Dalam dunia korporasi yang berputar terlalu cepat, Ethan Solomon Montgomery, Presiden Direktur Montgomery Group, hidup dengan ketenangan yang dirancang oleh keluarga yang membentuknya. Ia tumbuh untuk memimpin, bukan untuk diperintah. Sejak kecil Celine Mattea selalu berdiri di sisinya, perempuan yang mampu masuk ke semua pintu keluarga Montgomery. Celine mencintai Ethan dengan keyakinan yang tidak pernah goyah, bahkan ketika Ethan sendiri tidak pernah memberikan kepastian. Hubungan mereka bukan hubungan lembut yang manis, melainkan keterikatan panjang yang sulit dilepaskan. Persahabatan, warisan masa kecil, ketergantungan, dan cinta yang Celine perjuangkan sendirian. Ketika Cantika, staf keuangan sederhana memasuki orbit Ethan, sesuatu di dalam diri Ethan bergeser. Sebuah celah kecil yang Celine rasakan lebih tajam daripada pengkhianatan apa pun. Ethan dan Celine bergerak dalam tarian berbahaya: antara memilih kenyamanan masa lalu atau menantang dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah ia izinkan. Ini adalah kisah dua orang yang seharusnya ditakdirkan bersama, tetapi cinta yang bertahan terlalu lama tidak selalu berarti cinta yang benar. Disclaimer: Novel ini adalah season 2 dari karya Author, “Falling in Love Again After Divorce.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Punggung Ringkih yang Mengganggu
Pintu otomatis lobby Montgomery Corp terbuka ketika Ethan melangkah keluar. Angin malam menyentuh kemejanya yang kusut, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Jasnya tersampir di lengan, bukan melekat pada tubuhnya.
Pria itu masuk ke mobil hitam yang sudah menunggu di depan. Begitu pintu tertutup, ia melempar jasnya ke kursi lalu menekan pelipisnya. Pernikahan, komitmen, ikatan… semua kata itu terasa seperti jerat.
“Kita berangkat, Tuan,” ujar Jerry dari depan.
“Hmm…”
Jerry mengangguk, lalu mobil mewah itu berjalan meninggalkan gedung tinggi itu.
Ethan menatap keluar jendela, melihat bayangan kota yang sudah sering ia lalui bersama Celine. Meski tak banyak bicara, ia selalu merasa nyaman di dekat gadis itu. Celine mengerti dirinya lebih dari siapa pun. Saat semua orang ragu akan keputusannya, gadis itu akan datang dengan senyum yang menenangkan, menggenggam tangannya, berdiri di pihaknya dan mendukung semua keputusannya.
Ethan menghembuskan napas kasar, meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan yang benar.
Sebuah halte kecil muncul di sisi jalan, diterangi lampu jalan yang mulai meredup. Tepat di bawahnya, gadis yang bertatapan dengannya di lift tempo hari duduk sambil memeluk tasnya erat-erat. Ethan menggeser pandangannya sekilas, melihat jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir tengah malam.
Kenapa gadis itu masih di luar? Pertanyaan yang sama sekali bukan urusan pria sekelas dirinya.
Ia menahan helaan napas, merasa kesal pada dirinya sendiri. Sial… sejak kapan aku peduli hal seperti ini?
Mobil tetap melaju, namun Ethan tidak mengalihkan pandangan dari kaca.
Jerry menangkap kedutan kecil di mata tuannya melalui spion. “Ada sesuatu yang harus saya…”
“Berhenti!” perintah Ethan.
Suara mobil berdecit bergesekan dengan aspal. Jerry menatap Ethan dari kaca spion. Tuannya sedang menatap lurus pada sosok gadis yang memeluk lututnya di kursi halte.
“Suruh gadis itu masuk!” ujar Ethan datar.
Jerry memandang gadis itu sebentar, tampak ragu. Bukan karena melanggar aturan, tapi karena permintaan Ethan terasa tidak masuk akal. Namun ia tidak sedang diberi pilihan. Jerry mengangguk patuh lalu turun menghampiri gadis itu sesuai perintah.
Ethan mengamati setiap bahasa tubuh dan konfrontasi di luar dari dalam mobil dengan pandangan tajam. Ujung sepatunya mengetuk lantai mobil, telunjuknya bergerak ritmis di atas paha. Jerry bekerja terlalu lama.
Ethan kehilangan kesabaran, lalu menurunkan kaca jendela.
“Masuk!”
Gadis itu tersentak, hampir mundur.
“Jangan membuatku mengulangi perintah dua kali!” Suaranya rendah, dingin, dan menggetarkan udara.
Tatapan Ethan membuat Cantika menelan rasa takut. Ia masuk dengan tubuh kaku, lalu menutup pintu pelan seakan takut merusak mobil mahal itu. Ia duduk di samping Ethan, tidak berani menoleh. Aroma lembut cologne pria itu menciptakan jarak sekaligus tekanan yang membuat lututnya lemas.
Ketika ia menurunkan tubuh, sesuatu yang empuk terasa di bawah bokongnya. Cantika memegangnya sekilas dan seketika matanya membola. Ia langsung menariknya dengan tangan gemetar. Jas hitam mahal yang hanya bisa dimiliki pria sekelas Ethan Montgomery.
Ia buru-buru melipatnya rapi, lalu menyerahkannya pada Ethan.
“M-maaf… Pak,” bisiknya tanpa berani menatap.
Ethan menerimanya tanpa respon berlebihan, getaran dari tangan Cantika tak luput dari penglihatannya.
Setelahnya, keheningan menekan seluruh ruang mobil untuk waktu yang lama.
“Perusahaanku tidak mempekerjakan stafnya hingga jam seperti ini.” Suara dingin Ethan memecah keheningan.
