Langit di atas Lembah Seribu Pedang selalu berkabut, seolah-olah para roh pedang zaman kuno sengaja menutupinya dari mata dunia luar. Di balik kabut itu, terdapat sebuah lembah yang luas, terjal, dan dipenuhi bangunan megah terbuat dari batu hitam. Di puncak-puncak tebingnya, ratusan pedang kuno tertancap, bersinar samar seperti bintang yang tertidur. Konon, setiap pedang telah menyaksikan darah dan kemenangan yang tak terhitung jumlahnya sepanjang ribuan tahun sejarah klan ini.
Di tempat inilah, klan terbesar dalam benua Timur, Klan Lembah Seribu Pedang, berdiri tegak sebagai simbol kekuatan, kejayaan, dan ketakutan.
Klan ini memiliki struktur kekuasaan yang ketat:
Murid luar, ribuan pemula yang menghabiskan waktunya untuk latihan dasar.
Murid dalam, mereka yang telah membuktikan bakat serta disiplin.
Murid senior, para ahli pedang yang menjadi pilar kekuatan klan.
Murid elit, generasi terpilih yang berhak memegang pedang roh dan mempelajari teknik pamungkas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB.1 Bayangan Pedang Dan Darah Keluarga
Langit di atas Lembah Seribu Pedang selalu berkabut, seolah-olah para roh pedang zaman kuno sengaja menutupinya dari mata dunia luar. Di balik kabut itu, terdapat sebuah lembah yang luas, terjal, dan dipenuhi bangunan megah terbuat dari batu hitam. Di puncak-puncak tebingnya, ratusan pedang kuno tertancap, bersinar samar seperti bintang yang tertidur. Konon, setiap pedang telah menyaksikan darah dan kemenangan yang tak terhitung jumlahnya sepanjang ribuan tahun sejarah klan ini.
Di tempat inilah, klan terbesar dalam benua Timur, Klan Lembah Seribu Pedang, berdiri tegak sebagai simbol kekuatan, kejayaan, dan ketakutan.
Klan ini memiliki struktur kekuasaan yang ketat:
Murid luar, ribuan pemula yang menghabiskan waktunya untuk latihan dasar.
Murid dalam, mereka yang telah membuktikan bakat serta disiplin.
Murid senior, para ahli pedang yang menjadi pilar kekuatan klan.
Murid elit, generasi terpilih yang berhak memegang pedang roh dan mempelajari teknik pamungkas.
Di atas mereka semua, terdapat para tetua, penjaga warisan klan… dan penjaga rahasia kelam yang tak banyak diketahui.
Puncak kekuasaan itu berada pada Tetua Yumeng, sang Ketua Klan. Seorang pria berwajah dingin dengan rambut putih panjang yang tak pernah terlihat kusut. Matanya bagaikan dua bilah pedang tajam yang mampu menembus batin siapa pun. Di balik wibawanya, tersembunyi ambisi yang hanya diketahui segelintir orang—ambisi yang suatu hari akan menelan banyak nyawa.
Di salah satu rumah kecil di sisi timur lembah, tinggal seorang pemuda yang tidak berbeda dari yang lain. Namanya Xio Lun, berusia 15 tahun, murid luar yang masih dianggap lemah dan tidak memiliki bakat berarti.
Di mata para murid lain, ia hanyalah seorang anak yang kehilangan ayah dan memiliki ibu yang lembut namun rapuh. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang mengetahui bahwa darah yang mengalir di tubuh Xio Lun menyimpan sesuatu yang jauh lebih menakutkan daripada pedang mana pun di lembah ini.
Ayahnya, Xio Wu, dahulu adalah murid elit berbakat. Pedangnya terkenal karena menghancurkan batu besar hanya dengan satu tebasan jurusnya. Namun dua tahun lalu, ia kembali dalam keadaan tak bernyawa dari sebuah misi rahasia. Luka-lukanya terlalu rapi—luka pedang dari anggota klan sendiri. Tidak ada monster, tidak ada bandit. Hanya pedang penghianatan.
