Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba, dari balik kerumunan jemaah masjid yang baru saja menyimak tausiyah dzuhur, muncullah seorang gadis berwajah bening dengan sorot mata sekuat badai.
Di hadapan ratusan pasang mata, ia berdiri tepat di depan sang ustadz muda yang dikenal seantero negeri karena ceramahnya yang menyentuh hati.
"Aku ingin menikah denganmu, Ustadz Yassir," ucap Zamara Nurayn Altun, dokter magang berusia dua puluh satu tahun, anak dari keluarga terpandang berdarah Turki-Indonesia.
Seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Para jemaah terdiam. Para santri tertegun. Dan sang ustadz hanya terpaku, tak sanggup berkata-kata. Bagaimana bisa, seorang gadis yang tak pernah ia kenal, datang tiba-tiba dengan keyakinan setegas itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 30
SEKOLAH DASAR ISLAM AL AZHAR – PAGI YANG BERGEMURUH
Pintu kayu jati di lantai dua dibanting pelan. Suara langkah kecil terdengar cepat, lantas disusul teriakan keras dari arah tangga.
“Kalau bukan Ayah yang antar, Miera mogok sekolah!” serunya kencang, sambil menuruni anak tangga dengan wajah cemberut.
Bu Salamah yang sedang menata sarapan di meja makan mendesah panjang.
“Mbak Salwa, coba kamu bujuk, ya. Tadi Ayahnya udah siap-siap ke pondok,” ucapnya lelah.
Salwa menghampiri bocah tujuh tahun yang sedang duduk di sofa panjang dengan tangan terlipat di dada.
“Miera... kamu tuh hebat dan berani. Nggak perlu harus Ayah terus yang antar,” bujuk Salwa pelan.
“Tapi Ayah janji! Kalau hari pertama sekolah, Ayah yang antar. Janji itu bukan main-main!” serunya, suara mulai bergetar, “Miera nggak suka dibohongin.”
Bayu masuk dari dapur, menatap adik kecilnya itu dengan senyum kecut.
“Dek, kamu tau nggak? Ayah tuh sibuk karena pengen pondok itu jadi tempat banyak anak belajar. Anak-anak yang nggak punya Ayah dan Ibu, kayak kamu dulu waktu kecil,” ucapnya hati-hati.
“Tapi sekarang Ayah ada, dan Miera cuma mau dia!” potong Miera sambil melompat dari sofa dan berlari ke arah pintu depan.
Gilang, yang baru turun dari lantai tiga sambil membawa map tebal, memandang ke arah Pak Mahmud dengan ekspresi canggung.
“Pak, kayaknya kita harus minta Ustadz Yassir undur jadwal rapat. Ini serius,” ujarnya lirih.
Pak Mahmud menarik napas, lalu berdiri perlahan.
“Gil, tolong kabarin Yassir. Bilang, kalau memang mau rapatnya lancar, antarkan dulu hatinya ke sekolah,” ucapnya pelan tapi dalam.
SELANG SETENGAH JAM KEMUDIAN – DI MOBIL SUV HITAM
Miera duduk di kursi belakang, mengenakan seragam putih-putih dengan kerudung kecil berwarna lavender. Kaki kecilnya menendang-nendang pelan tas sekolah sambil menatap ke luar jendela. Sesekali ia melirik ke arah spion tengah.
“Ayah marah ya?” tanyanya pelan.
Yassir tersenyum kecil sambil tetap fokus menyetir.
“Enggaklah. Cuma lagi mikir, siapa ya yang ngajarin anak Ayah jadi galak gitu?” ujarnya bercanda.
“Bukan galak. Miera cuma nggak mau ditinggal,” sahut bocah itu cepat.
“Ayah kan nggak ninggalin. Cuma geser waktu sedikit. Demi sekolah barumu juga,” ucap Yassir pelan.
Miera menoleh bola matanya yang bening penuh rasa ingin tahu.
