Takdir yang tak bisa dielakkan, Khanza dengan ikhlas menikah dengan pria yang menodai dirinya. Dia berharap, pria itu akan berubah, terus bertahan karena ada wanita tua yang begitu dia kasihani.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rozh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Ikut Bergabung
Setahun pun berlalu dengan cepat. Riko, Rudi, dan Herman, teman Tanan kembali ke dunia mereka. Sibuk minum alkohol dan memakai obat-obatan terlarang lagi. Kini, tempat mereka mengkonsumsi barang haram itu di sebuah bangunan terbengkalai, bahkan bangunan itu sering digunakan untuk kelompok Alex dan yang lainnya berkumpul.
Herman mulai menggigil, uang mereka sudah mulai habis.
"Lu mau lagi, Man?" tanya Riko.
"Gue juga mau Ko," Rudi menyahut.
"Gue kasih kalian sekali lagi, karena kita teman. Tapi lain kali enggak ya, beli! Gue aja taruhan hidup dan mati buat dapatin barang ini." Riko mulai meracik dan menghisap obat itu.
Begitu pula dengan Rudi dan Herman juga meracik obat terlarang itu untuk mereka.
Menggigil hebat yang di rasakan Herman tadi mereda, dia tersenyum lebar, seolah semua masalah di dunia ini selesai, dia merasa tenang dengan tipuan itu.
"Tanan kapan keluar dari penjara?" Tiba-tiba Herman teringat Tanan, pemuda itu biasanya sering memberi mereka barang haram setelah mengambil uang ibunya, karena diantara mereka berempat, Tanan yang paling gampang mendapatkan uang karena Bu Ijah memanjakan nya.
"Mungkin dua tahun lagi kalau berkelakuan baik!" jawab Rudi.
"Oh!" Mereka pun mulai menghisap obat terlarang itu.
"Eh, gimana kalau kalian ikut gue juga, jual ini barang! Lihat gue, gue bisa dapat barang, trus dapat uang! Mantap!" Riko pamer. "Dari pada kalian minta uang ortu mulu, kadang nyuri, mending jual ini. Uangnya banyak!" Riko menggoda kedua temannya itu dengan menunjukkan uang dari kantongnya dan barang-barang haram di hadapan mereka bertiga.
Rudi dan Herman saling pandang.
"Mending kalian coba dulu! Nanti malam, kalian bisa lihat cara gue, oke!" kata Riko.
Malam harinya.
Riko mendapatkan barang dari Alex, pertemuan mereka kali ini di sungai yang ikan larangannya baru di buka, dengan alasan memancing ikan.
Riko, Herman dan Rudi membawa pancing serta umpan, namun di sela-sela tas nya ada barang haram itu.
"Bang Edi?" sapa Riko tersenyum lebar. Ada dua orang pria di sana memancing berjauhan dengan yang lain. "Gimana bang, sudah dapat banyak ikan?" tanya Riko berbasa-basi.
"Kau Riko, teman Alex?" tanyanya.
"Benar bang," jawab Riko.
"Oh." Dia tersenyum. "Ada umpan bagus tidak?"
"Ada Bang, harga agak mahal. Mau bang?" jawab Riko.
"Boleh."
"TF sama Bang Alex saja nanti Bang, aku mah uang rokok aja cukup," balas Riko tersenyum.
"Hahahaha. Bagus. Mana umpannya?"
Riko memberikan umpan ikan. "Ini telur serangga baru Bang, yang di bawah, sudah aku bungkus dengan baik telur serangga-serangganya untuk besok." Riko memamerkan di atas benar-benar telur semut untuk umpan, tapi di bawahnya, jelas bukan telur semut.
Pria itu segera mengambil dan tersenyum, menyimpan ke dalam tas umpan ikan.
"Hahah. Bagus. Ini bukti TF nya ya. Tanya aja langsung ke Bang Alex."
Riko segera mengirim pesan dan mendapatkan balasan cepat dari Alex. "Hahaha, oke bang, deal."
"Ini rokok dan uang rokok, aku beli makan dulu!" Pria itu bersama temannya segera pergi setelah memberikan dua lembar uang seratus dan sebungkus rokok.
"Makasih Bang."
"Kalian lihat? Mudahkan dapat uang dan makanan." Riko tersenyum lebar melihat kedua temannya. "Kita mancing dulu sebentar!" Mereka bertiga pun memancing dulu sebentar.
"Gimana? Kalian tertarik?" Riko kembali bertanya pada Rudi dan Herman. "Lu pulang dulu deh Herman, bawa semua ikan ini untuk ibu dan adikmu, terus ketemu di tempat biasa!" Riko menyerahkan semua ikan yang mereka dapatkan saat memancing beberapa saat tadi.
