Zoe Aldenia, seorang siswi berprestasi dan populer dengan sikap dingin dan acuh tak acuh, tiba-tiba terjebak ke dalam sebuah novel romantis yang sedang populer. Dalam novel ini, Zoe menemukan dirinya menjadi peran antagonis dengan nama yang sama, yaitu Zoe Aldenia, seorang putri palsu yang tidak tahu diri dan sering mencelakai protagonis wanita yang lemah lembut, sang putri asli.
Dalam cerita asli, Zoe adalah seorang gadis yang dibesarkan dalam kemewahan oleh keluarga kaya, tetapi ternyata bukan anak kandung mereka. Zoe asli sering melakukan tindakan jahat dan kejam terhadap putri asli, membuat hidupnya menjadi menderita.
Karena tak ingin berakhir tragis, Zoe memilih mengubah alur ceritanya dan mencari orang tua kandungnya.
Yuk simak kisahnya!
Yang gak suka silahkan skip! Dosa ditanggung masing-masing, yang kasih rate buruk 👊👊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Dia?
Bugh!
Bugh!
Bugh!
Suara pukulan bergema keras. Ryder, dengan wajah gelap dan rahang mengeras, melepaskan tinjunya ke wajah salah satu anak buahnya. Di lantai, beberapa anak buah lainnya sudah terkapar dengan wajah lebam dan tubuh meringis menahan sakit.
“Kalian semua tidak becus!” bentak Ryder keras, napasnya memburu penuh amarah. “Aku sudah bilang, satu tugas sederhana, jaga Zoe. Tapi yang kalian lakukan? Kalian malah lengah!”
Ryder menendang kursi besi hingga mental ke dinding. Aura dingin dan membunuh memancar dari tubuhnya. Bukan lagi Ryder yang dikenal Zoe, ini adalah sisi gelapnya, sisi yang tak kenal ampun.
Dari kecil, Ryder memang dididik keras oleh sang kakek, mafia yang ditakuti oleh beberapa negara. Untuk menjadi penerus klan mafia, Ryder dipaksa meninggalkan masa kanak-kanaknya.
Setelah memberi pelajaran, pintu ruang bawah tanah terbuka. Dante tangan kanannya masuk dengan dua anak buah lain yang menyeret sepasang suami istri muda dalam keadaan terikat dan tampak ketakutan. Mereka dihempaskan ke lantai tanpa ampun.
Dante menatap Ryder. “Mereka tinggal di kontrakan sebelah kamar Nona Zoe. Api berasal dari kontrakan mereka.”
Ryder menatap tajam, matanya dingin tak berperasaan. Wajahnya kaku, tapi sorotnya bengis, seperti psikopat yang haus darah.
“Kalian,” ucap Ryder pelan. “yang hampir membunuh Zoe?”
Pria muda itu terbata-bata, mencoba menjawab.
“T—tidak, bukan begitu, kami nggak sengaja! Kami ... kami lupa mematikan kompor, waktu buru-buru keluar—”
Ryder menaikkan alisnya pelan. “Lupa?” nada suaranya rendah, tapi mengancam.
Wanita di sebelah pria itu mulai menangis. “I—itu kecelakaan, kami nggak ada niat jahat, kami cuma ... cuma lalai …. ”
“Lucu sekali alasan kalian. Jadi kalian lupa, tapi malah bawa tas kabur dari kota? Tanpa lapor ke siapa pun?” kata Dante dengan suara dingin.
Dante kemudian berjalan maju dan melempar dua benda ke lantai. Kunci cadangan dan kantong bubuk putih.
“Lalu bagaimana kau jelaskan ini?” suara Dante datar, tapi tajam seperti silet. “Duplikat kunci kamar nona Zoe, dan bubuk tidur ini kalian taburkan malam itu. Itu sebabnya nona Zoe nggak sadar bahkan saat asap mulai tebal.”
Wajah pasangan itu langsung pucat pasi.
Ryder mendekat pelan. “Jadi kalian … masuk ke rumahnya, menaburkan bubuk tidur, lalu membuat kebakaran? Itu bukan lupa, itu upaya pembunuhan.”