“Ayah... di sekolah itu nanti, Miera harus ngomong bahasa Inggris terus?”
“Tergantung. Ada pelajaran Arab, ada hafalan Qur’an, ada juga main musik. Tapi semua gurunya ramah, nggak bakal gigit,” canda Yassir, mengedipkan mata.
Miera mendengus.
“Kalau gurunya galak kayak Bu Rahma, Miera gigit balik,” katanya polos.
Yassir tertawa pelan.
“Janji jangan gigit dulu, ya. Coba peluk dulu gurunya. Siapa tahu gurunya malah kangen dipeluk anak kecil.”
Mobil berhenti tepat di depan gerbang Sekolah Islam Al Azhar Internasional. Bangunan modern dengan ornamen islami berdiri kokoh.
Tanaman hijau mengelilingi taman kecil di bagian depan. Suara anak-anak dan guru saling bersahutan, menciptakan suasana yang hidup.
Yassir menggandeng tangan putrinya sambil melangkah menuju ruang administrasi. Di depan ruang Kepala Sekolah, ia disambut oleh seorang wanita paruh baya dengan senyum bersahaja.
“Assalamu’alaikum, selamat datang di Al Azhar International Islamic School. Ustadz Yassir, ya?” sapa wanita itu hangat.
“Wa’alaikumussalam, iya. Saya Yassir. Ini putri saya, Miera. Hari ini hari pertamanya,” ucapnya sambil menunduk sopan.
Kepala sekolah, Ibu Nurlaila, menatap Miera dengan senyum lembut.
“Masya Allah, cantik sekali. Pintar bahasa Inggris katanya ya?” tanyanya sambil membungkuk sedikit.
“Yes. I can speak English, and little German, Kazakh, and Arabic too,” sahut Miera cepat.
Ibu Nurlaila tertawa kecil. “Wah, guru-guru harus banyak belajar dari kamu nanti, Nak.”
Yassir lalu bertanya dengan nada serius.
“Bu, mohon izin, bisa disampaikan ke saya peraturan yang penting untuk orang tua tahu? Tentang komunikasi, sistem belajar, dan mungkin hal-hal sensitif seperti bullying atau perbedaan latar belakang.”
Ibu Nurlaila mengangguk. “Tentu. Kami menanamkan akhlak sebagai fondasi utama. Anak-anak diajarkan menghormati perbedaan. Semua guru dilatih untuk mendeteksi gejala perundungan sekecil apapun. Bahasa pengantar sebagian besar Inggris, tapi kami selipkan nilai-nilai Qurani dalam setiap kegiatan.”
Yassir mengangguk paham.
“Dan kalau suatu saat ada yang merasa kehilangan arah?” tanyanya perlahan, sorot matanya berat.
“Kami akan jadi rumah untuk mereka. Bukan hanya tempat belajar,” imbuh Ibu Nurlaila tenang.
Yassir memalingkan wajah ke Miera, yang kini tengah berdiri di pinggir taman kecil. Ia menyapa seekor kucing oranye yang lewat sambil bersenandung pelan. Rambut ikalnya berayun lembut tertiup angin.
“Miera...” panggilnya.
Bocah itu menoleh. “Ayah pulang dulu ya?” ucap Yassir pelan.
“Kalau nanti pulang sekolah Ayah jemput?” tanyanya ragu.
Yassir mengangguk cepat. “InsyaAllah. Kalau Ayah nggak bisa, Ayah kirim pelangi buat temenin kamu pulang,” godanya.
Miera tertawa kecil lalu menghampiri ayahnya dan memeluk erat.
“Miera sayang Ayah. Sampai nanti, ya,” bisiknya.
Yassir menatap mata anak itu, menyentuh pipinya dengan lembut.
“Dan Ayah lebih dari sayang. Ayah bangga,” katanya penuh haru.
Yassir melangkah meninggalkan sekolah dengan perasaan campur aduk.
