Alana Xaviera merasa seperti sosok yang terasing ketika pacarnya, Zergan Alexander, selalu terjebak dalam kesibukan pekerjaan.
Kecewa dan lapar akan perhatian, dia membuat keputusan nekad yang akan mengubah segalanya - menjadikan Zen Regantara, pria berusia tiga tahun lebih muda yang dia temui karena insiden tidak sengaja sebagai pacar cadangan.
"Jadi, statusku ini apa?" tanya Zen.
"Pacar cadangan." jawab Alana, tegas.
Awalnya semua berjalan normal, hingga ketika konflik antara hati dan pikiran Alana memuncak, dia harus membuat pilihan sulit.
📍Membaca novel ini mampu meningkatkan imun dan menggoyahkan iman 😁 bukan area bocil, bijak-bijaklah dalam membaca 🫣
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Red_Purple, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10 : TCB
Bibir Zen mulai bergerak lembut, sementara satu tangannya memegangi pergelangan tangan Alana yang terus memberontak dengan memukul-mukul bahunya. Siang tadi dia sampai bermimpi mencium bibir Alana saat tertidur, dan sore ini akhirnya dia bisa mewujudkannya.
"Auw!"
Zen menjauhkan wajahnya cepat saat Alana malah menggigit bibir bawahnya dan bukan malah membalas ciumannya. Dia memegangi bibirnya yang terasa perih dan ngilu.
"Kenapa digigit!" Zen memprotes.
"Salah sendiri main nyosor-nyosor aja kayak bebek." kesal Alana.
"Kita kan pacaran, jadi wajar kalau aku mencium kamu." Zen membela diri, mengingatkan akan statusnya yang adalah pacar Alana, meskipun hanya sebagai pacar cadangan.
"Tapi kamu hanya pacar cadangan, Zen." sahut Alana masih dengan wajah kesalnya karena Zen telah berani mencuri ciumannya.
"Diantara kita harusnya tidak ada sentuhan fisik, karena bibir dan tubuhku ini hanya akan aku serahkan untuk Zergan, satu-satunya pria yang aku cintai." imbuhnya.
Zen tersenyum tipis, sama sekali tidak marah ataupun tersinggung dengan ucapan Alana. "Apapun itu, tetap saja aku adalah pacarmu. Jadi kamu harus bersikap adil terhadapku."
Ditengah-tengah perdebatan mereka berdua, Amara datang dengan wajah bingung. Mendengar ada keributan didalam, akhirnya dia memutuskan untuk melihat.
"Loh ini ada apa? Alana, kenapa kamu duduk di atas meja?" tanya Amara, menunjuk Alana yang masih duduk di atas meja panjang.
"Ah, itu... aku..." Alana nampak bingung untuk menjawab.
"Tadi ada tikus lewat, karena takut Alana jadi naik ke atas meja, Tan." jawab Zen.
Amara hanya mengangguk kecil meskipun dia masih sedikit bingung, sejak kapan ada tikus dirumahnya? Jikapun ada paling digudang belakang yang memang jarang terjamah.
"Terus itu bibir kamu kenapa bengkak dan sedikit berdarah gitu?" tanya Amara lagi, menunjuk ke bibir bawah Zen yang sedikit mengeluarkan darah.
"Oh ini." Zen memegangi bibir bawahnya, melirik sekilas pada Alana yang sedang menatapnya dengan tatapan tajam. "Tadi saya nggak sengaja jatuh pas mau nolongin Alana buat ngusir tikusnya, Tante. Bibir saya nyium tembok jadi berdarah,"
Tawa Alana hampir saja pecah mendengar jawaban yang Zen berikan. Astaga, bisa-bisanya Zen memberikan alasan konyol seperti itu. Dan lebih konyolnya lagi saat mamanya mengangguk-anggukkan kepala seakan percaya begitu saja.
"Kalau begitu saya permisi kedepan lagi, Tante." Zen menatap Alana sekilas sebelum kembali keruang tamu.
Amara menghampiri Alana begitu putrinya turun dari meja, "Sejak kapan rumah kita ada tikus? Bukan kamu kan tikusnya?"
Wajah Alana langsung bersemu dan nampak sedikit gugup, "Ish, Mama ngomong apa sih. Sudah sana temenin Tante Jihan sama Zen lagi, aku lapar, mau makan dulu."
"Eh, tunggu dulu," Amara menahan tangan Alana. "Ayo kedepan dulu sebentar, Tante Jihan udah mau pamit pulang."
Alana tak bisa menolak saat mamanya langsung menarik tangannya dan membawanya kembali keruang tamu. Begitu melihat kedatangan mereka, Zen dan mamanya langsung berdiri.
"Jeng, kami pamit pulang dulu ya, takut kemaleman. Putri dan cucu saya nungguin dirumah soalnya," ujar Jihan.
Amara tersenyum, "Iya, Jeng. Ini makasih banyak loh kuenya, jadi ngerepotin."
