari kamar. Ia sempat melirik Azela yang berdiri di dekat ruang makan. Tapi seperti biasa, ia tak banyak bicara.

“Aku pamit ngisi kajian di luar kota. Jangan lupa sarapan. Obatnya juga diminum.Insya Allah selesai acara aku langsung pulang. Kabari aku jika ada apa-apa.”

pesan Bayu sebelum pergi.

“Iya, Mas… hati-hati di jalan.”

Bayu mengangguk singkat. Lalu melangkah pergi tanpa banyak basa-basi.

Pondok Pesantren di Ponorogo tepatnya di Aula Putra kajian rutin. Mingguan.

Jam menunjukkan pukul 04.45 pagi. Santri-santri putra duduk rapi di aula besar, bersarung dan mengenakan peci. Di depan mereka, sosok Bayu berdiri tegap di hadapan papan tulis putih. Suasana hening. Tak ada suara gaduh, hanya detak jarum jam dan desir angin dari jendela terbuka.

Bayu berdiri dengan satu tangan di saku, satu lagi memegang spidol.

Wajahnya datar, dingin seperti biasanya, tapi begitu ia mulai bicara, setiap kata menggema kuat dan berwibawa.

“Hari ini, kita akan kupas tentang Akhlak terhadap diri sendiri. Banyak dari kita rajin membaca, rajin shalat, puasa sunnah pun dilakukan… tapi masih saja kita menghina diri sendiri tanpa sadar.”

Para santri saling pandang.

“Bagaimana caranya manusia menghina dirinya sendiri…? Dengan membiarkan dirinya hidup dalam dosa dan tidak berusaha untuk berubah.”

“Dengan menyerah pada masa lalu, dan menganggap dirinya tidak layak mendapat rahmat Allah. Itu bentuk penghinaan yang paling halus, tapi sangat merusak.”

Bayu berhenti sejenak. Suaranya menurun satu oktaf, dingin namun tajam.

“Kalau hari ini kamu masih hidup… masih bisa dengar suara ini… itu artinya Allah masih beri kesempatan untuk memperbaiki diri. Lalu, kenapa kita lebih percaya rasa putus asa daripada rahmat-Nya?”

Sorot mata Bayu mengarah pada barisan santri terdepan. Suaranya sedikit mengeras.

“Ingat, bukan masa lalu yang menentukan kamu siapa, tapi bagaimana kamu menyikapi masa lalu itu. Jangan jadikan aib sebagai identitas. Jadikan sebagai pelajaran.”

“Dan jangan pernah menganggap diri kalian terlalu kotor untuk kembali. Bahkan seorang pezina bisa masuk surga… jika ia bertaubat dengan taubat yang sebenar-benarnya.”

Ruang aula kembali hening. Tak satu pun santri berani bersuara.

Bayu melirik jam tangannya.

“Cukup sampai sini. Kita lanjut pekan depan.”

Lalu ia turun dari mimbar. Tapi sebelum keluar dari aula, seorang santri bertanya dengan suara gemetar,

“Ustadz Bayu…izin bertanya, kalau seseorang pernah menghancurkan hidup orang lain… apakah dia masih pantas untuk berubah?”

Bayu menatap tajam pemuda itu. Hening beberapa detik, lalu jawabannya mengiris.

“Jika orang itu masih bisa merasa bersalah, berarti hatinya belum mati. Dan jika hatinya belum mati… maka ia masih bisa hidup sebagai hamba Allah. Tapi ingat, perubahan bukan tentang kata-kata. Tapi bukti.”

Kemudian Bayu pergi. Langkahnya tenang. Tapi dalam hati, ia tahu… dirinya sendiri sedang berjuang dengan luka yang sama.

Sementara di pesantren Al Fatah, hari itu ndalem Kiai Hasan terasa biasa saja. Umi Fatimah sibuk di dapur, sementara para santri mulai bersiap menghadiri kajian pagi. Bayu baru saja tiba dari luar kota tepat pukul 08.30 setelah mengisi kajian subuh, dan Aila terlihat sibuk menjemur baju sambil bersenandung pelan di halaman belakang.

Namun, suasana tenang itu pecah saat terdengar suara salam lantang di depan ndalem.

“Assalamu’alaikum...”

Suara itu berat, maskulin, tapi terasa familiar bagi semua penghuni rumah. Seperti suara yang sudah lama menghilang namun tak pernah terlupa. Para santri yang sedang menyapu halaman langsung menoleh. Umi Fatimah yang baru saja keluar dari dapur menjatuhkan sendok kayunya.

“Masyaallah... Abian?” gumamnya.

Dengan koper besar di tangan, sorban tersampir di bahu, dan wajah yang sedikit lebih dewasa dari dua tahun lalu, Abian berdiri di depan pintu ndalem. Senyumnya sumringah. Tubuhnya kini lebih tegap, sorot matanya lebih teduh.

Abian pulang. Tanpa kabar. Tanpa pemberitahuan.

Yai Hasan sampai harus duduk setelah mendengar kabar itu dari para santri. Namun yang paling mengejutkan justru ekspresi Aila.

Gadis bermata bening itu membeku. Kedua tangannya refleks menutupi mulutnya. Matanya membulat, lalu pelan-pelan berubah basah.

“Mas Abi... pulang?” bisiknya pelan.

Tak menunggu lama, Aila langsung berlari kecil ke arah halaman depan. Di sanalah sosok yang selama dua tahun hanya hadir lewat doa, kini berdiri nyata di depan matanya.

“Mas...”

Abian menoleh. Senyum yang ia sematkan pada semua orang, menjadi lebih lembut saat matanya menangkap sosok Aila.

“Dek Aila...” sapanya sambil tertawa kecil.

Aila tak bisa berkata-kata. Air matanya jatuh begitu saja.

Sementara Itu...

Bayu yang baru saja mengganti baju di kamar dan hendak keluar ke teras depan, terhenti di ambang pintu.

Dari kejauhan, ia menyaksikan semua itu.

Sorot bahagia di mata Aila. Cara Abian menatap gadis itu dengan senyum penuh rindu. Dan cara Aila menunduk malu seperti gadis kecil yang menemukan kembali mainan favoritnya.

Dada Bayu terasa sesak. Namun wajahnya tetap datar. Tak ada yang tahu isi pikirannya. Pria itu hanya memalingkan wajah, sembari menarik nafas panjang.

1
Ita Putri
poor bayu
Ita Putri
jangan" hamil anak almarhum dr.kenzi
R I R I F A
lanjut aku suka cerita yg islami...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!