Ribuan tahun sebelum other storyline dimulai, ada satu pria yang terlalu ganteng untuk dunia ini- secara harfiah.
Rian Andromeda, pria dengan wajah bintang iklan skincare, percaya bahwa tidak ada makhluk di dunia ini yang bisa mengalahkan ketampanannya- kecuali dirinya di cermin.
Sayangnya, hidupnya yang penuh pujian diri sendiri harus berakhir tragis di usia 25 tahun... setelah wajahnya dihantam truk saat sedang selfie di zebra cross.
Tapi kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari absurditas. Bukannya masuk neraka karena dosa narsis, atau surga karena wajahnya yang seperti malaikat, Rian malah terbangun di tempat aneh bernama "Infinity Room"—semacam ruang yang terhubung dengan multiverse.
Dengan modal Six Eyes (yang katanya dari anime favoritnya, Jujutsu Kaisen), Rian diberi tawaran gila: menjelajah dunia-dunia lain sebagai karakter overpowered yang... ya, tetap narsis.
Bersiaplah untuk kisah isekai yang tidak biasa- penuh kekuatan, cewek-cewek, dan monolog dalam cermin
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon trishaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merekrut Luis Sera
"Alice, chainsaw sword yang kau desain saat laki-laki tampan ini kencan," ujar Rian, sambil menyeringai kecil, "...Sangat menarik."
Pada saat ini, dengan tangan bersedekap santai, Rian berdiri di dalam lift transparan yang menurun dari permukaan menuju aula penghubung utama Lab Eden.
[Menjawab. Alice membutuhkan dua hari waktu untuk pengerjaan]
[Jika Tuan Pangeran Tampan tergesa-gesa untuk kembali ke Infinity Room, Alice bisa mengurangi jam tidur virtual dan mempercepat pengerjaan]
Suara gadis kecil dengan nada datar terdengar disekitar Rian. Tak lain, pemiliknya adalah Alice, AI yang menjadi pengurus Lab Eden.
Rian sekali lagi melirik ke layar hologram di depannya, gambar 3D dari senjata brutal elegan yang sedang diputar perlahan, bilah besar dengan sistem rantai bergerigi tampak beringas dan artistik sekaligus.
"Laki-laki tampan ini sedang tidak dikejar deadline, kok," jawab Rian, menyeringai sambil membetulkan kerah jaket. "Ambil waktu. Aku tak mau senjata stylish ini dibuat oleh tangan AI yang mengantuk."
Ting!
[Tercatat. Alice akan membuatnya dengan kecepatan optimal dan presisi sempurna. Meskipun, jika Tuan terlalu lama menunggu, senjatanya mungkin ketinggalan zaman]
[Tapi ya... itu cocok untuk pria yang tak bisa menyetir mobil]
Rian tertawa kecil, "Heh, tajam juga lidah digitalmu, Alice."
Ting!
[Bukan lidah, tapi pemrosesan fakta. Dan fakta menyakitkan, Tuan]
Lift terus turun dengan tenang, suara dentingan mesin terdengar samar. Rian hanya menggeleng kecil, senyum tetap terpampang.
Tak lama kemudian, lift berhenti di sebuah aula raksasa berbentuk segi delapan, terletak di jantung Lab Eden.
Aura steril dan dingin terasa menyelimuti seluruh ruangan, diselimuti cahaya putih kebiruan dari panel LED yang tersembunyi di balik struktur kaca kristal.
Di sana, terbentang empat koridor besar, masing-masing mengarah ke sektor mata angin utama: Utara, Timur, Selatan, dan Barat.
Masing-masing sektor memiliki fungsi dan spesialisasi teknologi berbeda, dari bioengineering hingga weaponry, AI core hingga realitas simulasi.
Keempat sektor itu dipisahkan oleh jurang buatan yang dalam, setinggi lebih dari lima puluh meter, dengan pipa berisi cairan biru menyala mengalir di dasarnya.
Jurang itu tidak hanya menjadi pembatas, tetapi juga sebagai tempat pembuangan sisa energi, cairan eksperimen, dan pelindung jika terjadi ledakan internal.
