Nindya adalah wanita empatik dan gigih yang berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Kehidupannya yang sederhana berubah ketika ia bertemu Andrew, pria karismatik, mapan, dan penuh rahasia. Dari luar, Andrew tampak sempurna, namun di balik pesonanya tersimpan kebohongan dan janji palsu yang bertahan bertahun-tahun.
Selama lima tahun pernikahan, Nindya percaya ia adalah satu-satunya dalam hidup Andrew, hingga kenyataan pahit terungkap. Andrew tetap terhubung dengan Michelle, wanita yang telah hadir lebih dulu dalam hidupnya, serta anak mereka yang lahir sebelum Andrew bertemu Nindya.
Terjebak dalam kebohongan dan manipulasi Andrew, Nindya harus menghadapi keputusan tersulit dalam hidupnya: menerima kenyataan atau melepaskan cinta yang selama ini dianggap nyata. “Istri Bayangan” adalah kisah nyata tentang pengkhianatan, cinta, dan keberanian untuk bangkit dari kepalsuan yang terselubung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Permintaan sederhana, tapi cukup untuk membuat Nindya harus duduk lebih lama dengannya. Ia menerima kertas itu, mengetik cepat di komputer.
“Tidak masalah, Pak hanya sebentar.”
Andrew memperhatikannya dengan sabar. “Kamu selalu terlihat sibuk?.”
Nindya menahan diri untuk tidak menoleh. “Itu memang bagian dari pekerjaan saya, Pak.”
Andrew tersenyum kecil.
“Profesional sekali.”
Batam sudah jadi rumah kedua bagi Andrew. Hampir setiap bulan, ia menginap di hotel yang sama. Staf resepsionis dan bellboy sudah hafal dengan sosok pria tinggi besar, berkemeja rapi, membawa koper hitam beroda. Mereka memanggilnya Mr. Andrew, tamu reguler long-stay yang biasanya tinggal dua sampai tiga minggu.
Namun, ada satu wajah baru yang menarik perhatiannya kali ini: Nindya.
Ia pertama kali menyadari perempuan itu beberapa hari lalu saat hampir bertabrakan di koridor. Sejak itu, tanpa bisa dicegah, matanya selalu mencari-cari sosoknya di lobi.
Sore harinya, Andrew kembali muncul, kali ini dengan wajah sedikit lelah.
“Nindya, bisakah saya minta rekomendasi restoran lokal? Saya bosan dengan menu hotel.”
Permintaan itu wajar, banyak tamu menanyakannya. Tapi Andrew mengucapkannya dengan nada yang lebih personal, seolah ia ingin jawaban langsung dari Nindya, bukan dari brosur yang tersedia.
Nindya membuka laci, mengambil daftar restoran mitra hotel, lalu menyerahkannya. “Silakan pilih dari daftar ini, Pak. Semuanya sudah bekerja sama dengan hotel.”
Andrew menerima kertas itu, tapi tidak langsung pergi.
“Kalau menurutmu pribadi, mana yang paling enak?”
Pertanyaan itu membuat Nindya mengangkat wajah. Ada sesaat jeda sebelum ia menjawab.
“Saya jarang makan di luar. Tapi… kalau ingin suasana tenang, mungkin di Harbour Bay. Banyak restoran seafood yang cukup baik.”
Andrew mengangguk.
“Terima kasih .”
Nindya kembali menunduk, menyembunyikan senyum kecil yang nyaris muncul.
Malamnya, ketika Nindya selesai shift dan berjalan keluar hotel, ia sempat melihat Andrew duduk sendirian di lounge luar, menatap ponsel. Mereka beradu pandang sekejap. Andrew hanya mengangguk singkat, memberi salam tanpa kata. Nindya membalas dengan senyum tipis, lalu bergegas pergi.
Di jalan menuju rumah peninggalan Armand, langkah Nindya terasa lebih ringan meski tubuhnya letih. Ia tahu seharusnya ia tidak boleh memberi ruang pada perasaan macam itu, tapi kenyataan berkata lain: ada sesuatu dalam diri Andrew yang pelan-pelan membuatnya ingin menoleh lagi.
Sementara Andrew, usai makan malam di Harbour Bay, menatap layar ponselnya yang kosong. Michelle sempat meneleponnya tadi, tapi ia abaikan. Pikirannya tidak di sana. Malam ini, ia hanya memikirkan seorang receptionis di hotel tempatnya menginap dengan name tag bertuliskan Nindya Swardhani.
Kalau dunia bisa mempertemukan kita dua kali… mungkin akan ada kali ketiga, keempat.
Andrew menyandarkan tubuhnya ke kursi, senyumnya samar. Ia tidak terburu-buru. Tapi jelas, ia sudah memutuskan ia ingin mengenal perempuan itu lebih jauh.
Hari-hari di resepsionis hotel punya ritme sendiri: pagi sibuk dengan tamu check-out, siang sedikit longgar, lalu sore kembali ramai dengan tamu baru. Nindya sudah terbiasa dengan pola itu. Namun sejak Andrew menginap, ritme itu berubah. Ada jeda-jeda kecil yang tiba-tiba terasa berbeda.
