Fahira Azalwa, seorang gadis cantik yang harus menelan pahitnya kehidupan. Ia berstatus yatim piatu dan tumbuh besar di sebuah pesantren milik sahabat ayahnya.
Selama lima tahun menikah, Fahira belum juga dikaruniai keturunan. Sementara itu, ibu mertua dan adik iparnya yang terkenal bermulut pedas terus menekan dan menyindirnya soal keturunan.
Suaminya, yang sangat mencintainya, tak pernah menuruti keinginan Fahira untuk berpoligami. Namun, tekanan dan hinaan yang terus ia terima membuat Fahira merasa tersiksa batin di rumah mertuanya.
Bagaimana akhir kisah rumah tangga Fahira?
Akankah suaminya menuruti keinginannya untuk berpoligami?
Yuk, simak kisah selengkapnya di novel Rela Di Madu
By: Miss Ra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 4
Di kamar, Fahira menangis di pelukan Zidan. Ia menangis sejadi-jadinya, membuat hati sang suami terasa teriris. Zidan tak sanggup melihat istrinya terus-menerus ditindas oleh ibunya sendiri. Ia hanya bisa memeluk Fahira dengan sangat erat, berusaha menenangkan hati perempuan yang sangat dicintainya itu.
Setelah cukup tenang, Fahira menatap wajah Zidan dengan penuh kasih.
"Bang, kalau aku meminta sesuatu lagi, apakah Abang akan menuruti?" tanyanya pelan.
Zidan mengusap lembut pipi istrinya. "Insyaallah, kalau Abang sanggup, pasti akan Abang turuti. Kenapa, Sayang?"
Fahira menarik napas dalam, lalu berkata, "Bolehkah aku tinggal di pesantren untuk sementara waktu? Aku ingin menenangkan diri di sana. Aku juga rindu dengan Abah dan Umi--" ucapnya lirih.
Zidan terdiam lama. Ia menghela napas berat. Hatinya terasa sesak membayangkan harus berpisah dengan Fahira, meski hanya sementara. Namun, ia tahu, istrinya butuh waktu untuk menenangkan diri. Akhirnya, dengan penuh pengertian, Zidan mengangguk pelan.
"Baiklah, tapi jangan terlalu lama di sana, ya? Abang pasti akan sangat merindukanmu--" katanya lembut.
Fahira tersenyum tipis, matanya masih basah. Ia tahu Zidan sangat mencintainya, dan keputusan ini bukan hal yang mudah bagi mereka berdua.
Malam itu, Fahira mulai menyiapkan koper. Ia tak ingin berlama-lama tinggal di rumah selama masih ada ibu mertua yang selalu memperlakukannya tidak adil. Zidan membantu menyeret koper istrinya keluar dari kamar. Keduanya bersiap untuk berangkat menuju pesantren.
Namun baru saja mereka keluar, suara Bu Zubaidah terdengar dari ruang keluarga.
"Zidan, kau mau ke mana?" tanyanya dengan nada curiga.
Zidan menatap ibunya dengan tenang. "Aku mau mengantar Aira pulang ke pesantren. Dia hanya akan tinggal di sana sementara waktu, Bu. Jadi Ibu tidak perlu khawatir. Tidak akan ada lagi yang membuat Ibu kesal," ujarnya dengan nada datar namun tegas.
"Apa maksud perkataanmu, Zidan?! Apa kau pikir Ibu sejahat itu pada istrimu?" pekik Bu Zubaidah dengan nada meninggi.
Zidan menatap ibunya dalam-dalam. "Sudahlah, Bu. Aku sudah tahu semuanya. Di depanku saja Ibu bisa menindas istriku, apalagi kalau aku tidak ada di rumah. Aku tahu Ibu bisa bertindak lebih dari yang aku lihat."
