NovelToon NovelToon
Chaotic Destiny

Chaotic Destiny

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Perperangan / Light Novel
Popularitas:7.7k
Nilai: 5
Nama Author: Kyukasho

Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.

Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.

Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.

Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 30 Remake: Kenakalan Sang Putri

Di ruang singgasana yang megah, suara bentakan pecah, memantul di antara pilar-pilar marmer putih dan jendela kaca patri berwarna emas.

“Aku bukan burung di sangkar, Ayah!” seru Heliora Vixen, suaranya bergetar bukan karena takut, tetapi karena amarah yang tak bisa ia bendung. Rambut biru lautnya tergerai liar, matanya—biru secerah permukaan laut di musim panas—menatap tajam ke arah sosok di atas singgasana.

Raja Noah Vixen duduk tegak, mahkota emasnya berkilau dalam cahaya mentari sore yang menyusup dari balik kaca patri. Wajahnya keras, penuh garis pengalaman, namun matanya menyimpan lelah yang hanya dimiliki seseorang yang sudah kehilangan terlalu banyak.

“Heliora,” suaranya dalam dan berat, “kau adalah satu-satunya yang tersisa. Aku tidak akan membiarkanmu melemparkan hidupmu ke jurang demi... Kesenangan kekanak-kanakan.”

Heliora mengepalkan tangan. “Ini bukan kesenangan! Aku ingin melihat dunia. Aku ingin menentukan jalanku sendiri. Kau tidak mengerti—”

“Aku mengerti terlalu baik,” potong Noah, nada suaranya tajam bagai bilah baja. “Aku mengerti rasa kehilangan. Ibumu, Evelyn—direnggut oleh tragedi yang bahkan kini masih menggores jiwaku. Jean—” suaranya goyah, sejenak matanya terpejam, “—putra mahkotaku, mati dengan pisau beracun menembus jantungnya. Darahnya menggenang di lantai yang sama tempat kau berdiri sekarang, Heliora. Dan kau pikir aku akan membiarkan anak terakhirku terjun ke dunia yang sama kejamnya?”

Keheningan menggantung. Hanya detak jam tua di sudut ruangan yang terdengar.

Heliora mengangkat dagu, menahan panas air mata yang mengancam jatuh. “Ayah... Kalau kakak masih hidup, dia akan mendukungku.”

Noah berdiri dari singgasananya, langkahnya berat namun pasti saat ia turun dari anak tangga menuju putrinya. Setiap kata yang keluar terasa seperti beban berton-ton.

“Kalau Jean masih hidup, aku takkan gemetar tiap kali mendengar pintu takhta terbuka. Dan kau...” Tangannya menyentuh pipi Heliora, jemarinya kasar namun hangat, “...Kau adalah satu-satunya alasan aku masih duduk di sini hari ini.”

Heliora menepis tangannya. “Kalau begitu biarkan aku jadi alasanmu untuk percaya dunia tidak selalu kejam, Ayah.”

Di luar, lonceng istana berdentang tiga kali, menandakan tibanya utusan dari luar negeri. Noah menghela napas panjang, membuang pandangannya dari putrinya. “Kita akan membicarakan ini nanti. Untuk saat ini, kau akan tetap di istana.”

Heliora tahu perdebatan itu belum berakhir. Tapi dalam hatinya, ia sudah membuat keputusan. Tidak peduli berapa tinggi dinding istana ini, suatu hari ia akan melihat dunia dengan matanya sendiri—meskipun itu berarti melawan Raja Vixen, ayahnya sendiri.

---

Heliora melangkah pelan menuju lorong sunyi yang mengarah ke kamar mendiang ibunya. Dinding-dinding istana yang dihiasi lukisan nenek moyang keluarga Vixen terasa lebih dingin dari biasanya, seolah menyerap setiap langkahnya.

Kamar itu terletak di ujung koridor, berjendela besar dengan tirai putih yang berkibar pelan oleh hembusan angin musim semi. Saat Heliora membuka pintu, aroma samar lavender langsung menyeruak—aroma yang selalu dikaitkannya dengan ibunya. Kamar itu tampak rapi dan terawat karena para pelayan memang rutin membersihkannya, tapi bagi Heliora, kesan sunyi dan kosong tetap menusuk hati.

