NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Ternodai

Cahaya Yang Ternodai

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / One Night Stand / Romansa / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:426
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.

Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.

Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.

Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

4. Kehancuran

Beberapa jam kemudian...

Sunyi. Hanya suara jangkrik di luar rumah tua itu. Malam semakin larut, dingin semakin menusuk, tapi udara di dalam ruangan justru pengap dan mencekik.

Alendra terduduk di sudut ruangan dengan tubuh gemetar. Lututnya ia peluk erat, wajahnya pucat pasi, matanya kosong seperti kehilangan cahaya. Rambutnya berantakan, bajunya kusut. Air mata sudah berhenti mengalir, bukan karena ia tak ingin menangis lagi, tapi karena ia sudah kehabisan tenaga.

Kenapa harus aku? Kenapa aku? pikirnya berulang-ulang.

Setiap kali ia menutup mata, bayangan tadi kembali terlintas. Nafasnya tersengal, tubuhnya seperti ditusuk jarum dari ujung kaki hingga kepala. Ia ingin menjerit lagi, tapi suara tak bisa keluar. Hanya tangisan tanpa suara, hanya air mata kering yang membuat wajahnya perih.

Tak jauh dari sana, Rayven tergeletak di lantai. Nafasnya berat, tubuhnya digenangi keringat dingin, matanya sesekali berkedut. Ia setengah sadar, tak sepenuhnya mengerti apa yang sudah terjadi.

Suara sesenggukan lirih Alendra akhirnya membuat Rayven tersentak bangun.

Kepalanya terasa berat, seperti dihantam batu. Ia membuka mata perlahan, pandangannya kabur, lalu samar-samar melihat sosok seorang gadis yang duduk meringkuk di sudut ruangan.

Rayven mengerjap beberapa kali. Saat kesadarannya sedikit pulih, ia baru menyadari sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Tubuhnya sendiri... telanjang, tanpa sehelai pakaian pun.

Wajahnya menegang. "Apa... yang..." suaranya parau, tercekat di tenggorokan.

Ia cepat menoleh ke sekeliling. Rumah tua, gelap, bau apek. Dan gadis itu—siapa dia? Rayven mencoba berdiri, tapi lututnya goyah.

Alendra langsung menyusut lebih ke sudut, menatap Rayven dengan mata ketakutan. Seolah-olah Rayven adalah monster yang baru saja keluar dari mimpi buruknya.

"Ja... jangan dekat-dekat," suara Alendra pecah, bergetar ketakutan.

Rayven berhenti. Jantungnya berdentum lebih keras. Ada sesuatu yang salah, sangat salah. Potongan-potongan ingatan samar mulai menghantam kepalanya: minuman di klub, tubuhnya panas, keluar dengan terburu-buru, motor, rumah kosong... lalu... gelap.

Rayven menelan ludah. Tangannya gemetar. "Apa... yang sudah gue lakuin...?" gumamnya.

Alendra menunduk, air matanya jatuh lagi. "Kamu... hancurin aku..." bisiknya lirih, hampir tak terdengar, tapi cukup menusuk dada Rayven.

Rayven terpaku. Kata-kata itu menamparnya lebih keras daripada apapun. Ia mundur beberapa langkah, tubuhnya goyah. Dunia seperti berputar.

"Bukan... bukan gue..." Rayven menggeleng, wajahnya pucat. "Gue gak—" suaranya patah, tak bisa melanjutkan. Karena meski otaknya menolak, bukti di depan matanya tak bisa dibantah.

Alendra mengeratkan pelukannya pada lutut. "Kenapa harus aku... aku cuma mau pulang... aku cuma mau pulang..." suaranya pecah, lirih, penuh luka.

Rayven ingin bicara, ingin menjelaskan—meski ia sendiri tak paham. Tapi apa yang bisa ia katakan? Bahwa ia tak sadar? Bahwa ia tidak ingat? Itu semua tetap tak akan mengubah kenyataan bahwa gadis di depannya sudah hancur karena ulahnya.

Keheningan menyelimuti ruangan.

Hanya ada isak tangis yang sesekali pecah dari Alendra, dan suara napas berat Rayven yang kacau.

