Shanca Evalyne Armandez tak pernah meminta hidup seperti ini. Sejak kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan misterius, ia menjadi tawanan dalam rumah sendiri. Dihabisi oleh kakak tirinya, dipukuli oleh ibu tiri yang kejam, dan dijual seperti barang kepada pria-pria kaya yang haus kekuasaan. “Kau akan menyenangkan mereka, atau kau tidak akan makan minggu ini,” begitu ancaman yang biasa ia dengar. Namun satu malam mengubah segalanya. Saat ia dipaksa menjebak seorang pengusaha besar—yang ternyata adalah pemimpin mafia internasional—rencana keluarganya berantakan. Obat yang ditaruh diam-diam di minumannya tak bekerja seperti yang diharapkan. Pria itu, Dario De Velluci, tak bisa disentuh begitu saja. Tapi justru Shanca yang disentuh—dengan cara yang tak pernah ia duga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CantiknyaKamu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MBM
Meka berkunjung ke rumah Sancha,dan ia juga memberikan kabar kalau ibu tirinya sudah masuk penjara akibat melakukan pelarian uang sebanyak 500 jt,dan tidak ada lagi bahaya yang mendekat kearah Sancha,semua komplotan Sinta sudah di amankan oleh pihak polisi canada
Sancha sedang menyiram tanaman kecil di halaman rumah, rambutnya dikuncir sederhana, dan wajahnya tampak lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya. Angin pagi bertiup lembut, membawa aroma kayu dan tanah basah.
Tak lama, suara mobil terdengar berhenti di depan gerbang kayu tua. Sancha menoleh dan mendapati Meka turun sambil membawa dua kantong besar belanjaan.
“Pagi, Sancha!” sapa Meka ceria.
Sancha tersenyum dan berlari kecil menghampiri.
“Meka! Tumben cepat sekali datangnya. Masuk, yuk.”
Keduanya masuk ke dapur kecil yang hangat dan duduk di meja kayu. Meka membuka kantong belanjaannya—berisi roti gandum, buah-buahan segar, dan beberapa bahan masakan lokal.
Sancha membantu menata makanan, namun tatapannya penuh rasa penasaran. Ia tahu, Meka tidak akan datang sejauh ini hanya untuk membawakan belanjaan.
“Ada sesuatu yang ingin kamu bilang, ya?” tanya Sancha sambil menatap Meka lurus.
Meka menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk.
“Iya. Ini kabar baik, Chan.”
“Ibu tirimu, Sinta… sudah masuk penjara. Polisi Kanada akhirnya menangkapnya atas tuduhan pelarian dana senilai 500 juta.”
Sancha terdiam. Matanya perlahan membesar, dan ia menutup mulutnya dengan tangan. Air mata perlahan mengalir tanpa suara.
“Komplotannya juga sudah diamankan. Termasuk orang-orang suruhannya yang dulu menguntitmu. Mereka sudah tak akan bisa menyentuhmu lagi,” lanjut Meka lembut.
Sancha menggeleng pelan, menahan isak.
“Jadi… aku benar-benar aman sekarang?” bisiknya.
“Ya,” jawab Meka sambil meraih tangan Sancha, menggenggamnya erat. “Kamu bebas. Bebas sepenuhnya.”
Sancha menangis dalam pelukan Meka. Untuk pertama kalinya, setelah semua penderitaan dan trauma, ia merasa benar-benar bisa menarik napas lega. Tidak ada bayangan ancaman. Tidak ada pengkhianatan. Tidak ada jeratan dari masa lalu.
Setelah beberapa menit, Sancha duduk kembali sambil menyeka air matanya.
“Terima kasih, Meka… kamu selalu ada buat aku.”
Meka tersenyum hangat.
“Aku janji, mulai sekarang kamu akan hidup sebagaimana kamu layak—damai, bebas, dan penuh harapan.”
Saat mereka tengah duduk di meja makan,akhirnya Sancha berbicara kepada Meka tentang kejadian yang ia lalui 2 hari yang lalu.
“aku benar-benar tidak nyangka kalau nyonya Uca adalah ibu dari pria itu ka..aku benar-benar takut saat itu..”
Meka melihat ketakutan Sancha,ia memeluk Sancha dengan erat…”ada aku cha,aku bakal melindungi kamu…”ujar Meka mengelus kepala Sancha.
malam hari nya,Meka memutuskan untuk menginap disana,namun mereka tidur di kamar yang terpisah.