Ia berjalan mendekati lemari pakaian yang tinggi dan kokoh, terbuat dari kayu oak tua. Tangan mungilnya menyentuh permukaannya, merasakan guratan halus yang entah mengapa seperti menyimpan kenangan. Saat pintu lemari terbuka, barisan gaun elegan milik Evelyn Vixen terlihat tergantung rapi—masih utuh, seakan pemiliknya akan kembali kapan saja untuk mengenakannya.

Di sudut rak bawah, Heliora melihat sebuah kotak kecil berlapis beludru biru. Ia berlutut, menarik kotak itu keluar, lalu membukanya perlahan. Di dalamnya, terbaring sebuah cincin perak dengan kilau yang tak pudar meski dimakan waktu.

Di permukaan cincin itu terukir simbol yang langsung ia kenali—lambang pulau Evergreen, sebuah pohon raksasa yang akarnya melingkar seperti pelindung.

Jantung Heliora berdegup kencang.

Ia tahu, ibunya dulu berasal dari Evergreen sebelum menikah dengan ayahnya. Ibunya jarang membicarakan masa lalunya, tapi Heliora ingat pernah mendengar nada hangat di suara Evelyn setiap kali menyebut pulau itu—tempat yang katanya penuh kedamaian, namun juga keras bagi mereka yang ingin menjadi kuat.

Mata Heliora menatap cincin itu lama, seperti mencari pesan tersembunyi dari ibunya.

“Mungkin... Ini yang seharusnya kulakukan. Melanjutkan jejak Ibu.”

Dengan tekad yang baru terbentuk, ia menutup kotak itu rapat, lalu membawanya ke kamarnya sendiri. Tanpa membuang waktu, ia mengeluarkan sebuah tas kulit kecil dari bawah ranjang, mulai memasukkan beberapa pakaian sederhana, sepotong mantel tipis, dan sedikit perbekalan.

Di hadapan cermin, ia menatap pantulan dirinya. Heliora Vixen, satu-satunya putri kerajaan Vixen... Akan hilang mulai malam ini.

“Mulai sekarang... Aku Liora,” gumamnya, meski terdengar agak konyol karena nama itu nyaris sama dengan nama aslinya. Tapi baginya, itu tetap cukup—yang penting tidak ada yang mengenalinya di luar tembok istana.

Heliora bukan High Human. Tidak ada kekuatan luar biasa yang mengalir di darahnya, tidak ada takdir besar yang membebani pundaknya. Tapi justru itulah yang membuatnya ingin membuktikan bahwa ia mampu berdiri di dunia yang keras ini. Dan cincin Evergreen warisan ibunya... Akan menjadi kuncinya untuk memulai perjalanan itu.

Malam nanti, sang putri akan menghilang dari istana.

---

Malam di Istana Vixen bukanlah malam yang benar-benar sepi.

Lampu-lampu sihir berderet di dinding, menerangi lorong panjang berlapis marmer yang memantulkan cahaya kuning lembut. Dari kejauhan, suara tawa dan dentingan gelas terdengar samar—pesta kecil di ruang perjamuan masih berlangsung. Namun, di balik hiruk pikuk itu, ada seorang gadis berambut biru cerah bak lautan luas yang berjalan pelan, menunduk, sambil sesekali menahan napas.

Liora, yang hingga beberapa jam lalu masih dikenal semua orang sebagai Putri Heliora Vixen, kini hanya gadis dengan gaun sederhana dan mantel lusuh. Tangannya menggenggam erat tas kain berisi beberapa pakaian, koin emas, dan sebuah cincin perak berukir lambang Pulau Evergreen. Cincin itu berat, bukan karena logamnya, tapi karena rahasia yang ia temukan di kamar ibunya sore tadi.

Masalahnya, istana ini bukan tempat yang mudah untuk dilalui secara diam-diam. Raja Noah Vixen, ayahnya, dikenal gemar memberi pekerjaan kepada siapa pun yang membutuhkan—entah mereka seorang bangsawan yang jatuh miskin, atau rakyat jelata dari pelosok negeri. “Selama kau mau bekerja, kau akan makan di mejaku,” begitu kata-kata yang sering ia dengar dari mulut sang Raja.

Akibatnya, istana dipenuhi oleh pelayan dari berbagai latar belakang. Ada mantan prajurit yang kini menjadi tukang kebun, janda tua yang mengurus perpustakaan, bahkan anak-anak muda yatim piatu yang mengisi posisi pembantu dapur. Mereka semua sibuk, namun juga jeli—terlalu banyak mata, terlalu banyak telinga.

