Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.
Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.
Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Zega melompat. Ia tidak menunggu, tidak berpikir tentang senjata atau jumlah lawan. Ini adalah pertarungan untuk waktu, bukan untuk kemenangan. Batu tajam di tangannya menghantam pelipis pria pertama dengan suara yang basah dan memuakkan. Pria itu roboh tanpa suara, tubuhnya tenggelam ke dalam lumpur hitam bakau.
“Lari, Sasha! Ke jalan setapak itu!” teriak Zega, suaranya serak. Ia segera berguling menjauh saat pria kedua menendang, sasarannya adalah laptop Bara yang ada di tangan Sasha. Sasha, yang masih memegang erat laptop itu, terperanjat, tetapi kakinya segera menuruti perintah Zega.
Ia berlari. Lumpur kental bakau menghisap sepatu ketsnya yang sudah basah. Di belakangnya, ia mendengar suara benturan keras, gerutuan, dan napas berat. Pria ketiga, yang tampaknya adalah pemimpin tim, telah mengeluarkan tongkat kejut listrik. Zega menghadapi dua pria berbadan besar dengan tangan kosong dan sisa-sisa energi setelah berenang semalam suntuk.
Sasha hanya berlari beberapa meter, menembus rimbunnya akar bakau yang saling melilit seperti jaring-jaring setan. Ia bisa saja terus lari, menghilang di kegelapan subuh. Tapi ia berhenti. Jantungnya berdebar, bukan karena lari, tapi karena gambar Zega, sendirian, menggunakan tubuhnya untuk melindunginya. Itu bukan lagi urusan bisnis; itu adalah janji hidup.
Ia membalikkan badan, melihat Zega sedang berjuang keras. Ia bergumul dengan pria bertongkat kejut. Zega berhasil menangkap pergelangan tangan pria itu, mengunci gerakannya, tapi pria satunya sudah kembali berdiri, menahan Zega dari belakang.
“Jaka!” Sasha berteriak. Ia tidak punya senjata. Matanya menyapu sekitar dengan panik, mencari apa pun yang bisa digunakan. Ia melihat sepotong kayu besar yang tajam, tersangkut di antara akar bakau.
Tanpa ragu, Sasha melempar ransel berisi laptop Bara ke balik semak-semak yang lebih tebal. Ia merangkak cepat menuju kayu itu, mengambilnya, dan kembali berlari ke arah pertarungan.
Pemimpin tim itu menyadari keberadaannya. “Ambil laptopnya! Lupakan si hacker!”
Sasha mengabaikan ancaman itu. Ia mendekat, mengangkat kayu itu dengan segenap kekuatannya, dan menghantamkannya ke punggung pria yang mencekik Zega.
Pria itu mengerang, cengkeramannya mengendur. Zega memanfaatkan celah sepersekian detik itu. Ia membalikkan badan, menyikut rahang pria yang baru saja dipukul Sasha, lalu berputar cepat, menendang tongkat kejut dari tangan pemimpin tim.
Tongkat kejut itu jatuh ke lumpur, mengeluarkan percikan listrik yang menyedihkan sebelum mati.
Zega meraih tangan Sasha. “Kerja bagus, CEO. Tapi waktu habis.”
Mereka berlari bersama, kaki mereka terperosok, tubuh mereka diselimuti lumpur dan nafas mereka terengah-engah. Mereka melewati semak-semak, berbelok tajam, menjauh dari suara gerutuan para pengejar yang kini mulai mengejar mereka lagi, kali ini dengan amarah ganda.
Setelah berlari sejauh lima puluh meter, mereka sampai pada jalan setapak kecil yang mengarah ke perkampungan nelayan. Zega menarik Sasha ke balik pohon besar.
“Mereka terlatih, tapi mereka bukan pelacak hutan,” bisik Zega, telinganya mendengarkan suara di belakang. “Kita harus bergerak cepat ke perkampungan. Kita harus menyamar.”
Sasha menyandarkan kepalanya ke dada Zega, mencoba mengatur napas. Bau laut, lumpur, dan keringat bercampur. Ia merasakan detak jantung Zega yang berpacu kencang, menenangkan dirinya sendiri. Ia tahu mereka berhasil, tetapi sensasi bahaya masih menggelayut.