Andrew selalu muncul di momen yang tidak diduga. Kadang sekadar menyapa dengan kalimat ringan, kadang bertanya hal remeh yang sebenarnya bisa ditanyakan pada siapa saja. Tapi entah bagaimana, ia selalu mengarahkan pertanyaannya pada Nindya.
Siang itu, Andrew berdiri di depan meja resepsionis sambil membawa kunci kamar. “Kartu akses saya sepertinya rusak, bisa diganti?”
Nindya menerima kartu itu, menggesek di mesin encoder.
“Tidak rusak, Pak hanya ter-reset sekarang sudah bisa dipakai lagi.”
Andrew tersenyum.
“Kalau begitu saya memang butuh lebih sering bertemu kamu di meja ini. Biar ada alasan.”
Nindya menahan diri untuk tidak bereaksi terlalu jauh. Ia hanya mengembalikan kartu sambil berujar,
“Jangan sampai setiap tamu berpikir begitu, Pak bisa repot kalau semua mau alasan bertemu resepsionis.”
Balasan itu membuat Andrew terkekeh kecil. “Untung hanya saya yang berpikir begitu.”
Malam berikutnya, Andrew kembali datang. Kali ini tanpa alasan teknis, hanya berdiri sambil memegang ponsel.
“Saya bingung mau makan malam di mana. Harbour Bay terlalu ramai ada opsi lain?”
Nindya menghela napas.
“Ada restoran golden prawn di bengkong agak jauh, Pak.”
Andrew mengangguk pelan.
“Golden prawn, bengkong? , kamu sering kesana.”
“Tidak juga,” jawab Nindya cepat.
“Saya jarang keluar pulang kerja langsung ke rumah.” ucapnya berbohong padahal sewaktu masih bersama Armand hampir semua resto seafood pernah ia singgahi.
Andrew memperhatikan raut wajahnya. Ada nada lelah di sana, bukan sekadar capek bekerja, tapi juga capek hidup. Ia mengenal nada itu—ia sendiri sering menyembunyikannya di balik jas mahal dan tawa singkat.
“Sesekali kamu perlu keluar. Jangan terpaku pada dunia kerja saja,” ucap Andrew, nadanya nyaris seperti nasihat.
Nindya tidak membalas. Ia hanya menunduk, pura-pura sibuk menata kertas di meja. Tapi kalimat itu tetap tertinggal di telinganya, lebih lama dari yang ia mau.
Beberapa hari kemudian, Andrew datang dengan koper tambahan.
“Sepertinya saya harus perpanjang stay,” katanya.
Nindya mengecek sistem, mengetik cepat. “Berapa lama, Pak?”
“Dua minggu lagi.” Andrew menatapnya, senyumnya samar.
“Kalau boleh jujur, rasanya Batam kali ini lebih nyaman dari biasanya.”
Kalimat itu sederhana, tapi nadanya membuat Nindya salah tingkah. Ia tidak bodoh; ia tahu maksud di balik kata-kata itu. Namun sebagai hotelier, ia harus menjaga batas.
“Baik, Pak perpanjangan sudah masuk sistem,” ucapnya singkat.
Andrew menerima kartu baru, lalu menambahkan,
“Terima kasih, Nindya.” Nada suaranya hangat, terlalu hangat untuk sekadar ucapan formal.
Malam itu, di rumah , Nindya duduk termenung setelah menidurkan anaknya. Kata-kata Andrew berputar-putar di kepalanya.
Ia tahu dirinya harus menjaga jarak. Andrew hanyalah tamu hotel, pria asing yang hidupnya jelas berbeda. Namun, ada sesuatu dari cara Andrew memandangnya—bukan seperti tamu menatap staf, tapi seperti pria menatap seorang perempuan.
Dan itu, bagaimana pun juga, berbahaya.
Hujan deras turun malam itu. Jalanan Batam becek, lampu-lampu toko memantul di aspal basah. Nindya baru saja selesai shift malam dan menunggu taksi online di depan hotel. Payungnya kecil, tidak cukup menahan deras air yang menderu.
Andrew, yang kebetulan baru kembali dari makan malam bersama klien, memperhatikan dari balik pintu kaca lobi. Ia mengenali sosok itu.
Tanpa banyak pikir, ia melangkah keluar. “Nindya.”
Nindya menoleh, terkejut.
“Pak Andrew?”
Andrew mengangkat payung besar yang dibawanya.
“Mau kemana? Di luar begini, susah dapat kendaraan.”
Nindya menunduk sopan.
“Saya sudah pesan taksi online, Pak tinggal menunggu.”
“Tapi kamu sudah basah kuyup,” ujar Andrew, nada suaranya lebih seperti seorang teman ketimbang tamu hotel.
“Biar saya antar itu mobil saya.”
Nindya terdiam sesaat. Ia tahu, menerima tawaran itu bukan hal bijak. Tapi hujan tak juga reda, dan anaknya menunggu di rumah. Ia menimbang sebentar, lalu mengangguk kecil.
“Apa tidak merepotkan Pak?."
”Saya tidak merasa di repotkan."