Perkataan itu membuat Bu Zubaidah tersinggung. Dengan emosi yang memuncak, ia mendekat pada Fahira dan melayangkan tamparan keras ke wajahnya. Seketika wajah Fahira menoleh ke kiri membuat Zidan sangat terkejut.
"Ibu!!" bentak Zidan, namun tak diperdulikan oleh sang Ibu.
"Kau! Sudah puas kau membuat putraku berani melawan ibunya sendiri?! Dasar perempuan tidak tahu diri!" hardiknya pada Fahira.
Bu Zubaidah hendak menarik Fahira, tapi Zidan segera menahan tangan ibunya. Wajahnya memerah, matanya tajam menahan amarah.
"Cukup, Bu! Istriku hanya ingin pulang sementara, tapi Ibu masih saja menuduhnya!" bentak Zidan dengan suara bergetar menahan emosi. "Sudah cukup, Bu. Aku mohon berhenti seperti ini. Aku akan mengantar istriku pulang sekarang. Aku pamit. Assalamualaikum."
Zidan menoleh ke belakang, mengambil koper Fahira, lalu menggenggam tangan istrinya dengan lembut. "Ayo, sayang. Nanti kita bisa sampai larut di pesantren."
Namun, ketika ia berniat kembali melangkah untuk menyalami ibu mertuanya, Zidan dengan cepat melarangnya.
"Sudahlah, tidak usah-- Kau tidak lihat tadi Ibu bagaimana? Biarkan saja-- ayo."
Fahira akhirnya menuruti perintah Zidan dan mengikuti langkah sang suami dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Fahira hanya menunduk dan melangkah pergi bersama suaminya menuju mobil, meninggalkan rumah itu dengan hati yang campur aduk antara sedih, lega, dan penuh harapan agar semuanya kelak akan membaik.
**Beberapa hari telah berlalu**
Dua hari sudah Zidan hidup tanpa istrinya. Keinginan untuk pulang ke rumah selalu diurungkan karena rasa malas melihat ibunya yang masih saja menyuruh Najwa menginap di sana. Bahkan, Bu Zubaidah tanpa sungkan meminta Najwa mengirimkan makan siang untuk Zidan di kantornya. Hal itu semakin membuat Zidan kesal.
Tanpa Fahira, Zidan merasa hidupnya sedikit hilang arah. Ia akhirnya memutuskan mencari tempat yang bisa memberinya ketenangan. Saat melintasi jalanan di pinggir kota, pandangannya tertuju pada sebuah tempat yang tampak ramai yaitu sebuah klub malam. Tanpa banyak pikir, ia menepikan mobilnya dan masuk ke dalam.
Suasana di dalam klub terasa berbeda. Lampu berwarna-warni berpadu dengan dentuman musik keras yang menggema di seluruh ruangan. Semakin malam, suasana kian meriah. Di lantai dansa, pasangan-pasangan tampak larut dalam dunia mereka sendiri. Ada yang suami istri, ada pula yang sekadar kekasih gelap, semuanya seolah tak peduli.
Lampu-lampu remang di area tempat duduk tampak kontras dengan cahaya terang di lantai dansa. Para bartender sibuk melayani pesanan minuman beralkohol, sementara wanita-wanita berpakaian menggoda mulai mencari perhatian para tamu.
Di salah satu sudut ruangan, seorang pria muda duduk termenung, tampak berbeda dari pengunjung lainnya. Ia hanya memesan segelas jus. Dari balik meja bartender, seorang wanita muda berwajah cantik dengan tubuh sedikit berisi memperhatikannya. Ia mengenakan pakaian cukup seksi dan menatap pria itu penuh rasa ingin tahu.
Tanpa pikir panjang, wanita itu melangkah mendekati pria tersebut. "Hai, sendirian saja?" tanyanya ramah.
Wanita itu bernama Viola Rosa Demita\_ biasa dipanggil Viola oleh para pengunjung klub. Pria yang ia sapa ternyata adalah Zidan. Dia yang didekati sedikit terkejut, Zidan hanya menatap sekilas lalu kembali menunduk.
