KONTEN INI AREA DEWASA‼️
Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GTTS chapter 4
Keesokan harinya, Risa mengenakan pakaian terbaiknya, memulas lipstik merah menyala, dan mencari tahu lokasi Sergio, si klien kamar 308 A, di salah satu lounge pribadi.
Sergio terbangun dengan kepala berdenyut dan ingatan yang kabur. Ia ingat alkohol, rasa gatal yang aneh di tubuhnya, dan bayangan samar seorang wanita yang ia cengkeram erat. Ia tidak bisa mengingat wajah, hanya rasa bersalah yang kabur. Ia merasa telah melakukan perbuatan yang sangat tercela.
Saat Risa menghampirinya, Sergio mengangkat alisnya, tidak mengenali wanita itu.
"Tuan Sergio," kata Risa, suaranya tenang, namun penuh intonasi kesedihan yang dibuat-buat. "Nama saya Risa. Saya adalah staf pelayan yang bertugas di lantai ini. Dan sayalah ... wanita yang bersama anda tadi malam."
Sergio terkejut. Ia menatap Risa, wanita yang lebih tinggi dan lebih tebal daripada bayangan samar yang ia ingat. Ia berusaha mengingat, tapi otaknya menolak. Obat perangsang dan alkohol telah bekerja terlalu efektif, mencabut ingatannya dari waktu kejadian yang krusial.
"Maafkan saya," ujar Sergio, suaranya serak karena rasa jijik pada dirinya sendiri. "Saya... Saya benar-benar tidak ingat apa pun. Saya tidak sadar... Saya sungguh di luar kendali tadi malam."
Risa menghela napas dramatis, membiarkan matanya sedikit berkaca-kaca. "Saya tahu, Tuan. Saya mengerti Anda mabuk. Tapi Anda juga harus mengerti posisi saya. Ini adalah aib besar bagi saya, dan itu pengalaman pertama saya," Risa berhenti sejenak, menatapnya dengan pandangan 'terluka'. "Saya tidak mungkin melapor ke manajemen karena itu akan menghancurkan karir saya. Tapi... saya butuh kompensasi untuk menutupi rasa malu yang mendalam dan trauma yang akan saya bawa seumur hidup."
Sergio tidak tahu mengapa ia merasa bersalah pada wanita di hadapannya. Namun, ia telah merusak seseorang, dan ia harus membayarnya. Ini adalah satu-satunya cara membersihkan namanya, menjaga pernikahan dan bisnisnya.
"Berapa yang kamu inginkan?" tanya Sergio, suaranya dingin dan lelah. Ia hanya ingin masalah ini selesai.
"Saya... saya hanya ingin sedikit jaminan. Jaminan untuk masa depan saya yang hancur, Tuan. Lima ratus juta rupiah," Risa menyebut angka itu dengan tenang, tanpa berkedip. "Dan, ini rahasia di antara kita. Saya tidak akan melibatkan staf lain. Saya jamin."
Sergio tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya mengambil buku ceknya. Ia menuliskan angka itu, membeli kebisuan yang ia harap abadi.
Risa menerima cek itu, senyum kemenangan yang keji tidak bisa disembunyikan di balik rona sedih palsunya. Dia berhasil.
Sementara itu, di lorong staf, Nara yang mencoba menjalani harinya seolah tidak terjadi apa-apa, tidak pernah tahu bahwa aib yang ia simpan rapat-rapat telah dibanderol dengan harga setengah miliar oleh orang yang mengaku sebagai sahabatnya. Dan ia tidak pernah tahu bahwa mantan kekasihnya, Sergio, tidak hanya terjerat dalam jebakan yang sama, tapi juga menanggung rasa bersalah atas perbuatan yang ia yakini telah ia lakukan pada orang yang salah.
Pusaran aib itu baru saja dimulai, menarik Nara dan Sergio kembali ke dalam gelombang takdir yang penuh pengkhianatan dan intrik.
...----------------...
Sudah tiga hari berlalu sejak Sergio menyerahkan cek bernilai lima ratus juta rupiah kepada Risa.
Tiga hari yang seharusnya memberinya ketenangan, namun justru menambah gelisah di dadanya.
Ia duduk di ruang kerja kapal pesiar itu, memandangi lautan luas di balik kaca besar. Gelombang berdebur lembut, tapi pikirannya kacau.
Setiap kali menutup mata, bayangan wanita itu muncul lagi. bukan bayangan Risa, melainkan sosok yang berbeda.
Tatapan mata itu. Bukan mata yang mencari kompensasi, tapi mata yang hancur.
Bahu yang bergetar... lebih kecil, lebih kurus.
Bahkan aroma tubuhnya terasa begitu... familiar.
Sergio mencoba memaksakan logika: "Sudah selesai. Kau bayar, mereka diam. Tidak ada yang tahu. Ini adalah solusi bisnis."
Tapi batinnya memberontak. "Bau Syringa."
Ia berdiri di depan jendela kapal, menatap laut hitam yang luas. Bayangan malam itu kembali, kini jauh lebih detail, tak lagi buram karena zat.
Wanita itu...
Ia mengingat sentuhan kulit yang lembut di bawah cengkeraman tangannya yang kasar. Ia ingat bau syringa yang dulu dibencinya karena mengingatkannya pada masa lalu, tapi kini aroma itu kembali menghantui. Ia ingat bagaimana ia memaksa bibir itu terbuka dan ada rasa manis yang familier, rasa mint ringan yang dulu selalu ia cium... pada orang tertentu.
Lalu, teriakan itu. Bukan sekadar jeritan acak ketakutan.
"Sergio ... Hentikan!"
"Tolong berhenti... sakit, Sergio!"
Nama itu. Namanya, diucapkan di antara isak tangis dan keputusasaan. Diucapkan dengan nada yang sama persis saat mereka dulu bertengkar, meminta ia berhenti dari kebiasaan buruknya. Nada yang sama, kini diucapkan dalam konteks yang jauh lebih mengerikan.
Mustahil.
"Bukan Risa…" gumamnya pelan. "Tidak mungkin dia."
Sergio berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir. Ada sesuatu yang tidak bisa diterimanya. Malam itu terlalu nyata untuk dilupakan, tapi juga terlalu aneh untuk dimengerti. Dan satu hal yang membuatnya yakin: Risa tidak menunjukkan satu pun tanda di tubuhnya padahal ia tahu, di malam itu ia sempat kehilangan kendali.
Ia menggenggam tangannya sendiri, mengingat kembali caranya menahan, mencengkeram, memaksa wanita itu diam dalam ketakutannya.
Namun pagi tadi, Risa datang dengan wajah bersih, leher tanpa luka, dan senyum yang terlalu tenang.
Sergio merasakan amarah dan kebingungan bercampur jadi satu.
"Apa yang sebenarnya terjadi malam itu? Siapa wanita itu? Aku harus tahu!" Sergio menekan pelipis. "Kalau ini benar … kalau malam itu dia… aku harus menemukannya. Aku harus tahu kebenaran."
ada aja kelakuan bapak ini gmesss🤭