Kamu anak tuhan dan aku hamba Allah. Bagaimana mungkin aku menjadi makmum dari seseorang yang tidak sujud pada tuhanku? Tetapi, jika memang kita tidak berjodoh, kenapa dengan rasa ini...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MUTMAINNAH Innah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 7
Nekat banget dia!" ucapku kemuadian.
"Kamu kenal?" tanya Nabila setengah berteriak di ujung daun telingaku.
Sontak pertanyaannya menjadi perhatian baru bagi semua orang yang ada di sekitar ini.
Hampir semuanya melihat ke arah kami berdua.
"Iya, jangan keras-keras, ih" sahutku sambil senyum-senyum.
"Ciyee, jangan-jangan gebetan baru! Kubilang ke umi nih," ancam Nabila bercanda.
"Apaan sih, bukan siapa-siapa," elakku sambil mengambil lagi senyumku yang sudah terlanjur di lihatnya.
Perasaan marah dan kecewaku pada Jasson perlahan memudar.
"Beneran bukan? Nanti kenalin ke aku, ya?" rengeknya.
Seketika pikiranku terbayang kejadian beberapa tahun lalu. Seperti ini juga saat itu Risty yang dulunya penasaran dengan Gilang. Dan akhirnya diam-diam mereka jadian di belakangku.
Nggak ah, ntar kamu juga naksir," sahutku dengan canda. Meskipun tersirat ketakutan di dalamnya.
"Kamu bilang apa? Juga naksir? Berati beneran dong kamu naksir?" cecarnya. Beberapa pasang mata sepertinya masih menyimak. Terlebih Nabila paling nggak bisa menahan suara.
"Bukan, salah sebut." Aku salah tingkah.
Aku masih enggan mengakui perasaanku pada Jasson, namun aku juga nggak ingin ada sahabatku yang kukenalkan dengannya. Cukup saat itu saja aku dibodohi pacar dan sahabat. Kali ini jangan. Walaupun aku belum ada status hubungan dengannya tetapi tetap saja aku nggak ingin lagi melibatkan sahabat.
"Yaudah kalau memang bukan gebetanmu, kenalin ke aku, ya?" ucapnya manja sambil melirikku nakal.
"Nggak," jawabku tegas dan sedikit serius.
"Pelit, ih!" Dia merajuk.
"Please! Jangan, ya? Ada waktunya kok nanti. Aku baru sekedar kenalan dengannya." Nada bicaraku melemah. Aku benar-benar memohon pengertiannya. Tapi aku juga nggak mau dia salah paham.
"Nay? Kok jadi serius? Kamu jadi keinget Risty, ya? Aku becanda, Nay, aku nggak ingin kenal dengannya kok. Nggak ingin tahu juga," lirihnya sambil menatap sayu ke arahku.
Candaan kami sebelumnya hilang seketika. Berganti suasana haru. Dia tahu bagaimana terlukanya aku dahulu. Bahkan hingga saat ini.
"Terima kasih, Bil." Aku tersenyum padanya. "Sebenarnya dia bukan siapa-siapa, hanya saja sejak pertemuan itu dia jadi sering bermain di pikiranku." Akhirnya aku mengakuinya.
Tiba-tiba semua suara terhenti, berubah menjadi bisikan dan yang masih bisa kudengar. Ungkapan kegaguman kini mereka lontarkan sambil menatap takjub ke arah belakangku. Sementara Nabilla sudah melongo dengan sedikit senyum yang terukir di bibirnya, lalu melihat ke arahku.
Aku ikut melihat ke arah yang di lihat mereka. Jasson berjalan begitu gagah ke arah kami sambil menoleh ke kiri memperhatikan satu persatu orang-orang yang duduk di sepanjang kursi di depan kelas. Sementara dari arah kanannya bertiup angin segar yang sesekali mengibas rambutnya.
Mataku terpaku ke wajahnya, aku adalah satu diantara puluhan wanita yang ada di tempat ini yang juga terbius oleh ketampanannya. Padahal baru tadi aku bertemu dengannya, hanya saja kemarahan dan kekecewaanku mengalahkan pesonanya. Tapi kini, jika kedatangannya ke sini benar untuk mencariku, aku merasa diperjuangkan. Walaupun dengan hal sesederhana ini, tapi bagiku berarti. Aku memang serapuh ini dalam mencinta.
Apalagi pengagumnya banyak sekali, jika aku menyia-nyiakan kesempatan ini. Akan mudah sekali baginya untuk mencari penggantiku. Aku akan menyesal jika tu terjadi. Walaupun berbeda keyakinan aku berharap akan ada jalan keluar. Untuk saat ini aku nggak mau terlalu menjauh.
