Di masa depan, kota futuristik Neo-Seraya mengandalkan sebuah algoritma canggih bernama CupidCore untuk menentukan pasangan romantis setiap orang. Dengan skor kompatibilitas hampir sempurna, sistem ini dipercaya sebagai solusi akhir bagi kegagalan hubungan.
Rania Elvara, ilmuwan jenius yang ikut mengembangkan CupidCore, selalu percaya bahwa logika dan data bisa memprediksi kebahagiaan. Namun, setelah bertemu Adrian Kael, seorang seniman jalanan yang menolak tunduk pada sistem, keyakinannya mulai goyah. Pertemuan mereka memicu pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh angka: bisakah cinta sejati benar-benar dihitung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 27
Mereka mencapai pintu terakhir: baja tebal dengan logo Dewan Kota. Tidak ada panel biasa—hanya pemindai biometrik dan slot kunci ganda.
Milo mengerutkan kening. “Ini bukan sistem standar. Mereka menambah lapisan keamanan.”
Adrian memberi aba-aba untuk menunggu. “Bisa diakali?”
Milo mengeluarkan perangkat pemindai sinyal. “Butuh sidik jari yang sudah teregistrasi. Tapi aku bisa spoof sinyal kalau ada waktu.”
Kai menatap jam di pergelangannya. “Patroli mungkin sudah memotong jarak. Kita tidak punya banyak waktu.”
Darius mengeluarkan satu kartu sidik jari palsu yang pernah ia curi dari pos Dewan.
“Coba ini.”
Milo memasukkan kartu itu ke dalam perangkatnya, lalu menempelkannya ke pemindai. Lampu hijau menyala sebentar, lalu mati kembali.
“Tidak cukup. Mereka sudah memperbarui sistem.”
Rania menghela napas. “Kalau kita gagal di sini, semua usaha kita sia-sia.”
Yara menatap pintu lalu berbalik ke Milo. “Berapa lama butuh untuk spoof sinyal?”
Milo menjawab cepat, “Tiga puluh detik. Tapi kita butuh pengalih.”
Adrian memberi instruksi. “Darius dan Kai, kembali ke lorong atas, pasang perangkap suara. Buat mereka percaya kita mengambil jalur lain.”
Mereka berdua berlari ke atas, menaruh perangkat kecil yang memutar rekaman langkah-langkah. Suara itu akan memantul di lorong, menarik patroli menjauh.
Sementara itu, Milo bekerja cepat, mengutak-atik perangkatnya. Rania dan Yara berjaga di sisi pintu, senjata terarah ke tangga. Adrian berdiri tepat di belakang Milo, memantau waktu.
Terdengar suara patroli dari atas tangga: langkah-langkah cepat dan percakapan tergesa. Perangkap suara mulai berbunyi, memancing sebagian patroli ke arah lain. Namun, satu regu tetap mendekat.
Milo menekan tombol terakhir. Pemindai biometrik berbunyi bip panjang dan lampu hijau menyala penuh. Pintu baja perlahan terbuka.
“Berhasil!”
Adrian segera memberi aba-aba. “Masuk! Sekarang!”
Mereka semua melompat masuk ke balik pintu. Milo menutup dan mengunci ulang sistem secepatnya. Suara patroli berhenti di sisi lain, terhalang pintu tebal.
Ruangan di balik pintu adalah lorong pendek menuju ruang transit Delta. Di ujung lorong, cahaya putih terang memancar dari lift industri besar. Suasana di sini lebih bersih dan modern dibanding terowongan sebelumnya.
Yara menarik napas panjang. “Kita berhasil sejauh ini.”
Darius menepuk bahunya. “Tapi ini baru awal. Delta pasti dijaga ketat.”
Rania melihat ke lift. “Sekali kita turun, tidak ada lagi kesempatan mundur.”
Adrian memandang semua anggota tim. “Ini titik balik. Kita teruskan sampai akhir, atau semuanya akan sia-sia.”
Mereka semua mengangguk tanpa berkata. Milo menekan tombol lift. Suara mesin berat terdengar saat pintu terbuka, menunggu mereka.
Mereka masuk ke lift. Pintu menutup, dan lift mulai turun. Lampu indikator menunjukkan mereka bergerak semakin dalam ke fasilitas Delta. Di dinding lift, simbol Dewan Kota terlihat jelas, seakan mengingatkan mereka pada risiko yang diambil.
Kai memandang ke bawah. “Begitu kita sampai di Delta, tidak akan ada tempat untuk bersembunyi.”
Adrian menjawab singkat, “Kita tak butuh tempat bersembunyi. Kita butuh jawaban.”
Lift berhenti dengan hentakan ringan. Pintu terbuka, memperlihatkan koridor lebar dengan cahaya biru lembut. Di kejauhan, suara mesin dan percikan listrik terdengar samar.
