Sri dan Karmin, sepasang suami istri yang memiliki hutang banyak sekali. Mereka menggantungkan seluruh pemasukannya dari dagangan bakso yang selalu menjadi kawan mereka dalam mengais rezeki.
Karmin yang sudah gelap mata, dia akhirnya mengajak istrinya untuk mendatangi seorang dukun. Lalu, dukun itu menyarankan supaya mereka meletakkan celana dalam di dalam dandang yang berisikan kaldu bakso.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENEMUKAN UANG KARMIN
"Gendeng! Jadi kamu memasukkan kolor ke dalam kuah baksomu?" Mata Tumi membeliak lebar, begitu pun dengan bibirnya yang menganga secara otomatis di luar kesadarannya.
Membayangkan bakso kesukaannya ternyata bercampur dengan celana dalam, membuat insting alaminya berontak. Tumi merasa perutnya mulai protes.
Sri mengangguk pias. "Maaf, Tum. Maaf banget. Maaf jika kamu pernah makan kuah kolor."
CEP CEP CEP.
Tumi mengecep ludahnya berulang kali, lalu bibirnya mencebik miring. Sejenak ia membayangkan betapa nikmatnya bakso buatan Sri itu. Kuahnya benar-benar ngaldu dan gurih tak terkira. Belum lagi tambahan tetelan gajih sapi yang mengambang di atas kuah dan menggenang di tepian mangkok. Menambah kesan lezat tiada tiada tara.
"Tapi aku selalu mengambilkan kuah dari dalam kalau kamu atau emakmu membeli bakso. Kurang tau kalau kamu belinya saat Mas Karmin yang jaga. Iitu artinya, pasti kamu juga makan kuah kolor itu," sambung wanita gemuk itu.
Lagi, Tumi hanya mengecap ludahnya dengan perasaan nano-nano. Dia berkedip-kedip berulang kali untuk mengingat berapa kali dirinya membeli bakso saat Karmin yang stay di warung.
"Koyoke aku beli ke Karmin itu cuma beberapa kali deh. Sekali, dua kali, tiga kali, wow ...! Aku wes makan kuah kolor berulang kali, hahahaha. Jancok tenan kalian itu!" Tumi tergelak. Ia usah perutnya berulangkali kali dengan tawa kuda andalannya.
"Maaf, Tum." Sri tertunduk.
"Yo wes lah, anggap saja itu minum pitamin, hahaha. Pitamin K, pitamin kolor!" Tumi masih terkekeh-kekeh.
"Pitamin K, Kampes!"
[Kampes ; Sempak, celana dalam]
"Aduh Biyung ... aku sudah minum air perasan semvak yang pastinya sudah menjadi bakteri baik di dalam ususku sana. Ini pasti memiliki khasiat yang sangat tinggi, bahkan mungkin mampu mengalahkan sejenis minuman fermentasi bikinan Jepang, hahaha. Cintai ususmu, minum perasan kolor tiap hari!" Sahabat Sri itu tergelak lepas.
"Jancuk kamu, Tum! Malah ngakak!" Sri mendengkus panjang. Malu bercampur rasa bersalah telah menyelimuti pikiran wanita gemuk itu. Apalagi Tumi adalah sahabatnya.
"Sumpah ini bengek, Sri. Konon, kaldu kolor juga bisa menjadi jamu tolak ayan, hahaha." Tumi terus tergelak seraya memegangi perutnya.
"Wes guyuo, sampek wetengmu kaku." Sri mendengkus heran. Dia mengira Tumi akan marah, namun nyatanya, sahabatnya itu malah tergelak hingga cekikikan.
[Tertawalah sampai perutmu kaku!]
"Kamu tidak marah, Tum?" Wanita gemuk itu mencebik.
"Kalau pun marah ya percuma, Sri. Lha wong kaldu kolormu itu sudah merasuk ke dalam perutku dan sudah keluar bersama dengan air kencing, wekeke. Mungkin, mungkin lho yah. Hawa kolornya masih melekat di dalam darahku, hahaha." Tumi tertawa lagi.
"Halah emboh, Tum. Kowe edan."
