Aku ingin kebebasan.
Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.
“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”
Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.
“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 31
Langit sore mulai berwarna jingga saat beberapa truk boks berhenti tepat di pelataran ponpes Al Firdaus. Para santri dan warga sekitar yang awalnya hanya berkerumun karena penasaran, makin kaget melihat nama katering papan atas yang menurunkan ratusan boks makanan hangat.
“Fajar, tolong pastikan semua paket sembako dibagikan sesuai data ya. Jangan ada yang terlewat, apalagi janda tua dan yatim,” ujar Kia pelan namun tegas pada asisten kepercayaannya.
Fajar yang berdiri di samping mobil van segera mencatat ulang di ponsel, “Siap, Bu Kia. Saya udah koordinasi sama pengurus RT dan bagian logistik ponpes.”
“Bagus. Kita mau orang-orang senang, bukan cuma sekadar ‘bagi-bagi’,” timpal Kia sambil merapikan kerudung instan yang baru saja dia kenakan sore itu.
Putri, sekretaris pribadinya, ikut turun tangan mengatur barisan penerima bantuan. “Bu Kia, makanan siap disajikan. Para santri udah siap bantu juga,” lapornya semangat.
Kia tersenyum singkat. Bukan senyum formal, tapi tulus, penuh rasa syukur. “Kita enggak akan berubah jadi orang lain, Put. Tapi setidaknya hari ini mereka lihat sisi terbaik dari aku,” ucap Kia sambil menatap anak-anak kecil yang sudah antre membawa wadah makanan.
Beberapa warga sempat berbisik satu sama lain. Ada yang menyebut nama Kia dengan nada kagum, ada juga yang masih menyimpan sinis.
“Enggak nyangka perempuan yang katanya dulu doyan balapan motor bisa berubah kayak gini ya,” gumam seorang ibu sambil menggendong balita.
“Iya, padahal dulunya galak, suka ngomel di medsos. Tapi liat sekarang, malah kayak ibu pondok,” timpal ibu lain dengan nada heran tapi tak bisa menyembunyikan kekagumannya.
Kiai Hisyam yang ikut berdiri di samping mobil logistik pun menoleh pada istrinya. “Alhamdulillah, yang penting hatinya lurus, biar latar belakangnya keras,” ujarnya pelan.
Nyai Kalsum mengangguk, “Semua orang bisa berubah, asal niatnya kuat. Apalagi kalau udah nyatu sama orang yang benar.”
Sore itu, halaman ponpes tak cuma penuh dengan tumpukan sembako dan makanan lezat, tapi juga senyuman. Senyum yang mungkin belum semua ikhlas, tapi cukup untuk meluluhkan setengah prasangka yang masih mengambang.
Langit sore di pondok pesantren Al Firdaus memerah lembut, menandakan waktu asar hampir tiba. Di tengah suasana damai dan ramainya pembagian sembako, langkah Ustadz Damar Faiz Alfarez mencuri perhatian semua orang. Ia muncul dari arah gerbang utama sambil menenteng sebuah kotak besar berbalut pita emas dan dibalut kertas bergambar daun zaitun.
"Assalamualaikum," serunya lantang sambil tersenyum, membuat para santri dan warga menoleh bersamaan.
Kia yang sedang duduk santai di teras rumah Nyai Kalsum langsung berdiri, alisnya naik, tatapannya bingung, "Mas, ini apalagi sih? Bukannya tadi udah ngasih cincin pas lamaran juga?" tanyanya pelan.
Dengan santai dan senyum lebar, Ustadz Damar membuka kotaknya. Di dalamnya, tampak buket super besar, kombinasi mawar merah, melati putih, anggrek ungu, dan bunga matahari yang segar dan harum. Ukurannya benar-benar mencolok, seperti rangkulan anak SMA.
"Ini bukan sekadar bunga, Sayang," ucap Ustadz Damar sambil mendekat dan menatap Kia lembut. "Ini lambang ucapan terima kasihku karena kamu sudah kuat, sudah hebat, dan sekarang jadi calon ibu dari anak kita," katanya pelan tapi jelas, membuat orang-orang di sekitar menahan napas.
Kia hanya bisa menunduk, pipinya memerah.
"Ini bunga buat kamu. Mawar karena kamu penuh cinta. Melati karena kamu bawa harum dan damai. Anggrek karena kamu kuat dan anggun meski keras kepala. Dan matahari… karena kamu sinar hidupku," imbuhnya dengan suara berat.
Tiba-tiba salah satu santri nyeletuk sambil berbisik ke temannya, "Astaga, gombalnya ustadz kayak brondong tiktok," katanya tertawa kecil.