Ada rasa lega, ada sedikit cemas, dan ada harapan. Bahwa hari ini bukan cuma hari pertama sekolah anaknya, tapi hari pertama ia belajar melepas sedikit demi sedikit.
Dan di balik senyum kecil yang ia sembunyikan, ada bisikan yang selalu ia panjatkan dalam hati.
“Zamara... lihat, kan? Anak kita tumbuh. Hebat dan tangguh sama sepertimu.”
TIGA JAM SETELAHNYA – JALAN RAYA MENUJU PONDOK PESANTREN AL MUTTAQIN, JAKARTA SELATAN
Suasana jalanan lengang. Mentari mulai naik, menembus kaca depan mobil SUV hitam yang melaju stabil di jalur kiri. Di dalam kabin, aroma parfum amberwood samar tercium, bercampur udara dingin dari AC.
Ustadz Yassir mengemudi pelan. Tangan kirinya sesekali menyentuh tas kecil milik Miera yang tergeletak di jok penumpang depan. Di dalamnya ada bekal, botol minum, dan satu benda kecil berwarna biru boneka mini.
“Zamara... pagi ini Miera keren banget. Rambutnya dikuncir dua, jalan sendiri ke kelas, dan sempat kenalan sama anak Jepang tadi. Anaknya kamu banget. Kuat, bandel, cerewet. Tapi hatinya bersih...” gumamnya pelan.
Lalu ia menghela napas, panjang dan berat.
“Empat puluh hari. Kamu belum kasih kabar. Khasmir dan Thaimur juga belum lihat cahaya pagi sejak dilahirkan. Jujur, aku mulai bingung cara ngomong ke Miera. Dia mulai nanya terus, kapan lihat kedua kakak kembarnya.”
Pikirannya makin ramai. Kenangan tentang Zamara yang pergi ke Jerman untuk melahirkan makin sering mengganggunya. Miera, yang sebelumnya selalu tidur di pelukannya, beberapa malam terakhir mulai mengigau, memanggil ibunya.
Ia menepikan mobil sejenak di pinggir jalan. Membuka kaca, membiarkan angin pagi masuk.
Ponselnya bergetar.
Salwa: “abang, Miera lupa bawa map hafalan. Di meja belajar bisa nanti dijemput aja?”
Yassir membalas cepat.
“Iya, nanti aku mampir. Abang masih mau ke pondok dulu.”
Ia menyalakan mesin lagi mobil kembali berjalan.
Tapi tak jauh dari tikungan menuju Jalan TB Simatupang, tiba-tiba sebuah truk kontainer besar dari arah berlawanan melaju dengan kecepatan tinggi, oleng, lalu melintang di jalur. Ban depan truk itu pecah. Suaranya mengerikan.
Yassir refleks membelokkan mobil ke kiri. Tapi terlambat.
BRAAAK!!!
Bunyi tabrakan keras menghantam sisi kiri depan mobilnya. Kaca depan pecah. Airbag meledak.
Mobil Yassir terpental ke trotoar, menabrak pohon besar dan langsung terhenti. Asap tipis keluar dari kap mesin. Kaca berhamburan. Suara klakson mobil terdengar terus menerus, macet.
Darah mulai mengalir dari pelipis Yassir. Tubuhnya tak bergerak. Kepalanya bersandar di sisi jendela dengan napas tersengal. Bibirnya bergerak perlahan, seperti menggumam doa.
“Ya Allah... jaga Miera... jaga Zamara...”
Beberapa warga mendekat. Salah satu dari mereka, pemuda kurir online, langsung berteriak.
“Pak! Masya Allah... Ada orang di dalam! Cepat panggil ambulans!”
SATU JAM KEMUDIAN – RUMAH SAKIT ISLAM BINTARO
Pintu IGD terbuka. Beberapa dokter dan perawat mendorong ranjang pasien. Tubuh Ustadz Yassir terbaring lemah, selang oksigen terpasang di hidung dan selang infus menggantung di sisi kiri. Bajunya robek penuh darah, wajahnya lebam, tapi detak jantung masih stabil.
