"Ibu bilang, anak adalah permata. Tapi di rumah ini, anak adalah mata uang."
Kirana mengira pulang ke rumah Ibu adalah jalan keluar dari kebangkrutan suaminya. Ia membayangkan persalinan tenang di desa yang asri, dibantu oleh ibunya sendiri yang seorang bidan terpandang. Namun, kedamaian itu hanyalah topeng.
Di balik senyum Ibu yang tak pernah menua, tersembunyi perjanjian gelap yang menuntut bayaran mahal. Setiap malam Jumat Kliwon, Kirana dipaksa meminum jamu berbau anyir. Perutnya kian membesar, namun bukan hanya bayi yang tumbuh di sana, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lapar.
Ketika suami Kirana mendadak pergi tanpa kabar dan pintu-pintu rumah mulai terkunci dari luar, Kirana sadar. Ia tidak dipanggil pulang untuk diselamatkan. Ia dipanggil pulang untuk dikorbankan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Kamar Bekas Kakak Sulung
Nyi Laras tidak menunggu jawaban. Ia mendorong punggung Kirana perlahan ke arah pintu kayu tua itu, dan saat Kirana membuka gagang pintu yang dingin, ia merasakan hawa dingin yang jauh lebih pekat dari luar rumah: hawa dingin dari kamar bekas mendiang kakaknya.
Kirana melangkah masuk, merasakan kelembapan menusuk melalui pakaiannya. Kamar itu besar, tetapi terasa sesak oleh bau kayu tua yang khas dan aroma kunyit kering yang samar. Ruangan itu rapi, terlalu rapi, di luar dugaan Kirana yang memperkirakan kamar ini akan berdebu. Jendela kamar, yang menghadap ke kebun belakang yang gelap, tertutup rapat oleh tirai beludru tebal berwarna hijau lumut, menghalangi cahaya matahari sore yang tersisa.
Kamar ini tampak persis seperti yang Kirana ingat dari masa kecilnya, dengan ranjang berukir empat tiang besar yang mendominasi ruangan. Namun, kini kamar ini diselimuti oleh aura kesedihan yang tak terkatakan, seolah duka mendiang Kakak Sulungnya, Laksmi, masih bersemayam di udara. Kirana ingat bagaimana Laksmi adalah kakak yang paling ceria, tetapi menghilang dari kehidupan mereka setelah 'sakit keras' tak lama setelah melahirkan.
Dimas sudah menjatuhkan koper di sudut ruangan dekat lemari. Ia berbalik, raut wajahnya kembali keras dan dingin. Ia tampak buru buru, seolah ingin segera menyelesaikan peran suami dan kembali pada peran barunya sebagai kaki tangan Ibunya.
"Ini tempat kita. Kau istirahat saja," ujar Dimas tanpa menatap Kirana. Ia sibuk mengutak atik ponselnya, atau berpura pura sibuk.
“Kenapa harus kamar Kakak Sulung?” tanya Kirana pelan.
Dimas mengambil handuk dan mulai berjalan ke arah pintu. Sikapnya menandakan ia akan menghilang lagi. "Sudah Ibu yang tentukan. Jangan banyak tanya. Kalau kau patuh, semua akan mudah. Kau tahu kan, kita di sini hanya sementara, sampai utang beres."
“Utang beres dengan cara apa, Mas?” Kirana mendesak, suaranya sedikit lebih keras. Ia tidak bisa lagi menahan keputusasaan ini. “Dengan cara yang tertulis di foto USG itu?”
Dimas membeku di ambang pintu. Punggungnya kaku, bahunya menegang tegang. Ia menarik napas yang sangat dalam, seolah sedang mengumpulkan keberanian. Udara di kamar itu terasa seperti timah hitam, menekan percakapan mereka.
"Aku tidak tahu kau bicara apa," Dimas menjawab, suaranya rendah dan tajam. "Aku sedang mencoba menyelamatkan kita, Kirana. Jangan coba coba merusak suasana. Aku sudah lelah menghadapi drama ini."
"Drama?" Air mata Kirana mulai menggenang. "Bayiku dijual, Mas! Aku melihatnya, tulisan tumbal di perut anak kita! Apa yang kau janjikan padanya? Apa harga sebuah kepala anakmu sendiri?"
"Diam!" Dimas berbalik. Matanya berkilat marah, bukan karena kesal padanya, tetapi karena panik yang tertutup rapat. Ia mendekat dua langkah, suaranya kini mendesis pelan, penuh ancaman. "Jangan sebut nama itu lagi, apalagi di kamar ini. Kau hanya perlu melahirkan dengan selamat, itu saja yang penting sekarang. Jangan ganggu urusan Ibu!"
Dimas menutup pintu dengan keras. Ia pergi, meninggalkan Kirana sendirian dengan detak jantung yang berpacu liar. Kirana tahu, permohonannya hanya sia sia. Dimas telah memilih sisi lain, dan ia kini menjadi musuh yang paling berbahaya.
Kirana duduk di tepi ranjang. Ia menangkup perutnya yang besar, mencari ketenangan dari gerakan lembut bayinya. Rasa dingin dari seprai putih tebal itu terasa meresap ke tulang. Ia perlu mencari tahu. Ia perlu mempersenjatai diri dengan informasi. Ia tidak bisa menunggu, karena menunggu berarti menyambut nasib yang sama seperti yang dialami Kakak Sulungnya.
Ia mulai mengamati kamar secara detail. Di sudut ruangan, dekat jendela yang tertutup tirai beludru, terdapat sebuah lemari pakaian kayu jati kuno. Lemari itu tampak tidak pernah dibuka selama bertahun tahun, meskipun kamar ini bersih.
Sesuatu dalam naluri Kirana, naluri pragmatis seorang Manajer Pemasaran yang terbiasa mencari celah, mengatakan bahwa lemari itu menyembunyikan sesuatu. Ia bangkit, langkahnya tertatih oleh berat kehamilannya. Ia harus melihat ke belakangnya.
Kirana menarik lemari itu perlahan. Kayu tua itu mengerang pelan, mengeluarkan suara gesekan yang memecah kesunyian kamar. Debu tebal berjatuhan dari atasnya, menutupi lantai. Kirana terbatuk, tetapi ia terus mendorong hingga celah antara lemari dan dinding cukup lebar.
Di belakang lemari, di dinding kayu, terdapat sebuah ceruk kecil yang tersembunyi, seukuran buku tebal. Di dalam ceruk itu, ia melihat bayangan buram. Itu pasti tempat persembunyian Kakak Sulungnya dulu.
Kirana menyentuh ceruk tersebut. Tangannya meraba permukaan benda keras dan dingin. Ia menariknya keluar. Itu adalah cermin rias tua, bingkainya dihiasi ukiran Jawa kuno yang sudah usang.
Terdapat retakan aneh pada permukaan cermin. Retakan itu tidak seperti pecahan kaca biasa; ia menjalar dari bawah ke atas, membentuk pola seperti akar yang mencekik.
Kirana membalik cermin rias itu, dan meskipun ruangan gelap, ia melihat pantulan buram dirinya yang sedang hamil. Namun, retakan pada cermin itu seolah membentuk ilusi, memunculkan bayangan dirinya yang tidak hamil. Bayangan itu terlihat sehat, tetapi wajahnya pucat dan berduka. Seolah, cermin itu menunjukkan nasib yang seharusnya ia miliki, yang kini telah dicuri.
Ia berbalik ingin menanyakan cermin ini pada Dimas, tetapi pintu sudah terkunci. Kirana merasakan kehadiran aneh yang mengawasinya.