“Aku mengambil risiko bodoh dengan kembali,” bisik Sasha.
“Kau menyelamatkan kita,” koreksi Zega, suaranya mengandung kekaguman yang tersembunyi. Ia memegang bahu Sasha, menoleh ke belakang untuk memastikan pengejar mereka tidak muncul. “Aku tidak akan selamat dari kuncian mereka jika kau tidak memukulnya. Kau tidak lagi hanya CEO, Sasha. Kau adalah rekan tempur.”
Sasha tersenyum lemah. Pujian itu, datang dari Zega yang anti-korporasi dan anti-emosi, terasa lebih berharga daripada semua gelar bisnisnya. Keintiman mereka sekarang dibangun di atas trauma dan perjuangan yang sama.
“Laptopnya aman. Aku menyembunyikannya di sana.” Sasha menunjuk ke semak-semak di belakang.
“Ambil itu. Kita harus terlihat seperti penduduk lokal yang baru selesai melaut. Kita harus melintasi desa, menemukan jalan utama ke Mataram.”
Mereka kembali sebentar, mengambil ransel itu. Zega membersihkan lumpur yang menempel di wajah Sasha dengan ujung kemejanya yang basah. Jari-jarinya menyentuh kulit Sasha, sebuah sentuhan yang lebih dari sekadar pragmatis. Sasha memejamkan mata sejenak, menikmati kehangatan kecil di tengah dinginnya pagi.
“Kita harus menghilang ke dalam keramaian,” kata Sasha, suaranya sekarang penuh tekad.
“Kita akan menjadi hantu di siang hari,” janji Zega. “Ikuti aku, dan jangan bicara. Wajahmu terlalu mahal untuk desa ini.”
Mereka mulai berjalan, berjingkat melewati jalan setapak yang penuh akar. Saat mereka keluar dari zona bakau, desa nelayan kecil itu mulai menggeliat bangun. Aroma ikan asin dan asap kayu bakar menusuk hidung mereka. Mereka mencoba berjalan seolah-olah mereka adalah bagian dari lanskap, dua orang yang kelelahan setelah bekerja semalaman.
Zega, dengan wajahnya yang keras dan pakaian kargo yang sudah lusuh, tampak meyakinkan. Sasha, meskipun tubuhnya berlumuran lumpur, masih memancarkan aura berbeda. Untuk menutupi kecanggungan ini, Zega melingkarkan lengannya di pinggang Sasha, pura-pura mendukungnya, seperti seorang suami yang membantu istrinya yang kelelahan.
Sentuhan ini adalah yang paling lama dan paling terbuka yang pernah mereka bagikan di depan umum. Sasha bersandar padanya, merasakan kenyamanan dan perlindungan. Sensasi kulit mereka yang dingin bersentuhan terasa seperti sambungan listrik. Adrenalin telah digantikan oleh kesadaran yang tajam: mereka adalah satu unit.
“Kita perlu transportasi, Jaka,” bisik Sasha, mulutnya hampir menyentuh telinga Zega.
“Aku tahu. Kita menuju warung kopi di ujung sana. Temanku, Pak Toha, seharusnya ada di sana. Dia yang berutang budi padaku. Dia punya mobil van yang bisa kita gunakan.”
Mereka berjalan melewati deretan rumah kayu, tatapan ingin tahu dari beberapa penduduk desa mengikuti mereka, tetapi tidak ada yang menahan mereka. Mereka mencapai jalan utama, tempat beberapa mobil tua dan motor parkir.
Di seberang jalan, ada sebuah warung kopi kecil yang ramai dengan nelayan. Pak Toha, seorang pria paruh baya dengan kulit gelap dan senyum ramah, terlihat sedang menyesap kopi di meja sudut.
“Itu dia,” Zega menghela napas lega. “Kita berhasil.”
Mereka mulai menyeberang jalan. Namun, saat mereka mencapai trotoar, suara sirene mobil polisi yang keras memecah keheningan pagi.
Bukan sirene pengejaran darurat, melainkan sirene yang menandakan patroli atau pos pemeriksaan. Sebuah mobil patroli polisi lokal berwarna hijau tua tiba-tiba berbelok ke jalan utama desa, tepat di depan warung kopi Pak Toha.