"Kowe sing edan, Sri. Mau-maunya kamu pakai penglarisan kolor. Yap gak apa-apa lah yaw, toh baksomu belakangan ini memang rame puwol! Kolor pembawa kelarisan dan kekayaaan. Jos gandos kotos-kotos!" Tumi mengacungkan jempolnya ke hadapan sahabatnya itu.
"Josh gandos apanya? Gara-gara kolor itu, suamiku menyuruhku melayani dukun langganannya." Sri memelankan suara, dia berucap lirih di depan wajah Tumi.
Tumi mendelik lebar. "Maksumu opo, Sri? Kamu melayani dukun itu? Kalian main anu-anu? Saling anu? Apakah kamu dan dukun itu—"
"Ya. Aku melayani dukun itu layaknya suami istri. Kami berhubungan badan setiap Kamis Legi atau Kamis kliwon. Sejauh ini, aku sudah dua kali melakukan hubungan intim dengan dukun tua itu." Wajah Sri memerah, menahan malu di depan kawannya.
CLEGUK.
Tumi menelan ludahnya dengan susah payah. "Kamu serius, kan?"
"Iya, Tum. Aku serius. Tapi aku tidak tahu kalau pria yang menjamah diriku itu adalah Mbah Samijan. Aku kira ya itu adalah Mas Karmin. Karena suamiku mengatakan kalau itu adalah dirinya."
"Wah! Pelanggaran tuh! Karmin membodohi dirimu, Sri!" Tumi mendengkus.
"Iya, Tum. Aku juga baru tahu beberapa waktu yang lalu, ketika suamiku mengobrol dengan Marsam, dia menceritakan semuanya. Ternyata suamiku memanfaatkan tubuhku. Aku seperti dijadikan tumbal. Benar gak sih?" Wanita gemuk itu berucap lirih.
"Benar. Kamu dijadikan umpan untuk memancing cuan! Kamu yang ngangkang, Karmin yang senang. Uangnya melimpah, dan dia bisa mencari wanita di luaran sana. Karmin menang banyak. Kamu tekor bandar!" Mulut Tumi terus menyerocos tanpa jeda.
"Benar kamu, Tum. Aku yang ngangkang, Mas Karmin yang senang." Sri kembali tertunduk. Rasa marah dan sedih telah menyergap hatinya hingga dadanya terasa sesak.
"Wes ojo melow, sekarang berceritalah dengan santai. Agar dadamu plong." Sahabat Sri itu menepuk pundak Sri dengan senyum terkulum.
Dengan terbata-bata diselingi sedikit isak tangis, Sri mulai bercerita kepada Tumi tentang sekelumit kisah hidupnya yang tengah dimanfaatkan oleh sang suami. Rasa kecewa dan sakit hati yang benar-benar membunuh akal sehatnya telah membuncah. Apalagi saat Sri mendengar dari mulut Karmin sendiri saat sang suami tengah nongkrong dengan Marsam. Sri semakin sakit hati jika mengingat Karmin begitu santai saat melihat istrinya dihagagahi pria lain.
Sri merasa terbuang.
Tumi menyimak dengan seksama, lalu ia menarik napas panjang sejenak. "Karmin benar-benar bangsat! Seorang suami ternyata tega membiarkan istrinya digerayangi oleh pria lain asalkan dia mendapatkan cuan? Fuuuuhh!" dengusnya.
"Entahlah, Tum." Sri pun mendesah lelah.
"Baiklah, sekarang berhentilah menangis! Kuatkan hatimu! Ayo ... sekarang rencanamu apa? Aku akan membantu sebisaku," timpal Tumi dengan tegas.
Sri mendongak. Diusapnya air mata sialan yang menetes di pipinya. Dia sudah bertekad bulat, bahwa dia harus kuat untuk melawan dan membalas dendam.
"Pertama ... aku akan mencari harta yang disembunyikan oleh suamiku terlebih dulu. Lalu aku akan meninggalkan dia."
"Nah, pinter!" Tumi terkekeh.
"Apakah ini ada kaitannya dengan kunci yang tadi aku gandakan?"
"Yups."
"Ya udah, lanjutkan. Katakan aku harus membantu dari mana?"
"Kamu di sini saja ya, Tum. Tolong jaga warung selama aku melakukan aksiku di belakang, hehehe. Kamu harus sigap memberi kode kalau Mas Karmin datang."
