Rina hidup dalam gelimang harta setelah menikah dengan Aryan, pengusaha bakso yang mendadak kaya raya. Namun, kebahagiaan itu terkoyak setelah Rina diculik dan diselamatkan oleh Aryan dengan cara yang sangat mengerikan, menunjukkan kekuatan suaminya jauh melampaui batas manusia biasa. Rina mulai yakin, kesuksesan Aryan bersumber dari cara-cara gaib.
Kecurigaan Rina didukung oleh Bu Ratih, ibu kandung Aryan, yang merasa ada hal mistis dan berbahaya di balik pintu kamar ritual yang selalu dikunci oleh Aryan. Di sisi lain, Azmi, seorang pemuda lulusan pesantren yang memiliki kemampuan melihat alam gaib, merasakan aura penderitaan yang sangat kuat di rumah Aryan. Azmi berhasil berkomunikasi dengan dua arwah penasaran—Qorin Pak Hari (ayah Aryan) dan Qorin Santi—yang mengungkapkan kebenaran mengerikan: Aryan telah menumbalkan ayah kandungnya sendiri demi perjanjian kekayaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triyan89, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
Malam itu, udara Jakarta terasa sangat dingin, bukan karena cuaca, tapi karena kekosongan di hati Aryan. Pukul sepuluh malam, ia sudah memarkir motor maticnya di sebuah penitipan motor dekat stasiun kereta api. Motor itu adalah satu-satunya aset berharga yang ia miliki, dan ia meninggalkannya dengan perasaan bersalah.
Ia memegang erat tas ransel lusuhnya. Di dalamnya, hanya ada beberapa potong baju, sisa uang tunai yang sangat ia kumpulkan, dan satu botol air mineral. Semua uang hasil jerih payah ia menjadi tukang ojek online dua bulan terakhir, ia pakai untuk membeli tiket kereta ekonomi tujuan Malang, dan sisanya ia bawa untuk bekal disana.
Aryan duduk di dalam gerbong yang sesak, penuh berdesakan. Bau keringat, balsem, dan minyak angin bercampur menjadi satu. Pandangannya kosong menatap luar jendela. Pikirannya dipenuhi oleh dua hal, wajah Rina yang meremehkan, dan sosok pocong penjaga Gunung Kawi yang diceritakan Dani.
Ini semua demi harga diri. Ini semua demi Rina. Mantra itu terus ia ulang dalam hati untuk mengusir ketakutan yang mulai menjalar.
Perjalanan panjang dihabiskan dalam kegelisahan. Setiap kali ia memejamkan mata, ia seolah mendengar tawa sinis Laras dan Nirmala.
Setelah lebih kurang lima belas jam di atas rel, akhirnya kereta tiba di Stasiun Kota Malang. Udara di Malang terasa jauh lebih segar dan dingin dibandingkan Jakarta, namun di mata Aryan, kota ini hanyalah pintu gerbang menuju tempat yang penuh misteri dan bahaya.
Aryan turun dari kereta. Seluruh badannya terasa pegal. Ia segera mencari angkutan umum yang menuju Kecamatan Wonosari, tempat Gunung Kawi berada. Perjalanan dengan angkutan umum itu, memakan waktu hampir dua jam, melintasi jalanan yang mulai menanjak, dikelilingi oleh perkebunan dan hutan yang tampak sunyi.
Ketika tiba di terminal kecil Wonosari, jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul empat sore. Kawasan ini terasa hening dan mistis. Orang-orang di sana berpakaian sederhana, dan raut wajah mereka seolah menyimpan banyak rahasia.
Aryan berjalan kaki. Ia bertanya pada seorang pedagang kopi di pinggir jalan, tentang lokasi Makam Gunung Kawi atau Makam Keramat Eyang Jugo. Pedagang itu menatap Aryan dari atas ke bawah, seolah sudah tahu betul maksud kedatangan pemuda dari kota itu.
"Anak muda dari jauh ya?" tanya si pedagang, nadanya datar. "Jalan terus saja ke atas, Dek, itu jalannya sudah beraspal bagus. Ikuti saja tangga-tangga itu sampai ke puncak. Di sana, kamu akan ketemu kompleks makamnya. Banyak orang bilang, kalau mau cepat kaya, ya di situ tempatnya." Imbuh pedagang itu.
Pedagang itu tidak bertanya lebih jauh, tidak menghakimi, yang justru membuat Aryan makin merinding. Seolah-olah, mencari pesugihan di Gunung Kawi adalah hal yang sangat biasa di sana.
Aryan mulai mendaki. Kaki-kakinya yang sudah terbiasa naik turun motor, kini dipaksa berjalan kaki menuju gunung. Ia melewati gerbang besar, lalu mendapati dirinya berada di sebuah kompleks yang ternyata cukup ramai. Ada banyak orang yang tampak berziarah, tetapi raut wajah mereka berbeda, bukan raut wajah orang yang beribadah, melainkan wajah-wajah penuh harap dan keputusasaan.
Dia melihat beberapa bangunan kuno, kios-kios kecil yang menjual bunga tujuh rupa, dupa, dan minyak wangi. Ada juga beberapa warung makan yang menyediakan menu sederhana.