Malam itu, Xio Lun menyaksikan sendiri tubuh ayahnya yang dingin dipulangkan tanpa kehormatan.
Dan sejak hari itu, hidup Xio Lun berubah.
Suatu pagi, kabut di lembah menyelimuti seluruh pemukiman. Xio Lun bangun lebih awal karena suara ibu nya, Lunting, sedang menyiapkan sarapan sederhana. Aroma sup herbal memenuhi udara.
“Lun’er, bangunlah. Kau harus ke lapangan latihan sebelum matahari naik.” Suara lembut Lunting selalu memberi kehangatan.
Xio Lun bangkit dengan cepat. Meskipun dianggap lemah, ia berlatih lebih keras dari siapa pun.
Saat ia tengah mengenakan pakaiannya, matanya memandang sebuah kotak kecil yang disimpan di rak kamar. Kotak itu terbuat dari kayu hitam dan selalu terkunci. Itu adalah satu-satunya peninggalan ayahnya. Ayahnya selalu berkata:
“Suatu hari, jika kamu cukup kuat… kotak ini akan terbuka.”
Xio Lun mengepalkar tangan.
Suatu hari… aku akan tahu apa yang ayah sembunyikan.
Di lapangan latihan, ratusan murid luar telah berkumpul. Mereka berlatih dengan pedang kayu, namun suara benturan kayu tetap terdengar keras.
Instruktur mereka, Tetua Liang, memperhatikan para murid dengan tatapan penuh perhitungan.
Xio Lun menghunus pedang kayu nya dan mengambil posisi. Ia memulai gerakan dasar, berulang-ulang, tanpa lelah. Peluh menetes, ototnya bergetar, namun ia tidak berhenti. Ia teringat ayahnya yang selalu berkata:
“Pedang bukan hanya senjata. Itu adalah jiwa, kemauan, dan takdir.”
Namun, di saat ia sangat fokus, suara cibiran terdengar di belakang:
“Haha, lihat si yatim piatu ini! Latihannya keras tapi tetap lamban!”
“Kasihan ya… ayahnya mati sia-sia!”
Beberapa murid menertawakannya.
Xio Lun menggertakkan gigi, tapi ia tidak melawan. Ia tahu ia belum memiliki kekuatan untuk membalas.
Tetua Liang hanya memandang tanpa peduli. Baginya, murid lemah seperti Xio Lun mungkin tak akan bertahan lama di klan ini.
Sore hari, setelah latihan selesai, Xio Lun duduk sendirian di bawah pohon pedang—pohon yang konon ditanam dari gagang pedang kuno, sehingga daunnya tajam bagai bilah kecil.
Ia menatap langit. Pikiran tentang ayahnya terus menghantui.
“Ayah… bagaimana kau bisa mati di tangan orang yang sama-sama mengabdi pada klan ini?”
Sebuah angin dingin berhembus, menerbangkan dedaunan. Tiba-tiba, seseorang berdiri di depan Xio Lun.
Seorang tetua berjubah hitam.
Suara langkahnya begitu pelan, seolah ia menyatu dengan bayangan.
“Xio Lun.”
Suara itu dalam dan dingin.
Xio Lun segera berdiri dan membungkuk. “Tetua, ada apa?”
Tetua itu mengamatinya dengan mata tajam, seolah hendak membedah rahasinya.
“Aku mendengar kau bekerja keras setiap hari meski tidak berbakat.”
Xio Lun hanya diam.
“Kerja kerasmu sangat… mengharukan,” ujarnya dengan nada yang tidak jelas. “Oleh sebab itu, klan memberikanmu sebuah kesempatan untuk membuktikan kesetiaanmu.”
Kesempatan?
Itu terdengar seperti harapan yang selama ini ia cari.
“Apa yang harus kulakukan, Tetua?”
Nada suara Xio Lun penuh tekad.
Tetua itu menyerahkan sebuah gulungan kecil.
Cap merah darah menandainya sebagai misi berbahaya.
“Misi tingkat menengah. Carilah Batu Inti Pedang di Hutan Terlarang. Jika kau berhasil… kau akan dipertimbangkan menjadi murid dalam.”