Aku terus mengintai matanya, dan akhirnya, matanya pun berhasil menangkapku, serentak dengan itu, senyumnya melebar membuat dia semakin berkharisma. Kurasa, seluruh mahasiswi yang ada di sana akan terhipnotis dengan senyum mautnya. Jasson memepercepat langkah. Semua cewek yang ada di sana terlihat tak berkedip ke arahnnya. Sementara dia seperti tidak menyaksikan semua itu. Waktu kini terasa begitu lama berlalu. Seluruh kegiatan yang ada di sekitarnya seolah terhenti. Hanya aku dan dia saja yang bergerak seperti biasa.
"Kita bisa bicara sebentar?" tanyanya setelah berada tepat di depanku tanpa mempedulikan siapapun yang ada di sana.
Nabila yang berada tepat disampingku mulai mencubit punggungku.
"Aku masih ada urusan, ada apa? Katakan saja," pintaku sambil menahan sakit karna cubitan Nabila.
"Ada yang aku harus aku jelasin, tapi jangan di sini," ucapnya lagi.
"Tetapi, aku lagi-"
"Udah, sana! Kalau kamu nggak mau nanti diambil orang, ya nggak, Bang?" potong Nabila sok akrab.
Jasson diam saja. Seolah nggak ada siapapun yang bicara padanya. Beberapa orang yang menyaksikan menertawakan Nabila. Ia tampak kesal sekarang.
"Please? Kalau habis ini kamu benar-benar nggak mau ketemu aku lagi nggak apa-apa, aku terima." Wajahnya begitu serius dan memelas. Aku jadi nggak berani menolak. Lebih-lebih di depan banyak penonton seperti ini. Aku bisa jadi bahan hujatan jika menolak permintaan cowok setampan dia.
"Ya udah, tapi nggak lama, ya," pintaku sok jual mahal. Padahal aku begitu senang.
Dia mengangguk. Sekilas aku melihat orang-orang yang ada disekitarku. Mereka kini mulai bergerak lagi setelah beberapa detik mematung. Aku lalu pamit pada Nabila dan teman-teman lainnya.
Kepergianku dan jasson dari tempat itu di iringi belasan pasang mata. Mungkin sampai bawah pun beberapa di antara mereka masih memantau.
"Kita ke mana?" tanyaku menengadah ke arahnya setelah kami melewati lorong fakultas. "Ke tempat ternyamanmu," sahutnya.
"Di mana?" Aku mengujinya.
"Pantai," jawabnya lagi sambil menoleh ke arahku.
Aku nggak menyangka kalau dia tau tempat favoritku. Kami lalu saling senyum, suasana pun cair seketika.
"Tau dari mana?" tanyaku lagi sambil terus berjalan di sampingnya.
"Kan kemaren kamu cerita sering ke pantai sendiri. Nggak semua orang mau jalan sendiri ke suatu tempat, kecuali kalau tempat itu benar-benar nyaman untuknya. Di buku serpihan hati kamu juga beberapa kali menuliskan bahwa kamu begitu menyukai pantai," paparnya panjang lebar.
"Waw! Kamu masih ingat?" Aku nggak nyangka dia sampai hafal isi novelku. Bahkan aku saja baru ingat kalau memang ada beberapa adegan yang berlatarkan pantai di sana dan kujelaskan di novel itu betapa sukanya aku dengan pantai.
"Pasti, aku terlalu mengagumi penulisnya," ujarnya lagi. Lama-lama aku terbang juga dibuatnya.
Nggak terasa kami sudah sampai di parkiran.
"Kita berangkat dengan mobilku, ya," ajaknya.
"Nggak usah, kita dengan mobil sendiri-sendiri saja," usulku.
"Kenapa?" tanyanya mengerutkan dahi.
"Nggak baik, laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya berada di suatu tempat tanpa ada orang lain," sahutku menunduk.
Terasa sekali aku seperti orang munafik. Bukankah dulu aku dan Gilang juga sering semobil bersama? Tapi benar-benar saat itu aku masih sangat jauh dari agama. Kini pun belum sempurna, tapi aku hanya mencoba meminimalisir dosa. Lebih tepatnya, ingin menghindari dia dulu. Walaupun nanti ada kemungkinan aku akan tergoda lagi mengulangi hal itu.
"Oh, maaf. Iya, paham," ucapnya mengangguk.