Luna punya segalanya, lalu kehilangan semuanya.
Orion punya segalanya, sampai hidup merenggutnya.
Mereka bertemu di saat terburuk,
tapi mungkin… itu cara semesta memberi harapan baru..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CHRESTEA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam sebelum terang
Jarum jam terus berputar. Hampir tengah malam, tapi ruangan itu masih temaram oleh cahaya kecil dari lampu sudut. Hujan kembali turun perlahan di luar jendela, menimbulkan suara lembut yang berpadu dengan irama mesin infus.
Luna masih duduk di kursinya, di sisi ranjang Orion. Tangannya belum lepas dari genggaman tangan Orion yang masih lemah, tapi hangat.
Sesekali matanya memandangi wajah pria itu, alisnya sedikit berkerut meski sudah tertidur, napasnya masih berat tapi teratur. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang membuat dada Luna terasa sesak sekaligus damai.
Dia menatap jari-jarinya sendiri yang menggenggam tangan Orion. Tangan itu besar, kasar, hangat tapi masih lemah.
“Seandainya kamu tahu, Rion…” bisiknya lirih.
“Setiap kali kamu berjuang, aku juga ikut berjuang. Aku nggak tahu kenapa, tapi rasanya aku nggak bisa lihat kamu nyerah.”
Suara hujan semakin deras. Luna mengusap wajahnya pelan, mencoba menahan air mata yang terus jatuh tanpa suara. Lelah, lega dan tenang bercampur jadi satu.
Tanpa sadar, kepalanya perlahan bersandar di sisi ranjang, tepat di dekat tangan Orion yang masih ia genggam erat. Matanya berat.
Rasanya semua emosi hari ini menguras tenaganya rasa takut, panik, sedih, dan lega berulang-ulang. Akhirnya, napas Luna mulai teratur.
Dia tertidur di sana,masih menggenggam tangan Orion erat-erat, seolah takut kehilangan pria itu bila dia melepaskannya.
Sementara Orion, dalam tidurnya yang masih lemah, menggenggam balik tangannya perlahan.
Refleks, seperti tubuhnya mengenali kehangatan yang dia butuhkan. Tidak ada kata-kata, tidak ada janji.
Hanya dua jiwa yang sama-sama terluka, saling menjaga diam-diam di tengah malam yang sunyi. Hujan terus turun di luar jendela, membasuh langit kota New York yang dingin.
Di dalam ruangan itu, untuk pertama kalinya sejak lama, Orion tidak bermimpi buruk.
Dan untuk pertama kalinya juga, Luna bisa tidur nyenyak tanpa merasa sendiri.
____
Pintu ruangan Orion terbuka, perawat hendak memeriksa keadaan Orion, namun langkahnya terhenti di ambang pintu saat melihat dua anak manusia tengah tertidur lelap dengan saling menjaga.
"Keluar.. keluar saja dulu. Biarkan mereka tidur sedikit lebih lama." bisik salah satu perawat yang cukup dekat dengan Luna.
Sedangkan perawat di belakangnya hanya bisa tersenyum kecil melihat ke romantisan mereka berdua. "Sepertinya mereka cocok ya."
Pintu kembali tertutup, ruangan kembali hening. Mereka berdua masih tertidur lelap. Sinar matahari menembus celah tirai, jatuh di wajah Luna.
Dia bergerak sedikit, merasakan sesuatu yang hangat di tangannya.Begitu membuka mata, dia menyadari jari-jari Orion masih menggenggam tangannya erat. Dan pria itu kini sedang menatapnya.
Matanya belum sepenuhnya segar, tapi sorotnya lebih hidup dari kemarin.
“Kamu tidur di sini semalaman?” suaranya serak, rendah.
Luna mengangkat kepalanya cepat, pipinya memanas.
“Ah… iya, maaf. Aku nggak sadar ketiduran.”
Orion menatap tangannya yang masih saling menggenggam.
“Kalau kamu lepas, aku mungkin nggak bisa tidur.”
Luna membeku, lalu menatapnya.
Pandangan mereka bertemu beberapa detik, cukup lama untuk membuat waktu seperti berhenti.
“Terima kasih,” ucap Orion akhirnya.
Suaranya pelan, tapi jujur.
Luna hanya tersenyum lembut, matanya masih sembab.
“Gppa, aku janji kan, aku nggak akan ninggalin kamu.”
Orion menatapnya lama, lalu mengalihkan pandangan ke jendela. Tapi senyum tipis yang nyaris tak terlihat muncul di wajahnya.
