berfokus pada kisah Satya, seorang anak dari mantan seorang narapidana dari novel berjudul "Dendamnya seorang pewaris" atau bisa di cek di profil saya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nemonia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Satya melirik sang ibu kemudian bangkit dari duduknya setelah sang ibu meletakkan piring ke atas meja. Shintia yang melihatnya, hanya bisa menatapnya dalam diam. Menatap punggung sang putra yang perlahan menjauh dan menghilang di balik pintu kamarnya.
"Apa terjadi sesuatu pada Satya?" tanya Raska tiba-tiba membuat Shintia mengalihkan pandangan dari pintu kamar Satya. Shintia yang sebelumnya berdiri, akhirnya duduk berhadapan dengan Raska dibatasi meja.
Shintia mengangguk lemah. "Mungkin dia memikirkan teror kemarin," ucapnya.
Sebelas alis Raska terlihat meninggi. "Terror?" tanyanya.
"Waktu itu seseorang melempar batu ke kamarku. Dan kemarin, gorden jendela tiba-tiba saja terbakar." Mengarah pada jendela yang kini gordennya telah diganti dengan yang baru.
Raska mengikuti arah pandang Shintia dengan pandangan tak terbaca kemudian kembali menatap Shintia dengan tatapan cemas. "Tapi kau tidak apa-apa, kan?"
"Seperti yang kau lihat. Meski hal itu sempat membuatku takut," jawab Shintia. "Menurutmu, siapa orang itu? Dan apa tujuannya?" Raska kembali bertanya seolah sangat penasaran.
Raska terdiam sejenak seperti tengah memikirkan sesuatu. Sampai akhirnya suaranya pun terdengar, "Apa kau atau Satya punya musuh?"
Shintia menggeleng. "Setahuku tidak ada. Jika pun ada, kenapa baru sekarang? Aku dan Satya sudah tinggal di sini cukup lama, tapi baru kali ini kami dapat teror," jelasnya.
"Apa mungkin ini ada hubungannya dengan pria itu?" ucap Rasa tiba-tiba.
"Pria itu?" gumam Shintia.
"Bukankah dia sekarang sudah bebas? Bisa jadi peneror ada hubungannya dengannya. Mungkin musuh atau seseorang yang berkaitan dengannya," papar Raska.
Shintia terdiam mencerna ucapan Raska. Apa yang dikatakannya terdengar cukup masuk akal. "Tapi... apa tujuannya?"
"Bisa jadi peneror itu sengaja menerormu agar pria itu keluar dari persembunyiannya. Sampai detik ini kau juga tidak tahu di mana keberadaannya bukan?"
"Tapi hari itu kau menemukannya, kan?" sela Shintia. "Maksudku, anak buahmu."
"Ya, tapi sekarang dirinya bagai ditelan bumi. Anak buahku tak dapat menemukannya lagi."
Setelahnya tak ada lagi yang membuka suara. Shintia tenggelam dalam pikirannya sendiri memikirkan ucapan Raska.
"Bagaimana jika kita menikah?"
Seketika Shinta menatap Raska dengan pandangan tak terbaca. la yang sebelumnya setengah menunduk, mengangkat kepala mencari kejelasan dari ucapan yang baru saja ia dengar.
"Maksudku, jika kau menikah denganku, peneror itu pasti tidak akan mengganggumu. Dia akan menganggapmu tak ada hubungannya lagi dengan pria itu," ujar Raska menjelaskan maksud dan tujuannya menawarkan pernikahan. "Aku tahu kau pasti tidak akan menerimanya. Lagipula, perasaanmu telah terkunci olehnya. Aku tahu itu. Tapi aku juga tidak bisa melihat orang yang aku cintai dalam bahaya. Hanya pura-pura, setidaknya untuk membohongi peneror itu agar berhenti mengganggumu dan Satya."
Shintia menatap Raska cukup lama. Haruskah ia menerima saran itu? Hingga akhirnya ia mengalihkan pandangan dengan tangan kanan mengusap lengan atas kirinya. "Aku... tidak tahu. Lagipula, belum tentu Satya menyetujuinya," ucapnya dengan suara pelan.
"Ya, aku tahu itu. Tapi ini hanya pura-pura, hanya untuk mencegah peneror itu mengganggu kalian. Bisa saja peneror itu hanya memberi ancaman pada kalian sekarang, tapi kita tidak tahu apa yang akan dilakukannya nanti. Bisa saja dia mencelakai Satya saat di luar atau bisa jadi perampokan yang kau alami waktu itu adalah si peneror itu sendiri."