Herman menerima ikan itu. Lalu, segera pulang.
"Bu," panggilnya. Dia melihat wajah sang ibu kembali lebam. "Ibu dipukul bapak lagi?" tanya Herman.
"Gak apa-apa Nak. Kamu dari mana? Sudah makan? Jangan pakai obat-obatan terlarang lagi Nak." Ibunya menasehati.
"Aku sudah makan Bu. Ini ikan, masaklah, kasihan adik-adik cuma makan sama cabe tok dan garam. Ikan ini aku pancing bersama teman-teman di sungai larangan tadi, sungai di desa sebelah buka larangan. Ibu jangan khawatir, ini bukan ikan curian." Herman menjelaskan saat sang ibu diam saja menatap ikan-ikan yang dia bawa.
Herman setelah itu masuk ke dalam kamar, mandi dan mengganti pakaian. "Aku pergi dulu Bu, kali aja ada pekerjaan untukku."
Ibunya Herman hanya bisa menatap punggung anaknya. Suami seorang pecandu judi dan pemabuk, suka kdrt, sementara anak pertama laki-lakinya juga salah pergaulan. Pernah dulu beberapa tahun lalu, dia meminta cerai bahkan kabur pulang, tapi keluarganya tidak menerimanya, sehingga kembali hidup bersama suaminya dengan janji akan berubah, tapi tak ada perubahan sama sekali.
Rudi dan Riko sudah sampai, kini sedang menunggu Herman.
"Kok lu lama Man?" tanya Rudi saat Herman baru sampai.
"Tadi sedikit telat karena ada sesuatu," jawab Herman.
"Ayo, ayo cepat ke atas, naik. Bang Alex udah santai tuh, kalo kalian mau uang dan barang, ayo!" ajak Riko.
Alex menatap Rudi dan Herman. "Kalian benar ingin mengedarnya?" Alex bertanya.
"Iya, Bang. Asal dapat barang dan uang, kami siap," jawab Rudi, sementara Herman hanya mengangguk, dia sedikit ragu, apalagi setelah melihat wajah ibunya tadi.
"Baiklah. Kalian harus jaga diri dan barang baik-baik. Jika kalian tertangkap, kalian harus tutup mulut rapat-rapat. Mending kalian ditangkap polisi dari pada ditangkap masyarakat, kalian paham!" Alex menatap dua orang itu.
"Untuk percobaan, kalian bisa coba Minggu depan ikut, di acara pesta pernikahan rumah Bu Sinta, malam harinya ada acara orgen tunggal. Jam 11 malam waktunya di mulai. Kalian berdua paham? Kau ajarkan mereka dengan baik, Riko!"
"Iya, Bang."
Umur Hanin sudah setahunan, gadis itu tumbuh menjadi balita cantik, tubuh sehat, gembul dan menggemaskan. Rambut balita itu ikal berwarna pirang, kulitnya putih bersih.
"Blublu!" Hanin bermain-main saat menyusu pada Khanza.
"Udah kenyang ya?" tanya Khanza lalu menyimpan ASI menutup kancing baju dan menurunkan hijab panjangnya.
"Mau main?" Khanza memasukkan anaknya ke box besar, di dalam ada mainan bola-bola.
Hanin duduk dan bermain bola. "Blabla." Dia mengigit bola itu.
"*Assalamualaikum*." Terdengar salam dari daun pintu toko.
"*Wa'alaikumsalam*. Eh, ibu. Masuk Bu," jawab Khanza.
"Ibu bawa sedikit cemilan ini, cicipilah Nak. Tadi juga ibu tinggal diluar satu kotak, semoga kalian suka," ujar Khadijah.
"Hanin." Ijah langsung menyapa cucunya.
"Blablu hahaha!" Balita kecil itu langsung berdiri, berpegangan kuat di pagar box besar, tertawa dan antusias menyambut sang nenek.
"Ini ondeh-ondeh isi kacang ijo, Bu?" tanya Ijah.
"Iya, Nak. Khusus buat kamu, buat di luar, buat karyawan kamu isi di dalamnya gula merah," balas Bu Ijah.
"Oh, enak Bu. Makasih," ucap Khanza. "Ibu, ayo cicipi juga," tawar Khanza.
"Iya, Ibu nanti aja."
"Blabla!" Hanin tertawa senang, sambil mengguncang pagar box kuat.
Brak!
"Hanin!" Khanza dan Bu Ijah terkejut, karena Hanin terjatuh, pagar box itu rusak.