Di Rumah Tua – Malam Hari
Setelah percakapan mengharukan tentang Nyonya Uca, Sancha tampak mulai lemas. Meka yang awalnya hanya berpikir itu kelelahan biasa, mulai merasa ada yang tidak beres saat Sancha tak keluar dari kamar terlalu lama.
Tiba-tiba suara benda jatuh terdengar dari dalam.
“Chan?!”
Meka berlari masuk dan menemukan Sancha tergeletak di lantai kamar, wajahnya pucat dan berkeringat dingin. Nafasnya pendek, dan tangannya memegangi bagian perut bawahnya.
“Chan, kamu kenapa? Astaga!” Meka segera panik dan mencoba membantu Sancha bangun.
Di Rumah Sakit Kota – Tengah Malam
Suara langkah kaki perawat dan dokter bergegas memenuhi lorong IGD. Meka duduk dengan cemas di ruang tunggu, jemarinya saling menggenggam erat. Matanya terus menatap ke arah pintu yang tertutup rapat, berharap kabar baik tentang sahabatnya.
Tak lama kemudian, seorang dokter keluar mengenakan masker dan clipboard di tangan.
“Anda kerabat dari Nona Sancha?”
Meka langsung berdiri. “Sahabat dekat, Dok. Bagaimana keadaannya?”
Dokter menatap Meka dengan tenang namun serius.
“Kondisinya stabil. Tapi kami menemukan sesuatu dalam pemeriksaan awal…”
Meka menahan napas.
“Sancha sedang hamil. Usia kandungan masih sangat muda, sekitar lima minggu. Kami akan melakukan observasi lanjutan, tapi sejauh ini janinnya tampak bertahan.”
Meka terdiam, dadanya terasa sesak. “Hamil…?”
“Ya. Mungkin karena kelelahan dan tekanan mental, tubuhnya bereaksi. Untungnya, dia datang di waktu yang tepat.”
Beberapa Jam Kemudian – Kamar Rawat Inap
Sancha perlahan membuka mata. Cahaya lampu kamar menyilaukan sedikit, tapi kehangatan tangan Meka di genggamannya membuatnya sadar dia tidak sendiri.
“kamu sudah sadar chan.…” suara Meka lirih.
Sancha hanya diam beberapa saat. Lalu menoleh pelan. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi bibirnya tetap terkatup rapat.
“apa yang terjadi kepada ku Ka..??” tanyanya pelan.
Meka terdiam,ia menghela nafas panjang…”ka-kamu hamil chan…!”
Sancha menutup matanya saat mendengar penjelasan dari Meka…”hamil…aku hamil…”lirih pelan namun penuh penekanan..
Sancha mengalihkan pandangan ke langit-langit kamar, dan dalam sekejap air matanya mengalir tanpa suara. Tubuhnya bergetar.
“Kenapa sekarang, Me? Kenapa dalam keadaan seperti ini aku harus tahu… bahwa aku membawa nyawa lain dalam tubuhku…? Aku bahkan belum siap jadi ibu…”
Meka langsung merangkulnya dari sisi tempat tidur.
“Chan… kamu nggak sendiri. Aku di sini. Kamu boleh marah, boleh takut, boleh menangis sepuasmu… Tapi jangan pernah berpikir kamu harus hadapi ini sendiri.”
Sancha menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisnya pecah. Bukan hanya karena ketakutan akan masa depan, tapi juga karena luka di hatinya yang belum sembuh.
“Aku bahkan nggak tahu harus bilang ke siapa. Aku nggak tahu apa dia akan menerima kenyataan pahit ini..atau bahkan saat ia mengetahui nya ia bakal membunuh ku dengan nyawa ini…”tunjuk Sancha melihat Meka dengan tatapan yang sangat kecewa.
Meka menggenggam tangan Sancha lebih erat.
“Dengar aku, Chan. Kamu tidak salah. Kamu korban. Kamu manusia. Dan kamu berhak hidup—kamu berhak bahagia. Sekarang, kamu istirahat dulu. Besok, kita pikirkan langkah selanjutnya bersama-sama.”
Sancha mengangguk pelan, masih berlinang air mata. Malam itu, di balik luka dan kepedihan yang dalam, untuk pertama kalinya ia merasa sedikit lebih kuat—karena ada Meka yang tak pernah meninggalkannya.