Dua petugas keluar. Salah satu petugas itu langsung menuju ke warung kopi, dan tanpa banyak bicara, menempelkan selembar kertas besar ke papan pengumuman di dinding.
Zega dan Sasha segera bersembunyi di balik tumpukan jaring ikan. Jantung Sasha kembali berdetak kencang.
“Apa itu?” bisik Sasha, matanya tertuju pada poster yang baru dipasang.
Zega menyipitkan mata. “Mereka tidak mencari kita. Mereka sedang melakukan ‘Audit Imigrasi’ mendadak. Tapi lihat deskripsinya.”
Postingan itu menunjukkan foto buram dirinya dan Sasha. Bukan foto dari kantor DigiRaya, melainkan foto CCTV yang diambil saat mereka terakhir berada di pelabuhan. Di bawah foto itu, ada deskripsi singkat: *Dua buronan, dicari terkait kasus penipuan siber internasional. Hadiah besar bagi yang memberikan informasi.*
“Paman Hadi tidak hanya menggunakan tim keamanan swasta,” desis Sasha, matanya memanas. “Dia menggunakan koneksi pemerintah lokal untuk memblokir kita. Dia tahu kita akan mencari jalur laut.”
“Sial. Sekarang kita tidak bisa bertemu Toha di sana. Seluruh desa akan melihat wajah kita dalam lima menit ke depan.” Zega menarik Sasha lebih dalam ke balik tumpukan jaring. “Kita harus berputar balik. Kita harus menemukan Toha tanpa masuk ke dalam perangkap itu. Mataram baru saja menjadi jalan buntu.”
Saat mereka bersiap untuk bergerak, Zega menyentuh saku celana kargonya dan menemukan sesuatu yang hilang. Benda kecil yang ia butuhkan untuk menghubungi Toha secara diam-diam. Perangkat komunikasi rahasianya.
“Ada apa?” tanya Sasha.
“Saat kita bertarung di lumpur… Aku kehilangan burner phone-ku. Ponsel sekali pakai yang aku gunakan untuk menghubungi Toha. Tanpa itu, aku tidak punya cara aman untuk menghubunginya.” Zega mengumpat dalam hati. “Kita benar-benar sendirian sekarang, Sasha. Di pulau asing, dikepung polisi lokal, dan diburu oleh badan intelijen asing. Dan kita tidak punya cara untuk menghubungi satu-satunya koneksi kita.”
Sasha melihat ke arah Pak Toha, yang kini terlihat gelisah, matanya sesekali melirik ke arah poster yang baru dipasang. Dia jelas mengenali Zega dari foto yang buram itu.
Tiba-tiba, Pak Toha, dengan ekspresi panik di wajahnya, bangkit dari kursinya, meninggalkan kopi yang masih penuh, dan mulai berjalan cepat, bukan ke arah mereka, tetapi menjauhi desa, menuju ke arah ladang yang dipenuhi pohon kelapa.
“Toha melarikan diri,” bisik Zega. “Dia tidak ingin terlibat.”
Sasha menoleh ke Zega, matanya dipenuhi pertanyaan. “Kalau begitu, siapa yang akan membantu kita sekarang?”
Zega melihat ke arah mobil patroli polisi yang kini mulai bergerak perlahan di jalan utama, melakukan pemeriksaan identitas acak. Mereka terjebak di antara laut yang mematikan dan polisi yang korup.
“Kita harus mencuri mobil,” putus Zega, pandangannya tertuju pada sebuah mobil van tua yang terparkir dekat dermaga, kuncinya mungkin masih menggantung di dasbor karena kecerobohan khas desa nelayan. “Ini risiko besar, tapi kita tidak punya pilihan.”
“Bagaimana kita akan melakukannya?”
“Kau alihkan perhatian polisi, Sasha. Aku akan mengambil van itu. Dan aku akan mengemudi seperti iblis untuk membawa kita keluar dari Lombok.”
Sasha menelan ludah, melihat ke arah dua petugas yang semakin mendekat. Dia adalah CEO perusahaan multinasional, dan sekarang dia harus menjadi pengalih perhatian kriminal. Ini adalah babak baru dalam pelarian mereka.
“Baik. Apa rencananya?” tanyanya, suaranya mantap, siap untuk melakukan kejahatan pertamanya demi kebenaran.