“Nggak! Kami cuma ... kami mau ambil barang-barang, kami kira dia nggak ada, tapi dia terus berada di rumah! Kami panik!” pria itu mencoba berdalih.
“Zoe bisa mati malam itu,” gumam Ryder, nadanya rendah, “Kalau aku terlambat beberapa menit saja. Dia pasti sudah jadi abu. Dan kalian ingin aku percaya ini semua cuma kecelakaan?”
Suara Ryder semakin dingin. “Kalau kalian bisa seenaknya masuk ke rumahnya, berarti kalian sudah merencanakan ini jauh hari.”
Dante melangkah ke samping Ryder. “Kami juga temukan rekaman CCTV, Boss. Mereka bolak-balik periksa kontrakan nona Zoe dua hari sebelum kebakaran saat nona Zoe ke sekolah. Mereka cari waktu kosong.”
Wanita itu menangis keras. “Ampuuun … kami butuh uang … kami cuma mau ambil barang… kami pikir nggak ada orang—” wanita itu masih mencoba beralibi.
Ryder menatap mereka tanpa emosi. “Siapa yang menyuruh kalian?” potong Ryder.
Keduanya terdiam, tak menjawab.
Ryder menatap mereka satu per satu. “Aku tanya ... siapa yang menyuruh kalian?”
Masih tidak ada jawaban.
Dengan gerakan tenang tapi dingin, Ryder mengambil pisau dari pinggangnya, menatap tajam ke arah pria itu, lalu tanpa peringatan mengir*s j*ri k*lingking pria itu hingga terp*tong setengah.
“Arrrggghhhh!” teriak pria itu meraung kesakitan, tubuhnya gemetar hebat.
“Berhenti! Berhenti! Aku akan kasih tahu!” jerit sang istri, menangis histeris. “Kami disuruh seseorang! Kami cuma disuruh seseorang!”
Ryder menatapnya tajam. “Siapa?”
Wanita itu terisak, matanya membelalak ketakutan. “Kami ... kami nggak tahu namanya! Kami bahkan nggak lihat wajahnya!”
“Jangan main-main denganku.” suara Ryder dingin.
“Sungguh! Kami ... kami dapat telepon dari pria dewasa. Dia bilang akan bayar banyak kalau kami buat kerusakan kecil di kontrakan Zoe. Tapi saat kami tolak, dia ancam kami. Kami takut! Kami akhirnya setuju, dia kasih instruksi lewat pesan. Tapi kami ... kami nggak pernah lihat wajahnya! Maafkan kami, kami juga butuh uang untuk biaya hidup.”
Ryder menarik napas panjang, ekspresi wajahnya semakin gelap.
“Jadi, kalian dibayar seseorang yang tak kalian kenal, dan kalian menaruh bubuk tidur lalu membiarkan Zoe hampir mati terbakar?”
Wanita itu mengangguk cepat. “I—iya ... iya ... kami takut ... maafkan kami ....”
Ryder menoleh ke Dante. “Cari tahu siapa pemilik nomor telepon itu. Dan mulai lacak siapa saja yang punya dendam pada Zoe. Aku ingin semua nama yang mungkin, sebelum malam ini.”
Dante mengangguk cepat. “Siap, Boss.”
Ryder menatap pasangan itu untuk terakhir kalinya, ekspresi wajahnya membeku.
“Kalian tidak akan mati hari ini,” ucap Ryder pelan. “tapi kalian akan berharap kalian mati.”
Dia berbalik, berjalan pergi, sementara suara tangisan dan ketakutan pasangan muda itu menggema di seluruh ruangan.
***
Ruangan VIP itu sunyi, hanya suara detak jarum infus dan embusan lembut AC yang terdengar. Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis, menciptakan bayangan samar di dinding.
Zoe duduk bersandar di tempat tidur, tatapannya kosong menatap ke luar jendela. Selang infus menempel di tangannya, namun perhatian Zoe bukan pada rasa nyeri atau luka-luka ringan di tubuhnya. Melainkan pada pikiran yang berputar dalam kepalanya.
"Tidak ada ...." gumam Zoe lirih.