Suasana jadi pecah. Nyai Kalsum hanya menggeleng-geleng sambil nyengir, "Ya Allah, Damar... kamu ini ustadz apa pujangga?" katanya menggoda.
Ustadz Hisyam ikut tertawa, "Tapi boleh juga. Istrimu memang pantas dikasih spesial. Si Kia ini dulu kayak bara api, sekarang berubah jadi pelita," ucap beliau dengan bangga.
Kia tersenyum lebar, memeluk bunga itu erat, lalu mendekat ke suaminya. "Terima kasih ya, Mas. Aku kira kamu sibuk ngurus jamaah, ternyata malah nyiapin drama romantis kayak gini," katanya pelan.
Ustadz Damar mencium kening Kia sekilas, lalu membisik, "Yang sibuk tetap bisa curi waktu kalau hatinya sudah penuh sama satu nama. Dan nama itu Kia," imbuhnya.
Suasana pondok semakin meriah. Para santri dan warga saling menatap geli, ada yang terharu, ada yang menggoda.
"Aku doain anaknya nanti mirip Kia, tapi jangan tomboi-tomboi amat ya," ujar salah satu ibu-ibu sambil terkekeh.
"Yang penting jangan meledak-ledak kayak dulu, Mbak Kia. Sekarang udah jinak sama cinta," tambah ibu lainnya.
Kia tertawa geli, lalu membalas, "Dulu aku kayak api, sekarang jadi lilin. Bakar pelan-pelan, tapi buat menerangi. Apalagi kalau disamping Ustadz Damar," katanya santai, membuat semua orang kembali bersorak.
Langit mulai tenang. Lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dari mushala utama terdengar samar dibawa angin. Di halaman rumah Nyai Kalsum, keluarga besar Kiai Hisyam dan para santri duduk melingkar. Lampu temaram, tikar digelar, dan aroma wedang jahe menyatu dengan udara malam yang adem.
Kia duduk bersandar di bahu Damar, matanya berkaca-kaca sejak tadi. Di sisi lain, Zahrah sibuk menyiapkan toples kecil berisi kurma untuk tamu-tamu keluarga. Nyai Kalsum membuka acara dengan suara lembut dan berwibawa.
“Doa ini sebagai rasa syukur atas nikmat Allah, juga buat anak kita Kia, calon ibu, dan Damar, suami yang insya Allah jadi pemimpin keluarga yang berkah,” ucap Nyai Kalsum sambil mengangkat tangannya.
Semua mengaminkan. Ustadz Damar menunduk khusyuk, sesekali mencuri pandang ke arah Kia yang tampak menahan tangis haru.
Selesai doa, suasana berubah jadi lebih santai. Beberapa santri mulai bercanda pelan. Alifah adik sepupunya ustadz Damar, ikut nimbrung sambil menyeruput jahe hangat.
“Nggak nyangka Kak Kia sekarang udah kalem gini ya. Dulu mah... wushh... galaknya ngalahin pelatih judo,” goda Alifa sambil tertawa.
Kia menoleh, mencubit lengan adiknya.
“Mulai sekarang aku harus belajar manis, demi calon anaknya ustadz,” katanya sambil tersenyum kecil.
Ustadz Damar memeluk bahu Kia lembut. Suaranya pelan, tapi terdengar jelas oleh semua orang.
“Dulu kamu liar karena belum ada yang beneran jagain hatimu. Sekarang kamu punya aku. Insya Allah, selamanya,” ucap Damar sambil menatap Kia penuh makna.
Zahrah menutup mulut, menahan teriakan gemas.
“Ustadz Damar, astagfirullah... gombalnya bisa buat santri perempuan gagal fokus besok subuh,” celetuknya, disambut tawa seisi ruangan.
Kia menunduk, pipinya merah.
“Aku ngidam, Mas...” gumam Kia pelan, matanya mengarah ke langit malam yang bersih tanpa awan.
“Ngidam apa?” tanya Damar, mengelus punggung tangannya.
“Bulan madu di Jepang. Tapi nggak cuma buat seneng-seneng. Aku pengin ngunjungin makam nenekku di Hokkaido. Sekalian ngajak kamu lihat sisi lain dari hidupku yang belum kamu tahu,” ujarnya dengan nada ragu-ragu.
Damar mengangguk pelan.
“Kalau itu bisa bikin kamu bahagia, aku yang siapkan semuanya. Nggak usah nunggu anaknya lahir, kalau dokter bilang aman, kita berangkat,” sahutnya yakin.
Kia menatap suaminya penuh rasa. Tak banyak kata. Tapi pelukannya malam itu, hangat dan tenang, menghapus semua luka masa lalu yang masih tertinggal.