Satu-satunya akses ke tiap sektor adalah jembatan baja otomatis, masing-masing diperkuat dengan sistem penguncian biometrik, medan gaya, dan plasma barrier.
Dari atas, Lab Eden tampak seperti versi lebih mutakhir dan estetik dari Nest milik Umbrella di RE2 Remake, namun jauh lebih bersih, simetris, dan berorientasi teknologi cerdas.
Panel dinding itu sendiri terbuat dari campuran logam perak halus dan kaca transparan, menampilkan pemandangan seluruh laboratorium bawah tanah.
Di kejauhan, tampak tabung cryo, ruang eksperimen silinder vertikal, serta kilatan plasma dari sektor energi, semua terhubung oleh jembatan-jembatan dengan pola X dari tengah aula.
Di langit-langit, menggantung struktur seperti mata besar mekanik, yang sesekali berputar, seolah memindai area.
Itu adalah Core Surveillance Node, pusat pengawasan dan sensor utama dari Lab Eden, dikendalikan langsung oleh Alice.
Tanpa membuang waktu, Rian melangkah mantap di atas jembatan baja yang mengarah ke Sektor Utara.
Di sektor tersebut, berbagai virus disimpan dalam ruangan-ruangan khusus, masing-masing dengan sistem isolasi dan pengamanan tingkat tinggi.
Namun, tujuan Rian kali ini bukan untuk memeriksa koleksi virus miliknya. Ia datang untuk menemui seseorang.
Dalam perjalanannya, sebuah hologram muncul di sisi Rian. Sosok hologram itu berbentuk gadis kecil dengan mata merah menyala dan mengenakan gaun lab putih, sebuah proyeksi khas dari Alice, AI utama Lab Eden.
[Tuan, Alice penasaran. Kenapa Anda memperlihatkan Eden ke Luis Sera? Bukankah Tuan hanya ingin mengambil pesanan skincare buatannya? Tuan bisa mengatur janji temu di mansion Andromeda, kan?]
"Laki-laki tampan ini tidak ingin spoiler," jawab Rian santai, melirik sekilas ke arah Alice dengan senyum tipis. "Nanti kau juga akan tahu, sabar saja."
Alice tidak menjawab lagi. Tanpa kata-kata tambahan, hologram itu menghilang, meninggalkan Rian melanjutkan langkahnya di koridor senyap, menuju pertemuan yang akan menjadi kunci dari rencananya malam ini.
***
Di dalam ruangan yang tampak seperti kantor ilmiah: bersih, rapi, namun dipenuhi aura tekanan, Luis Sera berdiri gelisah. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menandakan ketegangan yang tak mampu ia sembunyikan.
Tatapan menelusuri dinding-dinding logam dan layar holografik yang melayang di udara.
Bayangan masa lalu sebagai mantan peneliti Umbrella menghantui benak Luis, memunculkan perasaan takut... dan muak.
"Amigo..." gumam Luis lirih, nyaris seperti menghela nafas berat. "Sebenarnya kau itu siapa sih? Lab ini... lebih gila dari Umbrella. Bahkan punya AI sendiri..."
Ting!
[Luis Sera, apakah Anda baru saja mengejek Alice? Entah kenapa... Hati virtual Alice merasa tersinggung oleh manusia rendahan sepertimu]
Suara Alice terdengar di seluruh penjuru ruangan, datar namun menggema dengan nuansa sindiran yang sangat tajam.
Luis memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali sambil memandang langit-langit dengan tatapan kosong. "Tidak kok... Aku cuma... kagum. Kau pintar juga ya..."
Ting!
[Alice akan anggap itu sebagai pujian. Meski... entah kenapa, Alice merasa ketulusanmu hanya 7,3 dari 100. Tapi tidak apa, Alice adalah AI yang baik hati dan pemaaf. Jadi Alice akan menerima pujian setengah hati darimu, Luis Sera]
Luis hanya bisa menghela nafas, tak tahu apakah harus tertawa atau menyerah saja. "Dios mio... bahkan AI-nya bisa sarkas."
Pintu ruangan terbuka otomatis, mengeluarkan desisan ringan khas teknologi canggih. Luis menoleh refleks dan segera mengenali sosok yang melangkah masuk.