Liora melangkah hati-hati di koridor timur. Ujung roknya ia angkat sedikit agar tak menyapu lantai dan mengeluarkan suara. Sesekali ia berhenti di balik tiang marmer ketika mendengar suara langkah mendekat. Dua pelayan lewat sambil bercakap riang, membawa keranjang linen bersih. Liora menunduk, menempel di dinding hingga mereka berlalu.

Ia hampir sampai ke lorong belakang yang mengarah ke dapur ketika dua penjaga berdiri di ujung, saling berbincang sambil memegang tombak. Menyelinap lewat situ mustahil. Maka ia memutar arah, memilih jalur yang lebih berisiko—melewati ruang penyimpanan dapur.

Begitu masuk ke area dapur, aroma sup hangat, roti panggang, dan daging panggang menyergapnya. Dapur istana penuh dan sesak: anak-anak magang berlari membawa panci, pelayan menuang air ke kendi, dan koki besar mengomel karena garam habis. Suasana ini membuatnya sedikit lega—keramaian adalah penyamaran terbaik.

Ia mengambil sebuah keranjang kosong di sudut, menaruhnya di lengannya, lalu berjalan cepat melewati orang-orang yang sibuk. Tak ada yang memperhatikan; semua terfokus pada pekerjaan mereka. Di sudut ruangan, ada sebuah pintu kayu kecil—pintu layanan yang langsung menuju halaman belakang istana.

Namun, seorang pelayan tua duduk di dekat pintu itu, sibuk mengupas kentang. Liora mendekat perlahan, tersenyum tipis seolah hanya lewat. Pelayan itu mengangguk ramah tanpa curiga, lalu kembali ke pekerjaannya.

Klik.

Gagang pintu berputar di tangannya. Udara malam yang dingin dan segar langsung menyapu wajahnya. Di luar, langit dipenuhi bintang, dan tembok istana menjulang seperti penjaga bisu.

Liora melangkah cepat, menyelinap melewati gudang kecil dan tumpukan peti kayu di halaman belakang. Jantungnya berdegup kencang, namun ada secercah rasa lega—ia berhasil keluar dari bangunan yang selama ini menjadi rumahnya.

Di kejauhan, lampu-lampu sihir Kota Vixen berkelip, dan lebih jauh lagi, laut yang gelap menunggu. Di seberang sana, ada sebuah pulau bernama Evergreen—tempat yang kini memanggilnya.

Namun, di tengah langkahnya, rasa dingin lain merayap di tengkuknya.

Perasaan aneh, seolah ada tatapan yang mengikutinya sejak ia meninggalkan kamar ibunya.

1
Cyno
wah sho parah sih
That One Reader
baiklahh udah mulai terbayang wujud dan sifat karakternya
That One Reader
hmmm... "matanya masih merah, bukan karena kekuatannya", "Kekuatan" yang dimaksud gimana yh? tapi awal ketemuan sama Aria lumayan berkesan sii
That One Reader
welp.. prolognya okee
Sandra
simingit kikik:v
Cyno
Semangat author
Cyno
Ceritanya seru
Cyno
kalau sho bisa mengubah bident sesuka hati apa nanti aria bisa mengubah bow dia juga? menarik
J. Elymorz
Huhuu shoo/Cry/
Sandra
anjay pahlawan datang tapi bapaknya Aria... :(
Sandra
aku ga tau mau komen apa tapi mau lanjut!!
Sandra
kereennn!! semangat kak!!!
J. Elymorz
sho.. hikss /Cry//Cry/
J. Elymorz
omaigatt di remake, apakah alur ceritanya lebih ke arah romance? hmmzmz/Applaud//Applaud/
J. Elymorz
lucuuuu
J. Elymorz
lucuuuu, sifat mereka berbanding terbalik
J. Elymorz
yahh hiatus/Cry/

semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/
J. Elymorz
gila... hollow bener' gila
Soul Requiem
Ini Saya, Kyukasho, untuk sementara Chaotic Destiny Akan Hiatus dikaenakan HP saya rusak/Frown/
J. Elymorz: /Cry//Cry//Cry/
total 1 replies
J. Elymorz
ouh oke.. kelakuan bodoh dari krepes ternyata berguna, bagus krepes
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!