Murid dalam?
Itu adalah posisi yang bisa mengubah hidupnya dan ibunya!
“Aku… aku akan melakukannya!”
Tetua berjubah hitam tersenyum tipis—senyuman yang lebih mirip geraman ular.
“Kau boleh berpamitan pada ibumu. Setelah itu, pergilah ke gerbang timur sebelum fajar. Jangan terlambat.”
Ketika malam tiba, Xio Lun kembali ke rumahnya. Ia tidak langsung mengabarkan misi tersebut. Ia hanya memandangi ibunya dari jauh. Lunting menata kain-kain bekas sambil bersenandung lemah.
“Ibu…”
Xio Lun memanggil perlahan.
Lunting menoleh, tersenyum hangat. “Ada apa, Lun’er?”
Xio Lun ragu sejenak, lalu berkata:
“Aku… mendapat kesempatan untuk menjalankan misi dari klan.”
Lunting terdiam. Senyum di wajahnya memudar perlahan.
“Kemana… misi itu?”
“Hutan Terlarang.”
Wajah Lunting berubah pucat.
Tidak banyak orang mengetahui apa yang ada di dalam hutan itu. Tapi satu hal pasti: tidak ada murid luar yang pernah kembali dari sana.
Xio Lun melanjutkan,
“Jika aku berhasil… aku bisa menjadi murid dalam! Aku bisa menjaga Ibu dan… mengungkap kebenaran tentang Ayah.”
Lunting menggigil. Air mata mengumpul di sudut matanya.
“Lun’er… janji pada Ibu. Kembalilah hidup-hidup.”
Suaranya bergetar.
Xio Lun memeluk ibunya erat.
Untuk sesaat, dunia terasa damai…
Namun, di luar rumah itu, mata-mata klan telah mengintai.
Rencana kelam sudah digerakkan.
Malam semakin larut. Xio Lun masuk ke kamar dan membuka kotak kayu hitam—entah mengapa, malam ini kotak itu tidak lagi terkunci. Perlahan, ia mengangkat tutupnya.
Di dalamnya, ada sebuah pedang kecil—pedang roh yang belum aktif.
Dan secarik kertas:
*“Jika sesuatu terjadi padaku… lindungi Lun’er.
Darah dewa… jangan sampai mereka mengetahui.”*
— Xio Wu
Xio Lun terpaku.
Darah dewa?
Apakah itu… tentang dirinya?
Namun sebelum ia sempat memahaminya, suara pintu terbuka.
“Xio Lun! Segera keluar!”
Suara itu terdengar dingin, penuh tekanan.
Tetua berjubah hitam menunggu di luar bersama dua penjaga.
Mereka tidak mengizinkannya menunda keberangkatan.
Xio Lun menatap pedang kecil itu dan menggenggamnya.
“Ayah… Lindungi aku.”
Di gerbang timur, kabut begitu pekat hingga sulit melihat apa pun selain bayangan.
Tetua itu kembali tersenyum tipis.
“Pergilah, Xio Lun. Dan buktikan apakah kau pantas hidup sebagai bagian dari klan ini… atau mati dengan sia-sia.”
Tanpa mengetahui kebenaran pahit di balik misi tersebut,
Xio Lun melangkah ke dalam gelapnya Hutan Terlarang.
Sementara itu…
Di dalam lembah, sebuah tragedi lain mulai bergerak.
Beberapa pria berjubah gelap mengelilingi rumah kecil milik Lunting.
Pedang mereka sudah terhunus.
Malam itu, suara teriakan tertahan memenuhi kegelapan.
Lunting jatuh bersimbah darah.
Tangannya terulur ke arah hutan.
“Lun… er…”
Pandangannya meredup… sementara kabut menyelimuti tubuhnya.
Tanpa menyadari bahwa rumahnya telah diselimuti darah…
Xio Lun terus berjalan jauh dari tempat yang ia sebut rumah.
Dan dengan setiap langkah, dendam mulai tumbuh
seiring takdir besar yang menanti dalam kegelapan hutan itu.