"Okeehh." Tumi mengangguk pasti.
Sri pun meninggalkan sahabatnya itu setelah berbicara panjang lebar dan menyusun rencana ke depannya. Air mata Sri telah mengering. Dia tidak akan larut dalam kesedihan berkepanjangan.
Sri bangkit dan menjadi lebih gesit.
Wanita gemuk itu menuju ke belakangan rumahnya, di mana ada kandang ayam yang bersebelahan dengan gudang yang sudah lama tak pernah dibuka. Sri awalnya tak pernah mengira kalau gudang kosong itu akan dimanfaatkan oleh Karmin untuk menyimpan hartanya. Namun, setelah wanita itu melihat kunci kuno yang terjuntai di saku jaket kulit di dalam lemari pribadi suaminya, Sri langsung mengenali bahwa kunci ini memiliki keistimewaan.
Untung Sri pintar dan cepat tanggap. Dia menyambar kunci kuno itu begitu ekor matanya menemukan sesuatu yang janggal.
KRIEEETT.
Wanita itu membuka pintu gudang yang nampak sudah sangat tua dan berderit saat dibuka. Begitu pintu terbuka, Sri disambut oleh pengapnya gudang yang biasanya digunakan untuk menyimpan barang rusak yang masih dicintai oleh Karmin. Bangkai sepeda kayuh pun ada di sana. Bangkai televisi tabung 14 inch juga nampak nangkring di atas tumpukan sisa-sisa ubin yang tak terpakai.
"Astaga ... kenapa mirip gudang rongsokan?" Wanita gemuk itu mendengkus sebal.
Sri menggeleng heran saat melihat sisa-sisa semen yang bertumpuk hingga menggunung. Itu adalah sisa-sisa bahan bangunan setelah mereka merenovasi rumahnya beberapa waktu yang lalu.
Kening Sri mengkerut saat ia memperhatikan karung-karung semen itu. Ada yang menggelitik pikirannya yang saat ini selalu ekstra peka.
"Apa iya semennya masih bersisa sebanyak ini? Perasaan waktu itu cuma sisa satu setengah sag? Katanya mau dipakai untuk memperbaiki pagar di depan warung, entah kapan. Hufft!" Lagi, Sri mendengkus panjang seraya mengusap keringat di keningnya.
"Karung ini isi apa ya?" gumamnya seraya menendang-nendang sag berwarna putih yang ditata sejajar dengan sag semen.
DUGH DUGH DUGH.
Sri menendang karung-karung itu, lalu tangannya meraba, memastikan apakah gerangan yang Karmin timbun hingga berkarung-karung.
"Opo Iki, Rek? Kok bunyi kresek-kresek?" dengusnya saat mendengar bunyi kresek ketika karung itu diraba kasar.
Sri segera menarik ujung sebuah karung yang diikat dengan begitu rapat. Dia melepas ikatan tali rafia yang menguncir kerung sag itu. Karung pun terbuka.
"Opo seh iki? Masak iya Mas Karmin menyimpan pasir di dalam karung? Gak ada kerjaan banget sih? Buang-buang—"
Ucapan Sri tertelan kembali. Dia menelan saliva dengan mata mendelik lebar. Mulutnya terbuka seketika hingga membentuk huruf O. Dia hampir tak percaya saat mendapati uang di dalam karung itu. Tumpukan uang berwarna merah muda dan biru tertata rapi dan tersimpan di dalam kresek, kemudian kresek itu tersimpan rapat di dalam karung bekas semen.
"Iki duwit, Cuk!" Sri terperangah. Maniknya masih menyorot lekat.
Dia segera membuka dua sag semen di sebelah sag pertama. Dan lagi ... Sri mendapati tumpukan uang seperti di dalam sag sebelumnya. Sri hampir tidak memercayai apa yang ia lihat. Ini seperti mimpi.
"Waaaaw! Jadi dia menyembunyikan uangnya di sini?" Sri mengambil segepok uang kertas itu dan memastikan.
"Iya, Cuk. Ini uang asli. Gila! Mas Karmin telah bermain halus di belakangku." Lagi lagi Sri mendengkus heran.
"Apakah ini uang dari hasil jualan bakso?"