Sebagai salah satu '***bintang*** ' di klub itu, Viola tak terbiasa diabaikan. Ia mendekat, lalu dengan santai duduk di sebelah Zidan.
"Boleh aku duduk di sini?" tanyanya lagi.
"Silakan," jawab Zidan singkat.
Viola tersenyum kecil, lalu menaruh gelas berisi minumannya di meja Zidan. Ia sempat terkejut ketika melihat pesanan Zidan hanya segelas jus.
"*Dia tidak minum alkohol* ?" batinnya heran.
Viola mengusap bahu Zidan dengan lembut, namun reaksi Zidan membuatnya terkejut. Lelaki itu menepis tangannya dengan sedikit kasar.
"Maaf, aku sedang ingin sendiri. Jangan ganggu aku," ujar Zidan datar sambil menggeser duduknya menjauh.
"Apa kau sedang ada masalah?" tanya Viola lagi.
"Aku tidak mengenalmu. Pergilah. Aku hanya ingin sendiri," balas Zidan tanpa menoleh.
Viola tersenyum tipis. "Kalau begitu, kita berkenalan dulu agar kau mengenalku. Namaku Viola" Ia mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"Zidan." jawabnya singkat tanpa menyambut uluran tangan Viola.
Viola memperhatikan wajah Zidan dalam diam. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya\_ sorot mata lelaki itu penuh luka.
"Kau sedang apa di sini?" tanya Zidan akhirnya, berusaha membuka percakapan kecil.
"Aku? Tentu saja bekerja di sini," jawab Viola ringan sambil meneguk minumannya.
Zidan menatapnya heran. "Seorang wanita bekerja di tempat seperti ini? Menurutku, tempat seperti ini tidak baik untuk seorang wanita."
Ucapan Zidan membuat Viola tersenyum getir.
"Semua orang tahu klub malam bukan tempat yang baik, untuk pria maupun wanita," katanya lirih. "Tapi kadang hidup tidak memberi banyak pilihan. Aku bekerja di sini demi bertahan hidup." hidupnya penuh perjuangan karena ia adalah seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara.
Zidan terdiam, menatap kosong ke arah gelas jus di tangannya. Lampu-lampu remang menyorot wajahnya yang tampak letih. Sementara itu, Viola hanya memperhatikannya dalam diam, tanpa sadar mulai merasakan iba terhadap lelaki yang baru saja ia kenal.
"Semua orang sudah tahu apa pekerjaanku di sini. Aku bekerja menemani para pria yang membutuhkan teman minum, atau bahkan teman tidur. Jika kau ingin melanjutkan malam ini denganku, aku tidak keberatan. Asal bayaranmu sepadan," ucap Viola lagi tanpa ragu.
Perkataan itu membuat Zidan terkejut. Ia menatap Viola, dan semakin lama menatap, semakin sulit baginya untuk mengalihkan pandangan. Wanita itu memiliki pesona yang aneh\_ mempesona sekaligus berbahaya.
Zidan nampak terpukau oleh kecantikan Viola. Namun, ketika ia tersadar, buru-buru ia memalingkan wajah dan menunduk. Meski begitu, hatinya sempat goyah dan benaknya mulai dipenuhi pikiran yang tak seharusnya.
Apa yang sebenarnya ada di pikiran Zidan setelah melihat kecantikan Viola?
Apakah ia akan tetap setia pada Fahira, atau justru tergoda untuk mengkhianatinya?
Temukan jawabannya di bagian selanjutnya, besok ya----
See you!
...----------------...
**Bersambung**....
ko jadi gini y,,hm
jalan yg salah wahai Zidan,emang harus y ketika kalut malah pergi k tempat yg gak semestinya d datangi,Iyu mah sama aja malah nyari masalah..
dasar laki laki
drama perjodohan lagi