Ia sampai di kompleks utama makam. Di sana ada dua makam besar yang tertutup kain hijau, Makam Eyang Jugo atau Raden Mas Iman Sujono, dan Makam Eyang Sujono atau Mbah Djujuk. Udara disana terasa berat, dipenuhi aroma kemenyan, dan dupa yang menyengat.
Aryan memutuskan untuk mencari tempat Shalat Magrib terlebih dahulu di sebuah musholla kecil di sudut kompleks, sebelum ia benar-benar memulai misinya.
Setelah ia selesai Shalat maghrib, kegelapan mulai merayap. Aryan merasa semakin gugup. Ia harus mencari juru kunci atau orang yang bisa membantunya melakukan ritual.
Di dekat sebuah pohon beringin besar yang terlihat sangat tua dan angker, Aryan melihat seorang pria tua dengan pakaian serba hitam, duduk sambil merok0k. Wajah pria itu keras, matanya tajam dan dalam, seolah bisa membaca pikiran Aryan. Tanpa ragu, Aryan mendekat.
"Permisi, Kek," sapa Aryan sopan.
Pria tua itu hanya melirik, lalu mengembuskan asap rok0knya. "Kamu datang dari jauh, Nak. Untuk urusan apa ke sini? Kalau cuma sedekar mau berwisata, tempatnya bukan di sini."
Jantung Aryan berdebar lebih cepat. "Saya... saya datang untuk mengubah nasib, Kek. Saya datang untuk mencari pertolongan."
Pria tua itu menyeringai. Senyumnya tidak ramah. "Pesugihan, begitu? Kamu salah datang, kalau kamu cari yang gratis. Di sini, semua ada harganya. Dan harganya tidak murah."
"Saya tahu risikonya, Kek. Saya hanya butuh arahan," kata Aryan, mencoba terdengar mantap.
Pria tua itu memperkenalkan diri sebagai Ki Sabdo, salah satu juru kunci tidak resmi di kawasan itu. Ki Sabdo kemudian membawa Aryan menjauh, menuju sebuah ruangan kecil yang gelap di balik makam.
"Baiklah, Nak. Kamu ingin kaya, kamu ingin membalas dendam ke semua perempuan yang menghinamu, bukan?" tanya Ki Sabdo, langsung menusuk ke inti masalah Aryan. Aryan terkejut, bagaimana Ki Sabdo bisa tahu tentang Rina dan rasa dendamnya.
"Iya, Kek. Saya hanya ingin mereka menyesal," jawab Aryan.
"Kalau begitu, ritualmu harus dimulai sekarang juga," kata Ki Sabdo. "Ritual yang paling kuat dan cepat, yang menjanjikan harta tak terhingga, adalah ritual Pocong Penjaga. Tapi risikonya, kamu sudah tahu, kamu harus kuat bertemu dan bernegosiasi langsung dengan mereka yang menjaga kekayaan di sini."
Ki Sabdo menjelaskan, bahwa ritual ini mengharuskan Aryan melakukan puasa mutih, hanya makan nasi putih dan air putih saja selama tiga hari, lalu pada malam keempat, ia harus bersemedi tanpa pakaian di bawah Pohon Rengas yang letaknya jauh di bawah gunung, di mana Goa Macan berada. Di sanalah Pocong Penjaga itu akan muncul.
"Mereka akan menguji mentalmu, mereka akan menakutimu sampai gila. Kalau kamu berhasil bertahan dan tidak lari, kamu akan diberi jimat kekayaan. Tapi kalau kamu lari atau gagal, jiwamu akan diseret dan dijadikan tumbal berikutnya. Kamu tidak akan kembali ke Jakarta lagi," bisik Ki Sabdo.
Aryan menelan ludah. Rasa takut yang nyata mulai mencekiknya. Tapi ia teringat wajah Rina.
"Saya... saya akan lakukan, Kek," kata Aryan, penuh tekad.
"Bagus," Ki Sabdo tersenyum puas. "Sebagai permulaan, ini mahar pertamanya."
Ki Sabdo menyebutkan sejumlah uang yang langsung membuat Aryan lemas. Itu adalah hampir semua sisa uang yang ia bawa dari Jakarta. Dengan gemetar, Aryan menyerahkan uang itu.
"Sekarang, ikuti aku. Kita akan mulai puasa mutih hari ini juga. Dan besok, kamu harus mulai mencari benda keramat yang akan kamu bawa ke di Goa Macan, sebagai sesembahan."
Aryan mengikuti Ki Sabdo keluar dari kompleks makam, menuju sebuah kamar ziarah yang sempit, yang sudah disiapkan untuknya. Ia hanya bisa pasrah. Ia sudah melewati batas. Tidak ada jalan kembali.
Di malam pertama di Gunung Kawi itu, di tengah heningnya hutan, Aryan hanya bisa memeluk lututnya, menahan rasa lapar dan ketakutan yang akan segera menghampirinya. Ia tahu, sebentar lagi, ia akan berhadapan dengan Iblis kegelapan yang sesungguhnya.
Akankah ia berhasil memiliki kekayaan, dengan ritualnya, dan ia bisa membalas semua hinaan yang pernah ia terima, atau justru ia yang akan menjadi tumbal Iblis penjaga kekayaan di Gunung Kawi?