"Sama-sama, Jeng. Kalau Alana nggak ada kesibukan, main saja kerumah. Nanti belajar masak dan bikin kue sama kakaknya Zen." ujar Jihan. "Biar nanti kalau sudah nikah bisa masakin buat suaminya,"
"Enggak deh, Tan. Mak----"
"Wah, ide yang bagus itu, Jeng." sambut Amara antusias, memotong cepat ucapan Alana. "Daripada dia keluyuran nggak jelas, mending ke rumah Jeng aja buat belajar masak."
"Ya sudah kalau begitu kami pamit ya, Jeng." Pandangannya beralih menatap Alana, Jihan mengusap lengan Alana dengan lembut. "Alana, Tante tunggu ya kedatangannya dirumah,"
Setelah berpamitan, Zen dan mamanya masuk ke dalam mobil yang terparkir di halaman rumah. Alana menatap kepergian mobil itu dari halaman rumahnya, satu tangannya terangkat menyentuh bibirnya dan teringat dengan ciuman Zen tadi. Tanpa dia sadari sebuah senyuman tipis terukir diwajahnya.
-
-
-
Cindy masuk kedalam rumah setelah mobil yang dikendarai suaminya pergi meninggalkan halaman rumah mereka. Hari ini dia memutuskan untuk pergi kerumah Alana dan melihat keadaan sahabatnya itu. Setelah pertemuannya dengan Alana digedung bioskop beberapa hari lalu, Alana sama sekali tidak pernah mau membalas pesan ataupun mengangkat telefon darinya. Membuatnya semakin yakin jika ada yang sedang Alana sembunyikan.
Cindy melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju ke rumah Alana, dia ingin tahu apa yang sedang disembunyikan oleh Alana. Begitu dia sampai dirumah sahabatnya itu, kedatangannya langsung disambut dengan antusias oleh Amara.
"Cindy... Ya ampun, udah lama loh ini nggak main kesini." sambut Amara, memberikan pelukan dan ciuman singkat di pipi.
"Iya, Tante, maaf baru sempat main soalnya sibuk ngurus suami," sahut Cindy diiringi dengan tawa ringan.
"Ini belum ada tanda-tanda mau punya momongan nih," celetuk Amara dengan nada bercanda.
"Belum Tante, tapi tetap berusaha kok," jawab Cindy diakhiri tawa kecil.
"Oya, Alana mana ya, Tan?" tanyanya, pandangannya menyapu sekitar dan tidak melihat keberadaan Alana diruangan depan.
"Biasa, ada tuh dikamarnya." jawab Amara, menunjuk dengan dagunya ke lantai atas. "Sebenarnya papanya udah nyuruh dia buat ikut ke perusahaan biar ada kesibukan, tapi anaknya belum mau dan tidak bisa dipaksa."
Sejak Cindy menikah satu tahun lalu dan Zergan tak kunjung memberikan kepastian, Alana menjadi sosok pendiam dan kesepian. Terkadang putrinya itu tidak pulang kerumah dan memilih menginap di hotel dengan alasan ingin menenangkan diri. Jujur, semua itu membuat Amara sebagai seorang ibu merasa khawatir.
Amara menghela napas panjang, "Setidaknya kalau Zergan mau bertunangan dulu mungkin Alana nggak akan merasa kesepian seperti sekarang. Alana sangat mencintai Zergan, dia hanya merasa takut kalau Zergan tidak benar-benar serius dengan hubungan mereka."
Cindy mengusap-usap lengan Amara, menatapnya dengan iba. "Aku ngerti kok, Tan. Itulah sebabnya aku datang kemari."
"Tempo hari aku sempat ketemu sama Alana di bioskop, tapi aku nggak tahu dia pergi kesana sama siapa." Cindy mulai menceritakan kejadian dimana dia dan Alana saling bertemu digedung bioskop. "Pas Roy telefon Zergan katanya dia sedang ada diluar kota, makanya aku penasaran Alana pergi dengan siapa hari itu,"
"Zergan memang sudah seminggu lebih ada diluar kota karena ada pekerjaan disana, mungkin tiga atau empat hari lagi baru akan pulang." beritahu Amara.
"Tapi waktu itu Alana sempat menginap di rumah kamu juga kan?" tanyanya kemudian. "Dia pulang pagi, pakai jaket denim cowok. Katanya dia beli karena merasa kedinginan saat diluar."
"Nginep?" ulang Cindy dengan kening mengernyit, menambah dugaan jika memang ada yang sedang Alana sembunyikan. "Kapan ya, Tan? Seingatku Alana nggak pernah nginep dirumah aku tuh,"
-
-
-
Bersambung....
mo komen di paragrap gak bisa,, lagi repisi katanya🤧🤧
gonjang-ganjing hubungan
selamat berpusing ria ya lana 😂
Kalo zergan, Dateng lagi Jan diterima ya rin.dia ngebuang kelean sebegitu enaknya
sory ini ya Alana Mungin agak jahat. tapi Karin cerita aja dech.
biar bisa dapet selotip yang baek