Ia mengerutkan alis. “Seingatku ... nggak ada scene Zoe asli kebakaran di kontrakan.” Ia menarik napas dalam. “Cerita ini mulai keluar jalur ... atau ... mungkin memang bukan cerita lagi?”
Zoe menggigit bibir bawahnya, mencoba memahami semua ini.
Dia teringat jelas percakapan terakhir dengan “Zoe asli” jiwa lain yang sempat muncul dalam mimpinya malam itu.
“Ini bukan dunia novel, Zoe. Ini dunia dengan dimensi berbeda. Buku yang dibaca Reva itu, hanya portal.”
Zoe meremas selimut. “Aku harus bagaimana sekarang?”
Ia menghela napas panjang. Rasa sesak memenuhi dadanya, bukan karena luka, tapi karena kebingungan dan ketidakpastian.
“Apa aku bisa menebak alur cerita ini kalau ternyata ceritanya sendiri hidup?” gumamnya getir.
Tok!
Tok!
Pintu ruangan diketuk lembut lalu terbuka perlahan.
Zoe menoleh, dan matanya membulat saat melihat sosok yang masuk.
Ryder.
Pria itu mengenakan kemeja hitam yang masih ada bercak darah yang samar di bagian lengan bukan darahnya sendiri, tapi orang lain. Namun wajahnya bukan wajah bengis seperti yang ditunjukkan di markas. Bukan wajah dingin seperti pembunuh.
Sekarang, wajah itu lembut. Begitu lembut dan dipenuhi kekhawatiran. Begitu melihat Zoe menoleh padanya, Ryder berjalan cepat menghampiri.
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Ryder langsung memeluk Zoe erat.
Zoe membeku di tempat, matanya membelalak.
“R—Ryder?”
Pelukan itu hangat. Tapi juga berat. Seolah menyimpan ketakutan, kemarahan, dan rasa bersalah sekaligus.
“Maaf ....” bisik Ryder, suaranya terdengar parau di telinga Zoe. “Aku gagal jaga kamu .…”
Zoe terdiam. Seluruh tubuhnya kaku. Ini Ryder yang sama yang tadi malam nyaris memotong jari seseorang. Tapi sekarang … dia seperti pria berbeda, untungnya Zoe tidak tahu sama sekali.
Zoe mencoba mendorong pelan. “Aku baik-baik saja, Ryder. Luka kecil. Nggak perlu kayak begini.”
Namun Ryder justru mengeratkan pelukannya.
“Enggak. Kamu hampir mati, Zoe. Kalau sedikit saja lebih lambat aku mungkin kehilangan kamu.”
Zoe akhirnya menghela napas. Tangannya terangkat pelan, lalu menepuk punggung Ryder dengan canggung.
“Aku masih hidup, kan? Jadi bisa kamu peluk aku setelah mandi dulu, nggak? Kamu bau darah.” katanya setengah bercanda, mencoba mencairkan suasana.
Ryder tertawa kecil, tapi masih enggan melepaskannya. Akhirnya dia menarik diri pelan dan menatap wajah Zoe dengan sorot tajam namun lembut.
“Mulai sekarang, kamu nggak boleh tinggal sendirian lagi.”
Zoe mendesah. “Ryder, jangan mulai—”
“Aku serius.” Potong Ryder. “Apa pun yang terjadi, aku nggak akan biarkan kamu lepas dari pandanganku lagi. Bahkan kalau kamu marah atau ngambek.”
Zoe menatap mata pria itu. Sorotnya dalam dan penuh tekad. Tapi di sisi lain entah kenapa, Zoe bisa melihat sesuatu yang tersembunyi di balik tatapan itu.
Sesuatu yang belum bisa dia pecahkan.
Tapi untuk saat ini, Zoe hanya bisa berkata pelan, “Oke, tapi jangan terlalu protektif sampai aku nggak bisa napas, ya.”
Ryder tersenyum tipis. “Asal kamu masih hidup, aku rela nggak tidur seminggu.”
ayo Thor lebih semangat lagi up-nya 💪 pokoknya aq padamu Thor 🤭