---

Di sisi lain kota, di rumah sederhana milik keluarga Alendra...

Larissa, ibu Alendra, mondar-mandir di ruang tamu. Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Ayahnya, Ardian, duduk di sofa dengan wajah tegang.

"Kenapa Alendra belum pulang juga, Yan? Biasanya jam sebelas paling lambat dia udah sampai rumah," suara Larissa bergetar, penuh cemas.

Ardian mencoba menenangkan, meski hatinya sendiri resah. "Mungkin lembur sedikit di kafe. Atau sepedanya bocor, jadi agak lama."

Larissa menatap suaminya dengan mata yang hampir berkaca-kaca. "Jangan menyepelekan, Yan. Anak perempuan... di luar sana banyak orang jahat. Aku takut ada apa-apa sama dia."

Ardian menarik napas panjang. Ia juga merasakan firasat tak enak. Tapi ia tak mau menunjukkan pada istrinya. "Sudah, coba kita hubungi dulu."

Larissa mengangguk cepat. Ia mengambil ponsel, menekan nomor Alendra berulang kali. Tapi... tut... tut... nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.

"Nomornya mati!" Larissa hampir menjerit.

Ardian berdiri, menggenggam bahu istrinya. "Besok pagi kalau belum pulang juga, kita cari. Sekarang kita berdoa, semoga dia baik-baik aja."

Tapi dalam hati, Ardian tahu—malam ini akan panjang.

---

Kembali ke rumah kosong itu.

Rayven sudah mengenakan kembali pakaiannya dengan tergesa, meski tangannya masih gemetar. Pandangannya tak lepas dari Alendra yang masih meringkuk di sudut.

Setiap kali ia mencoba mendekat, gadis itu menjerit lirih, memohon. "Jangan... jangan dekat aku!"

Rayven mundur. Ia merasa dadanya seperti diremas. Ada rasa bersalah yang begitu besar menekan kepalanya. Tapi sekaligus... ia tak tahu harus berbuat apa.

"Gue... gue gak sengaja..." suaranya pecah. "Gue bahkan gak sadar... gue gak ingat apa-apa..."

Alendra mendongak dengan mata merah bengkak, menatapnya penuh kebencian. "Tapi itu tetap terjadi!"

Rayven terdiam. Kata-kata itu seperti belati yang menusuk jantungnya.

Ia ingin membela diri, tapi tak ada gunanya. Ia ingin meminta maaf, tapi apa arti maaf setelah kehormatan seorang gadis hancur di tangannya?

Keheningan mencekam menyelimuti ruangan itu. Hanya ada suara jangkrik di luar, samar-samar bercampur dengan detak jantung yang berdentum keras di dada keduanya.

Pemuda itu menatap gadis yang meringkuk di sudut, dengan wajah penuh sesal. Jemarinya terkepal, tubuhnya kaku seolah ingin bicara tapi lidahnya kelu. Akhirnya, ia memberanikan diri.

"Gue... akan tanggung jawab," ucapnya lirih.

Gadis itu sontak tersentak. Ia mendongak, matanya merah sembab, sorotnya penuh ketakutan sekaligus kebencian. "Apa?" suaranya bergetar, tajam.

"Gue akan tanggung jawab," ulang pemuda itu, kali ini lebih tegas meski suaranya serak. "Apapun yang terjadi barusan... Gue gak bakal kabur. Gue janji."

Gadis itu langsung menggeleng keras, wajahnya memucat. "Jangan... jangan berani-beraninya ngomong gitu!"

Pemuda itu menatapnya tak percaya. "Tapi—"

"Enggak!" potongnya dengan suara pecah. "Gue gak mau ada urusan lagi sama lo! Gue bahkan gak kenal lo, dan lo... lo udah hancurin gue! Lo ngerti gak!?"

Tatapannya kosong tapi penuh luka. Air mata kembali jatuh, meski sudah terlalu banyak yang keluar. Ia menunduk, memeluk lututnya erat-erat.

Pemuda itu menunduk, rahangnya mengeras. "Lo pikir gue bisa pura-pura gak ada apa-apa? Gue udah salah, gue udah—"

"Justru karena itu!" suaranya meninggi lagi, penuh histeris. "Satu-satunya cara gue bisa bertahan... adalah dengan lupa! Gue mau lupain semuanya. Anggap kita gak pernah ketemu, gak pernah ada kejadian ini!"