“Trauma kepala sedang. Patah tulang di bahu kiri dan tulang rusuk tiga. Tapi kita bisa stabilkan. Dia harus dioperasi sekarang juga,” ujar salah satu dokter dengan suara tegas.
Di ruang tunggu, Bu Salamah menangis sambil memeluk Salwa.
Bayu berdiri diam di dekat jendela, menggigit ujung jaketnya.
Faris terlihat cemas sambil terus mengecek ponselnya. Gilang menelepon seseorang dengan suara panik.
Pak Mahmud masuk terburu-buru. Wajahnya pucat, napas tersengal.
“Apa benar Yassir kecelakaan?” tanyanya.
Salwa mengangguk. “Iya, Pak. Tabrakan sama truk di TB Simatupang mobilnya ringsek semua.”
Pak Mahmud duduk pelan, tangan gemetar. “Ya Allah... anakku... anakku...”
Suasana masih riuh. Salwa terduduk lemas di kursi tunggu. Bayu mondar-mandir di sepanjang lorong, sesekali mengecek ponselnya. Faris menunduk, wajahnya kusut menahan tangis yang belum sempat jatuh. Gilang sibuk menelepon satu per satu kontak darurat.
Pak Mahmud duduk mematung, sementara Bu Salamah tak henti-hentinya melafalkan ayat-ayat doa di balik mukena tipis yang ia kenakan sejak siang.
Tiba-tiba langkah sepatu terdengar mendekat. Seorang dokter berpakaian hijau operasi, diikuti seorang perawat perempuan muda, berjalan cepat ke arah mereka. Wajah sang dokter tampak tegas, namun sorot matanya berat.
“Permisi, mohon maaf...” ucapnya pelan, “Siapa di antara Bapak Ibu yang merupakan keluarga inti dari pasien kecelakaan atas nama Yassir Qayyim?”
Pak Mahmud langsung berdiri. Bu Salamah menyusul cepat, menggenggam lengan suaminya erat-erat.
“Kami orang tuanya, Dokter... Ada apa?” tanya Bu Salamah dengan suara gemetar.
Pak Mahmud menambahkan, “Bagaimana kondisi anak kami, Dok? Kami mohon penjelasan.”
Dokter itu mengangguk perlahan, lalu memberi isyarat dengan tangan.
“Boleh ikut saya sebentar ke ruang konsultasi? Ada hal penting yang perlu kami sampaikan terkait kondisi pasien.”
Langkah mereka terasa berat. Pak Mahmud menggenggam tasbih lebih erat.
Sementara Bu Salamah tak henti mengucap, “Ya Allah... ya Allah...” berulang-ulang.
Dokter Hasan, spesialis ortopedi yang menangani kasus Ustadz Yassir, membuka lembaran hasil CT scan dan MRI, lalu menatap kedua orang tua itu dalam-dalam.
“Bapak Ibu, saya akan jujur. Putra Bapak mengalami cedera kompleks. Ada pendarahan ringan di bagian dalam kepala, namun yang paling serius adalah patah tulang leher bagian atas. Tepatnya di tulang atlas yang menyokong pergerakan kepala dan menghubungkan ke batang otak.”
Bu Salamah langsung menutup wajahnya, bahunya bergetar menahan tangis. Pak Mahmud menahan napas, matanya mulai memerah.
“Lalu apa masih bisa tertolong, Dok?” tanya Pak Mahmud dengan suara nyaris hilang.
Dokter Hasan menunduk sejenak. Tangannya menyentuh layar monitor.
Mampir Baca novel baru aku kakak judulnya:
Dijual Suami DiMalam Pertama
Pawang Dokter Impoten
Dipaksa Menjadi Istri Kedua
Semoga saja kamu tidak membuat ustadz Yassir kecewa , kamu harus hati" dgn Aisyah