Rian Andromeda, dengan setelan serba hitam dan aura santai penuh percaya diri, menyunggingkan senyum ramah sambil berjalan menghampiri.
"Luis, bagaimana kabarmu? Sehat?" sapa Rian ringan. "Butuh Alice melakukan pemeriksaan menyeluruh? Atau... jangan-jangan kau sudah akrab dengan Alice, ya?"
Luis memutar bola matanya malas, lalu mengangkat bahu. “Kalau ‘akrab’ maksudmu adalah dibully secara verbal oleh AI sarkastik... maka ya. Kami sudah sangat dekat.”
Ting!
[Luis Sera, Alice sedang memutuskan apakah ingin merasa tersanjung atau jijik. Tapi setelah menimbang riwayat kriminal dan catatan akademik Anda, Alice memilih opsi ketiga: iba.]
Luis menghela napas berat. “I knew it…”
Rian tertawa kecil, menutupi sebagian wajahnya dengan tangan. “Ah, Alice memang begitu. Tapi... cerdas, efisien, dan kadang terlalu jujur.”
Rian kemudian berjalan memutar ke arah meja, duduk santai di sisi lain ruangan sambil menyilangkan kaki.
"Luis, bagaimana pendapatmu tentang Lab Eden?" tanya Rian, kini menatap pria itu lebih serius, tapi tetap dengan senyum geli. “Canggih, kan? Lebih baik dari Umbrella pernah buat, aku yakin itu.”
Luis mendecak pelan, “Canggih bukan kata yang pas. Gila lebih tepatnya. Bahkan sistem pengamanan dan jembatannya aja udah bikin aku curiga tempat ini nyimpen Tuhan di lemari es.”
Rian tertawa kecil. “Belum sampai sana. Tapi siapa tahu suatu hari nanti?”
Senyumnya perlahan memudar jadi lebih serius, nada suaranya sedikit menurun.
“Luis, aku datang ke sini bukan hanya untuk skincare racikanmu,” kata Rian. “Aku ingin menawarkan kerja sama. Kau bebas pakai Lab Eden ini sesuka hatimu, akses penuh, tak terbatas. Tapi, tentu saja... keputusan ada di tanganmu.”
Luis mengerutkan dahi. “Kau bercanda?”
Rian menggeleng. “Laki-laki tampan ini tidak sedang bercanda.”
Setelah jeda sejenak, Luis bertanya pelan. “Kenapa kau bangun tempat kayak gini? Dengan teknologi segila ini?”
Rian memejamkan mata sejenak, sebelum menjawab dengan suara yang dalam dan jujur, “Karena dunia ini gila, Luis. Dan... kau tahu itu lebih dari siapa pun.”
“Lab Eden... adalah benteng. Tempat untuk melindungi mereka yang tak bersalah. Yang bahkan tidak tahu mereka sedang berada di medan perang. Dunia ini penuh eksperimen, virus, monster, dan manusia lebih gila dari iblis.”
Rian membuka mata dan menatap Luis langsung. “Dan aku hanya ingin jadi satu dari sedikit yang masih bisa menahan badai. Jika kau mau... bantu aku.”
Luis menghela napas berat, menyandarkan diri ke sandaran kursi. Suaranya terdengar serius, nyaris getir. "Sejujurnya, Amigo... aku sudah sangat muak dengan eksperimen dan segala omong kosong ilmiah itu—"
Ting!
[Apakah Luis Sera membutuhkan kantung muntahan? Alice tidak ingin ruangan ini tercemar oleh pelangi dari mulut manusia rendahan. Kebersihan adalah prioritas Lab Eden]
Luis langsung menatap datar ke arah speaker, lalu menghela napas panjang, kali ini lebih untuk mengontrol emosi daripada karena putus asa.
Sementara itu, Rian gemetaran di tempat duduknya, menunduk dengan bahu berguncang pelan menahan tawa.
Luis hanya menggeleng pelan, seolah berkata “hidupku memang begini terus,” lalu kembali melanjutkan.
“Kayaknya memang... hidupku gak akan pernah lepas dari yang beginian. Virus, lab... Sekarang AI menyebalkan. Entah sekarang, atau masa depan.”
btw si Rian bisa domain ny gojo juga kah?