Terkejut. Itulah yang dialami oleh gadis cantik nan jelita saat mengetahui jika dia bukan lagi berada di kamarnya. Bahkan sampai saat ini dia masih ingat, jika semalam dia tidur di kamarnya. Namun apa yang terjadi? Kedua matanya membulat sempurna saat dia terbangun di ruangan lain dengan gaun pengantin yang sudah melekat pada tubuh mungilnya.
Di culik?
Atau
Mimpi?
Yang dia cemaskan adalah dia merasakan sakit saat mencubit pipinya, memberitahukan jika saat ini dia tidak sedang bermimpi. Ini nyata!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ana_nanresje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4_Berusaha Menepati Janji
Ramon melihat kearah jam tangannya, sebentar lagi waktunya makan siang dan dia sudah berjanji pada Aya akan menemani wanita itu untuk pergi ke makam Azka. Dia menutup laptopnya lalu sedikit mengendurkan dasi yang melilit lehernya. Dengan auranya yang dingin karismatik seorang Caramondy memang tidak ada bandingannya.
Dengan jas yang sengaja dia tinggalkan, kedua kancing bagian atasnya dia biarkan terbuka dan dasi yang sedari tadi menghias dilehernya kini sudah terlepas entah kemana " Joel saya akan pulang lebih awal. Hubungi saya jika urgent."
" Baik pak." Ramon hanya menganggukkan kepalanya saat Joel sekretarisnya itu memberikan hormat padanya dengan cara sedikit membungkukkan tubuhnya. Dia mulai pergi meninggalkan ruangannya memasuki lift untuk segera turun kelantai dasar.
Ketika lift itu terbuka, Ramon dapat melihat Zain dan Mian yang sudah menunggunya di lobi. Kedua pria itu masih memakai pakaian Formal seperti dirinya " ada apa denganmu?" Ramon menaikkan sebelah alisnya, tidak mengerti maksud pertanyaan yang terlontar dari mulut Zain.
" Kenapa kau semakin seksi? Oh Got, karismamu semakin terpancar setelah menikah!"
" Tutup mulutmu Zain sebelum Ramon mengoyak mulutmu," Ujar Mian memperingati " Kenapa kau berpenampilan seperti ini? Ini bukan waktunya pulang bukan?"
Ramon mengangguk " Ini memang bukan waktunya jam pulang. Tapi apa kalian lupa, jika aku adalah pemilik perusahaan ini. So? Siapa yang melarangku pulang lebih awal dari yang lainnya huh?" Mian memutar bola matanya jengah. Dasar sombong! Tapi itu kenyataannya, Ramon menyombongkan hasil jerih payahnya dan real adanya. Jadi apa permasalahannya? Dia tidak mengada ngada.
" Ck. Aku hanya heran saja, tumben kau berpenampilan seperti ini saat masih di kantor. Bukan kah image mu terlalu tinggi untuk selalu berpenampilan rapi?"
" Come on. Apakah ini waktunya untuk berdebat?" Kesal Ramon pada kedua sahabatnya itu " Cepatlah aku tidak memiliki banyak waktu!" Pria itu berlalu meninggalkan Zain dan Mian. Setelahnya dia segera memasuki mobil yang sudah disiapkan sebelumnya.
" Bagaimana dengan istriku?"
" Nona sudah berangkat dari mansion Tuan. Daniel yang menjemput Nona." Ramon mengangguk lalu menyuruh Kaitle untuk segera menjalankan mobilnya.
Zain dan Mian mereka berdua pun segera masuk ke dalam mobil masing masing, lalu mengikuti mobil Ramon dari belakang. Masih ada dua mobil hitam lainnya yang mengikuti mereka dan mobil itu milik bodyguard Ramon.
Setelah menempuh perjalanan hampir setengah jam akhirnya Ramon, Zain dan Mian sampai ditempat tujuan mereka. Ketiganya mengesah pelan lalu berjalan beriringan mengarah pada jalan setapak.
" Tuan," Daniel menyapa Ramon dengan sedikit membungkukkan tubuhnya. Pria itu masih seumuran dengannya namun mengabdikan hidupnya untuk Ramon.
" Dimana Dia?"
" Mari saya antar Tuan," Daniel berjalan di depan di ikuti Ramon dan yang lainnya. Terlihat seorang wanita yang tengah menyembunyikan wajahnya. Bahunya terlihat bergetar dan mereka yakin saat ini Aya tengah menangis di hadapan makam kakaknya Azka.
" Sudah berapa lama?" Tanya Zain.
" Hampir dua jam Tuan." Mata Zain dan Mian hampir keluar dari tempatnya setelah mendengar penuturan dari Daniel supir pribadi Aya.
Ramon kembali mengesah panjang lalu melipat kemeja bagian lengannya sebatas siku. Dia ikut berjongkok disamping Aya lalu menarik wanita itu kedalam pelukannya " Seperti janjiku padamu Azka, aku akan melindungi adikmu bahkan dengan nyawaku sendiri. Kau bisa memegang ucapanku!"
Aya tak lagi bisa berkata apa-apa. Hatinya kini sedang terluka saat melihat nama kakaknya tertulis dengan jelas di batu nisan itu. Kenangan demi kenangan yang telah mereka ukir mulai berputar secara otomatis dikepala Aya. Dan dadanya semakin sesak karena dia merasa belum menjadi adik yang baik untuknya.