Tim berdiri dalam diam sejenak, menyadari bahwa mereka sekarang berada di jantung fasilitas Delta—tempat yang bisa mengubah segalanya.
Adrian memimpin langkah pertama keluar dari lift. “Mari kita akhiri ini.”
Pintu lift terbuka, memperlihatkan lorong lebar berlapis logam perak. Lampu biru redup menerangi dinding, memberikan kesan dingin dan steril. Udara di sini terasa lebih segar dibanding terowongan sebelumnya, namun ada bau ozon samar dari mesin besar yang bekerja terus-menerus.
Adrian melangkah lebih dulu. “Tetap rapat. Kita tidak tahu di mana penjaga Delta berada.”
Milo memindai sinyal di sekitarnya. “Aku menangkap beberapa frekuensi pendek, tapi tidak ada yang terlalu dekat. Mungkin mereka memakai sistem pengamanan internal.”
Rania memperhatikan lantai yang bersih. “Ini jelas area aktif. Mereka tidak menyangka kita bisa sejauh ini.”
Mereka bergerak menyusuri lorong, melewati pintu-pintu logam bertanda kode huruf dan angka. Yara berhenti di depan salah satu pintu bertanda D-42. Ada panel kontrol dengan layar yang menampilkan grafik energi.
“Ruang ini masih digunakan. Tapi terlalu berisiko untuk memeriksanya.”
Adrian setuju. “Kita fokus ke pusat kontrol utama dulu. Jangan terpancing untuk membuka pintu acak.”
Kai memeriksa peta digital di pergelangannya. “Pusat kontrol seharusnya ada dua tingkat di bawah kita. Ada tangga darurat di ujung lorong ini.”
Suara dentingan logam tiba-tiba terdengar dari belakang mereka. Semua berhenti. Darius mengangkat senjata.
“Ada sesuatu.”
Milo memeriksa perangkatnya lagi. “Tidak ada sinyal besar… mungkin drone kecil.”
Tiba-tiba, dari persimpangan lorong, sebuah drone pengintai kecil melayang keluar. Lampu merahnya berkedip saat memindai area. Yara bergerak cepat, menembak tepat ke sensor utama drone. Percikan kecil muncul dan drone jatuh.
Adrian memberi aba-aba cepat. “Kita harus lebih cepat. Mereka pasti menyadari ada gangguan.”
Di ujung lorong, mereka menemukan tangga spiral yang menurun. Tangga itu terbuat dari logam hitam, dengan pegangan dingin. Rania memeriksa bagian bawah dengan teropong mini.
“Sepertinya aman, tapi aku tidak bisa melihat seluruhnya.”
Adrian memberi tanda. “Darius turun lebih dulu. Kami menutup belakang.”
Darius turun pelan, diikuti Milo, Yara, Kai, Rania, dan Adrian. Tangga itu membawa mereka ke lorong lain, lebih gelap dan penuh kabel tebal di dinding. Suara mesin besar terdengar dari kejauhan.
Kai menatap sekeliling. “Delta terasa lebih hidup dibanding fasilitas lain. Seolah-olah ini pusat sebenarnya.”
Rania mengangguk. “Dan lebih dijaga. Kita harus anggap setiap sudut berbahaya.”
Mereka melanjutkan perjalanan ke persimpangan lain. Di dinding, sebuah simbol bintang ganda yang lebih jelas terlihat, seakan meninggalkan pesan untuk mereka.
Milo menyentuh simbol itu sebentar. “Jaringan kita pernah sampai di sini. Berarti ada jalur aman di dekat sini.”
Namun, suara langkah berat mendekat dari lorong sebelah kanan. Adrian memberi aba-aba untuk mundur ke balik tumpukan peti logam. Dua penjaga Delta lewat, berbicara singkat tentang pengecekan sistem. Mereka tidak menyadari tim bersembunyi. Begitu suara langkah menjauh, Adrian memberi tanda untuk bergerak lagi.
Mereka menuju pintu dengan tanda Delta Core Access. Panel keamanannya lebih kompleks daripada yang sebelumnya.
Milo menghela napas. “Ini akan sulit. Aku butuh beberapa menit.”
Milo mengeluarkan seperangkat alat peretasan kecil dari tasnya. Ia menyalakan perangkat pemindai gelombang pendek, menempelkan probe ke panel Delta Core Access. Lampu indikator pada alatnya berkedip cepat.
Adrian berdiri di samping, memperhatikan lorong. “Berapa lama?”
Milo menjawab tanpa menoleh. “Sekitar tiga menit jika tidak ada kejutan. Tapi jika sistem mendeteksi percobaan peretasan, alarm akan berbunyi.”
Rania merapat ke dinding, senjata terangkat. “Kita jaga setiap sudut. Mereka bisa muncul kapan saja.”
Yara berjongkok di seberang pintu, memperhatikan lorong yang baru saja mereka lewati.