Restu? lagi-lagi restu yang jadi penghalang, cinta beda agama memang sulit untuk di satukan, cinta beda alam juga sulit untuk di mengerti tetapi cinta terhalang restu berhasil membuat kedua belah pihak dilema antara maju atau mundur.
Apa yang akan dipilih oleh Dirga dan Klarisa, karena cinta terhalang restu bukanlah hubungan yang bisa dikatakan baik-baik saja untuk keduanya.
Ikuti kisah mereka didalam novel yang bertajuk "Melawan Restu".
Salam sehat
Happy reading
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Goresan_Pena421, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lea mulai mengidam
"Huek.. Huek....,"
Lea mulai kewalahan dengan gejala kehamilannya, ada rasa takut dan gelisah yang teramat sangat menghantui Lea, tetapi semua sudah terjadi, kini ia tengah mengandung benih laki-laki yang tidak mau bertanggungjawab atas dosa yang ia lakukan dengan Lea.
"Huek.... Huekk, ahkk aku harus segera menikah dengan mas Dirga, sebelum perut ku membesar karena janin terkutuk ini,"ucap Lea.
Kehamilannya tidak diketahui siapapun, bahkan jika Dirga tahu siapa yang menghamili Lea, pasti ia akan terkejut.
Sementara itu Klarisa sudah mulai membaik keadaannya dan dokter memperbolehkan Klarisa dibawa pulang oleh Dirga karena kondisi Klarisa sudah benar-benar stabil.
Klarisa duduk di kursi roda, wajahnya masih pucat namun senyum tipis tersungging saat ia melihat Dirga sibuk menandatangani berkas administrasi rumah sakit. Setelah bermalam-malam dengan penuh doa dan kekhawatiran, akhirnya dokter memperbolehkan Klarisa pulang.
“Mas Dirga, akhirnya aku bisa pulang ya...” ucap Klarisa lirih, jemarinya menggenggam tangan Dirga erat.
Dirga menatapnya dengan mata teduh, seolah seluruh beban yang menghantam hatinya seketika luruh hanya dengan melihat gadis itu tersenyum. “Iya, Sayang. Mulai sekarang, aku janji nggak akan biarin kamu sakit atau sendirian lagi.”
Namun, kedamaian kecil itu seakan hanya sesaat. Sesampainya di rumah keluarga besar Dirga, suasana yang seharusnya hangat malah terasa mencekam. Bunda Dirga berdiri di ruang tamu dengan wajah serius. Di sampingnya, Lea duduk dengan mata sembab, tangannya sesekali mengelus perutnya yang mulai terasa berbeda.
Dirga terkejut. “Lea? Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya datar.
Bunda Dirga menghela napas panjang, lalu menatap anaknya dengan sorot tegas. “Dirga, ada hal yang harus kau tahu. Lea sedang mengandung... dan bayi itu butuh seorang ayah. Bunda ingin kamu menikah dengannya.”
Kata-kata itu jatuh bagai petir di siang bolong. Klarisa terdiam, matanya bergetar hebat. Dirga sendiri berdiri membeku, kemudian menoleh cepat ke arah Lea. “Apa maksudmu, Bun? Lea... hamil?”
Lea hanya menunduk, air matanya menetes. “Maafkan aku, Mas... aku nggak bisa sendiri. Aku butuh seseorang untuk menolongku...”
Dirga menggeram, darahnya mendidih. “Jangan gila, Bun! Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Lea. Aku mencintai Klarisa, dan itu tidak akan berubah!” suaranya meninggi, hingga membuat Lea semakin tersedu.
Bunda Dirga melangkah mendekat, wajahnya penuh kemarahan bercampur kecewa. “Dirga! Kamu tega? Kamu tega membiarkan anak yang tak berdosa itu lahir tanpa ayah? Kau satu-satunya laki-laki yang bisa menyelamatkan masa depan Lea!”
“Tidak!” potong Dirga dengan suara bergetar. Ia lalu menoleh ke arah Klarisa yang tampak berusaha tegar. “Aku sudah cukup diatur selama ini, Bun. Cinta itu bukan mainan. Aku nggak akan menikahi seseorang hanya karena dipaksa, apalagi jika itu mengorbankan perempuan yang benar-benar aku cintai.”
Dan tanpa ragu, di depan ibunya, di depan Lea yang menangis, Dirga meraih wajah Klarisa lalu menciumnya dengan penuh keberanian. Sebuah ciuman yang tidak hanya sarat dengan cinta, tapi juga perlawanan.
Klarisa sempat terkejut, tapi kemudian ia membalasnya dengan lembut, matanya terpejam, merasakan betapa tulusnya hati Dirga. Suasana ruang tamu itu hening sesaat, hanya terdengar isakan tertahan dari Lea dan napas berat Bunda Dirga yang semakin gusar.
“Dirga! Apa yang kau lakukan?! Kau sungguh keterlaluan!” bentak Bunda Dirga dengan wajah memerah karena marah.
Dirga menatap ibunya tajam, matanya berkilat penuh amarah. “Aku ingin Bunda tahu, aku mencintai Klarisa. Kalau Bunda memaksaku untuk menikahi Lea, maaf, aku lebih baik pergi dari rumah ini. Aku sudah muak selalu diatur.”
Lea terisak makin keras. “Tapi, Mas... kalau bukan kamu... siapa yang mau bertanggung jawab atasku? Siapa yang mau menerima aku dengan janin ini?”
Tiba-tiba, sebelum suasana makin meledak, suara berat seorang pria terdengar dari pintu.
“Aku yang bertanggung jawab.”
Semua kepala menoleh bersamaan. Seorang pria bertubuh tegap dengan tatapan tajam melangkah masuk. Wajahnya asing bagi Dirga, tapi sorot matanya begitu serius.
Lea langsung pucat pasi, tubuhnya bergetar hebat. “K-kamu... kenapa kamu ada di sini?”
Pria itu menatap Lea dengan tatapan dingin, lalu melirik Dirga dan ibunya. “Aku orang yang seharusnya kalian cari, bukan Dirga. Bayi dalam kandungan Lea... adalah darah dagingku.”
Kata-kata itu membuat ruangan seolah membeku. Bunda Dirga melotot tak percaya, sementara Dirga mengepalkan tangan, hatinya dipenuhi campuran amarah dan rasa lega.
“Lea... apa maksud semua ini?” suara Bunda Dirga bergetar.
Lea tak sanggup menjawab, tangisnya pecah semakin keras.
Dirga menatap pria itu penuh curiga. “Siapa kamu sebenarnya?”
Pria itu hanya tersenyum samar, lalu menunduk sedikit. “Kau akan segera tahu. Tapi satu hal yang pasti... bayi itu bukan tanggung jawabmu, Dirga.”
Dan sebelum ada yang sempat bertanya lebih jauh, pria misterius itu melangkah maju, berdiri tegak di hadapan semua orang. Suasana menjadi semakin menegangkan, udara seolah menahan napas.
Eaakk🤭😂