Shintia tercenung mendengarnya. Yang Raska katakan terasa masuk akal. Dan dirinya memang sangat mengkhawatirkan Satya, tak tahu apa yang akan terjadi jika terjadi sesuatu pada Satya nantinya. "Aku ... akan mencoba membicarakan ini dengan Satya," ucapnya.
Sudut bibir Raska terangkat. Rencana sempurna membodohi Shintia agar percaya. Dengan begitu ia akan lebih mudah mencekoki Shintia agar semakin membenci Yoga juga membuat Shintia terikat dengannya. Teror itu adalah ulahnya, ia sengaja menciptakan situasi mencekam dan
mengaitkannya dengan kebebasan Yoga. Sepertinya ia harus berterima kasih pada Yoga karena momentum kebebasannya sempurna membuat rencananya terlaksana.
Beberapa saat kemudian, terlihat Satya yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah. la melangkah menuju lemari mengambil pakaian dan mulai memakainya satu persatu. Tepat setelah memakai celana, ponselnya Di atas meja terdengar berdering. Melihat siapa yang menghubunginya, ia pun menggeser layar mengangkat panggilan. "Halo "
["Ternyata benar, iblis itu ada hubungannya!"]
Satya melirik ponsel yang menempel di telinga dengan sebelah alis meninggi. "Apa maksudmu?"
["Olivia menghilangkan bukti yang kukatakan padamu. Dia juga menunjukkan wajah aslinya, mengatakan bahwa memang ayahnya yang telah membunuh ibuku."]
Suara Jessica terdengar penuh emosi saat mengatakannya. Bahkan sesekali terdengar isakan yang coba ia tahan.
Satya terdiam sampai akhirnya suaranya terdengar. "Jadi... apa yang akan kau lakukan?" tanyanya seraya meraih kemeja dan memakainya.
["Tentu saja membalas rasa sakit ibuku! Apa lagi?! Dan kau harus membantuku!"
Gerak tangan Satya yang mengancingkan kemejanya terhenti. Rasanya ia menyesal telah melibatkan diri dalam urusan Jessica. Tapi ada sedikit rasa iba mendengar ibu Jessica meninggal karena rekayasa Raska dan anaknya. Selain itu, ia sempat mengira Olivia adalah gadis polos. Tapi setelah mendengar apa yang Jessica katakan, ia semakin percaya wajah seseorang sama sekali tak mencerminkan sifat di dalamnya.
Tepat di saat itu ketukan pintu terdengar membuat Satya menoleh.
"Satya. Kau sudah selesai?"
"Kita lanjutkan nanti." Setelah mengatakan itu Satya mematikan sambungan telepon. Meletakkan ponselnya ke atas meja dan membuka pintu.
"Um... ada yang ingin ibu bicarakan," ucap Shintia dengan ragu.
"Pria itu sudah pulang?" tanya Satya seraya keluar dari kamar.
"Ya, baru saja," jawab Shintia seraya berjalan dan duduk kembali ke sofa ruang tamu.
"Sebaiknya jagalah jarak dengannya, Bu," ucap Satya yang masih berdiri di samping sofa yang ibunya duduki.
Shintia tak tahu harus mengatakan apa. Satya bahkan sudah mewanti-wanti, bagaimana jika ia membicarakan mengenai yang Raska sarankan tadi?
"Satya, sebenarnya... ibu...." Suara Shintia terdengar bergetar. la takut Satya akan berpikir yang tidak-tidak. Tapi semua ini demi keselamatan Satya.
Satya duduk berhadapan dengan sang ibu. la sudah mendingan ada hal penting yang ingin ibunya katakan tapi terlihat jelas ibunya tampak ragu." Katakan saja apa yang ingin ibu katakan," ucapnya.
Shintia mengepalkan tangannya di atas pangkuan. la menarik nafas dalam dan mengembuskannya perlahan kemudian menatap Satya dengan serius. "Bagaimana menurutmu, jika ibu menikah dengan paman Raska? Hanya pura-pura." Pada akhirnya Shintia mengatakannya walau hatinya merasakan saat kala kalimat itu terucap.
"Apa maksud ibu?" tanya Satya penuh selidik.
"Peneror itu, mungkin musuh dari ayahmu. Mereka meneror ibu agar ayahmu muncul. Jika ibu menikah dengan Raska, mereka pasti mengira kita sudah tidak ada hubungannya lagi dengan ayahmu," terang Shintia.
Seketika raut wajah Satya menjadi amat datar. " Dari mana ibu punya pikiran seperti itu. Pria itu yang mengatakannya pada ibu?"
Shintia terdiam, dan saat hendak membuka suara, Satya lebih dulu bangkit dari duduknya.