" Azka akan sedih jika melihatmu seperti ini. Jangan lagi kamu menjatuhkan air matamu saat berhadapan dengannya." Aya mengutuk Ramon. Bisa bisanya pria itu berkata seperti itu disaat Aya tengah berduka. Bukankah ini manusiawi? Setidaknya biarkan Aya menangis untuk menumpahkan kesedihannya. Menyemangati namun menusuk. Ucapan suaminya itu memanglah sangat pedas dan tajam.
" Sebulan yang lalu dia masih disini bersama kita. Tapi sekarang, rasanya ini sangat berat." Ujar Mian ikut berjongkok berseberangan dengan Ramon dan Aya.
" Raganya memang sudah tidak bersama kita lagi. Tapi jiwanya selalu hidup bersama kita," Ucap Zain " Dia tidak pernah meninggalkan kita!"
" Kaitle kau boleh pergi bersama yang lainnya. Biar aku yang mengemudi."
" Baik Tuan!" Kaitel pamit pergi disusul bodyguard lainnya yang juga meninggalkan mereka.
" Kita mau kemana?" Tanya Zain setelah kembali dari pemakaman. Aya sudah masuk kedalam mobil, wanita itu lebih banyak diam dan belum membuka suara.
" Aya belum makan, kita cari restoran dulu."
" Kenapa tidak langsung pulang saja?" Tanya Zain mengusulkan.
" Benar. Dia akan lebih tenang makan di mansion yang damai daripada di restoran yang ramai." Ucap Mian menimpali.
" Justru itu. Aku ingin mengalihkan perhatiannya. Aku berharap kondisinya lebih membaik daripada berdiam diri di mansion yang sepi dan itu akan membuat dia semakin larut dalam kesedihan!"
" Tapi kau lupa, tidak semua orang akan bahagia berada di keramaian. Hatinya tetap sepi meskipun dalam keramaian!" Zain mendapatkan satu pukulan dari Mian. Pria itu mendengus, kesal letak kesalahannya dimana " Setidaknya kita sudah berusaha menghiburnya bodoh!" Tukas Mian tak habis pikir.
" Ck. Aya bukan anak kecil yang bisa dengan mudah kau bujuk. Ini menyangkut hatinya. Dia masih berduka, jadi menurutku biarkan saja dia menikmati kesedihan nya ini."
" Aisss. Sudahlah aku malas berdebat denganmu!" Mian dan Ramon pergi meninggalkan Zain begitu saja. Lagi dan lagi Zain hanya bisa mengesah lalu mengekori mereka dari belakang. Suaranya tidak pernah didengarkan oleh mereka, selalu masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.
Ramon mulai mengemudikan mobilnya dengan Aya yang duduk disamping kemudi. Wanita itu terlihat memprihatinkan dengan mata yang sembab dan hidung yang memerah, bukan itu saja bahkan tatapan matanya kosong. Sepertinya pemandangan diluar lebih menarik dari pada dengan wajah Ramon. Aya masih saja menatap keluar jendela melihat pemandangan yang sebenarnya tidak menarik.
" Kita akan mampir dulu ke resto untuk makan siang. Kamu ingin makan sesuatu?" Aya menggelengkan kepalanya, namun matanya masih terfokus kearah luar jendela.
" Tapi perutmu kosong, kamu bisa sakit dan itu akan merepotkan ku."
Hening tidak ada jawaban yang Aya berikan untuk Ramon " Kamu mendengarkan saya kan?" Ramon menghentikan mobilnya secara mendadak saat kesabarannya mulai menipis dan itu membuat kepala Aya terbentur karena tidak memakai sabuk pengan dengan baik.
Aya memejamkan matanya, tangannya memegangi keningnya yang terbentur tadi. Ramon menyadari kesalahannya, saat tangan lebar itu ingin menyentuh kening Aya terlebih dulu wanita itu menatapnya.
" Jangan menyentuhku!" Datar namun penuh penekanan. Tatapan matanya pun berubah 180°, membuat Ramon terkejut karena ekspresi Aya yang bisa berubah seketika. Lebih tajam dan menghunus, tatapan Aya sejenak mampu membuat Ramon tak berkutik. Entahlah, mungkin karena dia merasa bersalah pada gadis itu.
" Pulang!" Dengan mata yang terpejam Aya memerintahkan Ramon untuk membawanya pulang. Pria itu tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Mungkin yang dikatakan Zain benar, meskipun di keramaian dia akan tetap kesepian.
Tapi Ramon berjanji, dalam waktu dekat dia harus bisa membuat Aya bangkit dari keterpurukannya. Dia sudah berjanji akan membuat wanita itu terus tersenyum pada Azka dan dia harus menepatinya.
Aya tertidur saat mereka sampai di mansion. Bekas air mata meninggalkan jejak diwajah cantiknya. Terlihat damai dan tenang Ramon tak sadar memperhatikan wanita itu yang tengah tertidur. Dari bulu mata, hidung, bibir dan setiap inci wajah Aya Ramon tidak melewatkannya barang seinci pun. Ternyata Aya terlihat lebih cantik berkali kali lipat saat tidur seperti ini.
Matanya melirik pada luka yang mulai membiru di kening Aya. Ramon ingin menyentuh namun perkataan Aya saat melarangnya untuk menyentuhnya masih terekam jelas di ingatannya.
" Maaf. Saya tidak bermaksud untuk membuatmu terluka." Ucapnya pelan lalu menggendong Aya untuk dia pindahkan ke kamarnya.