Cantika mengangkat wajah pelan, ragu apakah ia sedang ditegur atau sedang diuji. “S-saya… menyelesaikan sisa pekerjaan saya, Pak. Besok saya izin tidak masuk karena harus mengambil rapor adik saya.”
Ethan mengalihkan pandangan. Tatapan tajamnya membuat jantung Cantika berhenti berdetak.
“Alasan klasik untuk bolos kerja.” ujarnya menusuk.
Hati Cantika terasa diremas. Ia menunduk, menggigit bibir bawah mencoba menahan air mata yang mengambang di pelupuk mata.
“Tidak diizinkan, bekerja seperti biasa atau kau tidak perlu datang lagi selamanya.” lanjut Ethan datar.
Akhirnya tetesan itu jatuh pelan di tangan Cantika tanpa bisa ditahan.
Dan Ethan melihatnya.
Entah mengapa dadanya terasa… tidak nyaman. Sensasi asing yang tidak pernah ia izinkan tumbuh dalam dirinya.
Mobil perlahan melambat ketika memasuki area yang gelap. Jalan sempit, rumah-rumah padat, gang kumuh yang kontras dengan sosok pria aristokrat yang duduk diam seperti raja dalam singgasananya.
“Sudah sampai, Tuan,” kata Jerry.
Cantika buru-buru membuka pintu, udara malam yang dingin langsung menyergapnya.
“Terima kasih atas tumpangannya, Pak,” katanya pelan. Ia berhenti sejenak, menarik napas yang berat sembari menyeka pipinya.
“Mungkin, hari ini hari terakhir saya bekerja. Orangtua saya sudah meninggal. Tidak ada yang bisa mengambil rapor adik saya selain saya.”
Ia menunduk dalam, memberi hormat kecil, lalu menutup pintu tanpa menunggu jawaban. Ia terlihat berjalan masuk ke gang itu, menahan isak yang akhirnya pecah juga. Setiap langkahnya meninggalkan jejak kesedihan samar yang terdengar di telinga Ethan.
Ethan duduk diam, rahangnya terkunci.
Jerry menelan ludah pelan, menoleh ke belakang. “Tuan…?”
“Jalan.”
Satu kata yang datar namun lebih berat daripada biasanya.
Ethan menatap lurus ke depan, mobil kembali berjalan membawa tubuhnya dalam keheningan. Namun pikirannya tertinggal di gang gelap tadi, di punggung ringkih yang menjauh dan air mata yang sama sekali tidak ia rencanakan untuk melihat. Ia membenci perasaan ini, namun tak bisa mengabaikannya.
Ethan memasuki mansion dengan langkah presisi. .
“Ethan!”
Langkah cepat mengema di lantai, Ethan mengenali hentakan itu tanpa perlu mencaritahu siapa pemiliknya.
Celine berlari kecil lalu memeluknya erat, nadanya centil dan manja. “Kau ke mana saja? Aku mengirimimu pesan sejak pagi. Aku sangat khawatir, Ethan.”
Ethan membalas pelukannya, gerakan yang membuat Celine merasa aman.
“Maaf,” katanya rendah. “Aku sibuk dan tidak sempat melihat ponsel.”
Celine mengangguk di dadanya, matanya terpejam menghirup aroma yang ia rindukan seharian ini. Bagi Celine, Ethan adalah rumah.
“Kak Celine!” suara tenang muncul dari arah tangga. Serena berdiri di sana dengan tangan menyilang dan ekspresi menghakimi. “Harusnya kau menjewer Kak Ethan dulu, bukan langsung memeluknya seperti itu.”
Celine melepaskan pelukan sambil terkikik.
“Dia pasti lelah. Bagaimana mungkin aku menjewernya?”
“Kau terlalu memanjakan kakakku,” dengus Serena.
Ethan mengalihkan pandang padanya, memperhatikan Serena dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan tatapan menilai.
“Kau terlihat… jelek.” Nada suaranya datar, tanpa emosi, seperti menyampaikan laporan cuaca.
“Kakak!” seru Serena menghentakkan kakinya. Ia baru pulang dari wilayah berbahaya, dan yang ia dapat hanyalah hinaan kakaknya seperti biasa.
Celine mencubit lengan Ethan gemas, hukuman kecil yang penuh cinta.
“Jangan begitu. Peluk adikmu, Ethan.”
Ethan menarik napas kecil, entah pasrah atau malas berdebat. Ia membuka lengannya lebar dan saat itu juga Serena langsung masuk ke pelukannya. Ethan tersenyum tipis, mengacak rambutnya asal hingga Serena meringis kesal.
“Kau bahkan tidak bertanya kabarku,” protes Serena.
“Jika kau masih bisa berdiri di sini dan berteriak padaku,” jawab Ethan tanpa menoleh, “itu bukti kau baik-baik saja.”
Serena mendorong bahunya. “Dasar menyebalkan.”
celine apapun yg terjadi jangan goyah.
tetap cuek,dingin dan jangan noleh² lagi kemasa lalu.
tak stabil suka naik turun tensi..
dokter bidan tak sanggup obati..
masalahnya cintaku yang kurang gizi..
💃💃💃💃💃 aseeek.. lanjutkan ethan..
pengorbanan celine terlalu besar hy untuk se ekor ethan...
cepatlah bangkit dan move on celine dan jauh jauh celine jangan terlibat apapun dgn amox apalagi yg didalamnya ada ethan² nya...
mungkin si SEthan merasa bersslah dan ingin bertanggung jawab atas kematian ayahnya Cantika, karna mungkin salah sasaran dan itupun sudah di jekaskan Raga & Rega.
tapi dadar si SEthan emang sengaja cari perkara, segala alasan Cantika punya adik, preettt...🤮🤮🤮