Pemuda itu terdiam. Kata-kata gadis itu menghantam keras. Ia ingin melawan, ingin bilang bahwa ia gak bisa melupakan, bahwa bayangan gadis ini akan terus menghantui hidupnya. Tapi ketika ia menatap wajah itu—pucat, penuh trauma, dan jelas-jelas takut padanya—ia sadar, mulutnya tak punya hak untuk memaksa.

Keheningan kembali merayap.

Lalu, dengan suara yang nyaris berbisik, ia mencoba lagi. "Setidaknya... biarin gue antar pulang. Malam udah larut, jalanan sepi, gue gak tenang kalau lo jalan sendirian."

Gadis itu terdiam. Ia mengusap kasar air matanya dengan punggung tangan. Lalu, tanpa menoleh, ia menggeleng pelan tapi pasti. "Tidak. Gue gak mau satu langkah pun bareng lo."

Pemuda itu terhenti. Ada sesuatu di dadanya yang terasa seperti dirobek. "Gue cuma—"

"Diam!" bentaknya tiba-tiba. Ia berdiri dengan sisa tenaga, kakinya goyah, tapi matanya menatap penuh kebencian. "Jangan deketin gue. Jangan nyebut-nyebut soal tanggung jawab. Gue bahkan gak mau tau siapa lo... dan lo juga jangan pernah coba cari tau siapa gue."

Ia menarik napas panjang, suaranya bergetar, namun setiap kata terasa seperti pisau yang menusuk.

"Lo cuma mimpi buruk yang pengen gue hapus dari hidup gue."

Pemuda itu terdiam, matanya membesar. Bibirnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Yang tersisa hanya rasa sakit, perasaan hampa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Gadis itu segera berjalan tertatih menuju pintu. Tangan mungilnya meraih gagang pintu yang berdebu. Pintu tua itu berderit ketika dibuka, lalu menutup dengan suara keras yang menggema di rumah kosong itu.

Dan pemuda itu dibiarkan sendirian.

 

Ia berdiri terpaku, memandangi pintu yang baru saja ditutup gadis itu. Nafasnya berat, dada sesak, seolah paru-parunya menolak bekerja.

"Apa yang gue lakuin..." bisiknya, nyaris tak terdengar.

Ia menekuk lutut, duduk kembali di lantai, kepalanya tertunduk dalam. Tangan kirinya menutupi wajah, sementara tangan kanannya menghantam lantai berulang kali.

"Brengsek!" teriaknya, suaranya pecah memenuhi ruangan kosong itu. "Brengsek lo, Rayven!"

Tinjunya menghantam lantai lagi, kali ini lebih keras. Perih terasa di buku-buku jarinya, tapi ia tak peduli. Amarah, sesal, dan hancurnya harga diri bercampur jadi satu, menggerogoti batinnya.

Air mata yang jarang sekali keluar kini menetes di pipinya. Ia bukan tipe yang lemah, bukan tipe yang mudah goyah. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa kalah.

"Gue janji... gue janji gak akan biarin lo ilang dari ingatan gue," ucapnya lirih, suaranya tercekat, seolah berbicara pada udara kosong. "Walau lo mau lupain gue, walau lo benci gue... tapi gue gak akan pernah lupain lo."

Suaranya pecah lagi dalam teriakan penuh putus asa.

"Kenapa gue? Kenapa gue harus ketemu lo malam ini!?"

Rumah kosong itu kembali bergema. Suara seraknya memantul di dinding-dinding tua, bercampur dengan dentingan kaca botol yang pecah karena ditendangnya dengan penuh emosi.

Ia terhuyung, lalu membenturkan kepalanya ke dinding, menahan rasa sakit di dalam dirinya. Napasnya tak beraturan, matanya memerah, tubuhnya gemetar.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, seorang Rayven Aurelio Evander Mahendra—yang selama ini dikenal dingin, tak tersentuh, ditakuti banyak orang—merasa hancur, tak berdaya, dan tak punya kendali.

Dan ia tahu, hidupnya tak akan pernah sama lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!