Hidup hanya untuk berjalan di atas luka, itulah yang dialami oleh gadis bernama Anindira Sarasvati. Sejak kecil, ia tak pernah mendapat kasih sayang karena ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, dan ayahnya menyalahkan Anin atas kematian istrinya karena melahirkan Anin.
Tak hanya itu, Anin juga selalu mendapat perlakuan tak adil dari ibu dan adik tirinya.
Suatu hari, ayahnya menjodohkan Anin dengan putra sahabatnya sewaktu berperang melawan penjajah. Anin tak memiliki pilihan lain, dia pun terpaksa menikahi pria bernama Giandra itu.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melahirkan
Keesokan harinya, pagi masih berbalut embun—menyelimuti halaman rumah. Udara segar membawa aroma tanah basah. Di teras, Giandra duduk bersandar di bale kayu, jemari kanan menjepit rokok yang sudah tinggal separuh. Asap tipis melayang bersama pikirannya yang entah ke mana.
“Kamu kenapa? Kok bengong?” tanya Anin, lalu duduk di sebelah Giandra.
Giandra menoleh sekilas, kemudian merangkul pinggang Anin dan menariknya mendekat. Anin menatap Giandra yang masih termenung sembari menatap jalan di depan rumah.
“Kamu mikirin apa sih? Jangan-jangan kamu mikirin mantan ya?” tuduh Anin.
Giandra menggeleng kecil. “Nggak, sayangku. Aku emang suka merenung dan ngebayangin hubungan kita di masa depan,” jawabnya jujur.
Anin bersandar di bahu Giandra, jemarinya menyentuh dada Giandra yang berdebar ringan.
“Sesulit apa pun badai yang menerpa rumah tangga kita di masa depan, aku akan terus menemani kamu sampai Tuhan mencabut nyawaku,” ucap Anin.
Giandra melirik, senyum hangat terukir di bibir seksinya. “Makasih, sayang.” Ia menyandarkan kepalanya ke kepala Anin, lalu mencium rambut Anin yang harum semerbak.
“Anindiraaa!!”
Anin terlonjak kaget. “Ivana!!” serunya dengan mata melotot.
Giandra langsung mengikuti arah pandangan Anin. “Siapa Ivana?”
Belum sempat Anin menjawab, Ivana sudah berdiri di depan gerbang sembari melambaikan tangan.
“Halooo!” sapa Ivana riang.
“Kamu tahu dari mana alamat rumah aku?” Anin memicingkan mata.
“Dari ibu tiri kamu,” jawab Ivana santai.
Anin terperangah, mengerjapkan mata berkali-kali. Sementara Giandra tercengang sembari mengernyit.
“Oh iya, aku ke sini bawa kabar bahagia!” seru Ivana antusias.
“Kabar apa?” tanya Anin.
“Aku dan Candra udah nikah,” jawab Ivana dengan wajah berseri-seri.
“Hah?” Mulut Anin terbuka lebar. Tba-tiba Candra berdiri di sebelah Ivana dan merangkul bahu Ivana.
“Hai, Anin ...” sapa Candra.
Mulut Anin semakin terbuka lebar. Spontan Giandra menutup mulut Anin dengan telapak tangannya.
“Kamu kenapa kaget gitu sih, Nin? Emang aneh ya kalau wanita keturunan Belanda nikah sama pria pribumi?” tanya Ivana dengan nada melirih.
“Nggak aneh sih, tapi aku kaget karena kamu dan Candra kan nggak ada tanda-tanda dekat sebelumnya. Waktu main bareng pun Candra gabung sama anak laki-laki,” ungkap Anin jujur.
“Benar sih.” Ivana mendengus sembari mengerucutkan bibir. “Aku dan Candra boleh masuk nggak nih?” tanyanya.
“Boleh dong. Yuk masuk,” ajak Anin.
“Hore! Makasih Anin,” ucap Ivana.
Anin pun bangkit, menatap Giandra. “Kamu nggak masuk, Mas?” tanyanya.
“Duluan aja. Aku masih mau ngerokok,” jawab Giandra sembari mengisap rokok.
Anin mengangguk, lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Ivana dan Candra mengikutinya dari belakang.
Giandra kembali termenung. Tak lama, suara deru mobil terdengar dan sebuah mobil hitam terhenti tepat di depan pagar. Pintu terbuka, Sudarsono keluar dan menghampiri Giandra.
“Bapak, ada urusan apa? Tumben datang pagi-pagi,” celetuk Giandra.
“Saya mau ketemu Anin. Di mana dia?” tanya Sudarsono.
“Di dalam, Pak. Lagi sama teman-temannya,” jawab Giandra.
“Siapa?” tanya Sudarsono datar.
“Ivana sama Candra,” sahut Giandra.
“Apa?” Mata Sudarsono membelalak.
“Kenapa, Pak?” tanya Giandra.
Tak ada jawaban, Sudarsono berjalan masuk dengan wajah penuh amarah. Giandra mengernyit, mematikan rokok, lalu menyusul Sudarsono..
“Anindira!!” Suara Sudarsono menggelegar, membuat semua orang di ruang tamu menoleh serentak.
“Ayah!” seru Anin.
“Menjauh dari laki-laki bajingan itu!” perintah Sudarsono menunjuk Candra.
Anin terpaku, melirik Candra yang duduk di samping Ivana.
“Kenapa, Yah?” tanya Anin.
“Dia punya niat jahat sama kamu,” ungkap Sudarsono.
Tanpa menunggu tanggapan, Sudarsono menarik Anin ke belakang tubuhnya.
“Kalau kau berani menyentuh Anin, saya pastikan kau akan mati!”
Tatapan maut Sudarsono menancap pada Candra. Namun, pria itu tampak menyeringai, seolah tak takut oleh ancaman Sudarsono.
...🌹🌹🌹...
Sebulan telah berlalu—di kursi belakang mobil—wajah Anin memucat, keringat membasahi pelipisnya. Giandra memeluk Anin erat sembari mengusap perut buncit yang menegang.
“Perut aku sakit,” ucap Anin dengan nada melirih dan napas terengah.
“Sabar ya, sayang. Sebentar lagi kita sampai di klinik bersalin. Tahan sebentar demi aku dan anak kita,” ujar Giandra, berusaha menenangkan.
Di kursi depan, Sudarsono melirik lewat kaca mobil. Keringat menetes dari pelipisnya. Setiap tarikan napas Anin mengingatkannya pada istrinya yang meninggal saat melahirkan Anin. Tenggorokan Sudarsono tercekat, lidahnya terasa kelu hingga tak ada satu pun kata yang terucap olehnya.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan klinik. Giandra langsung melompat turun, lalu mengangkat Anin ke pelukannya.
“Tolong! Istri saya mau melahirkan!” teriak Giandra saat menerobos pintu klinik.
Para perawat bergegas menghampiri sembari mendorong ranjang pesakitan. Giandra membaringkan Anin, lalu ikut berlari menuju ruang bersalin.
“Temani Anin biar saya yang urus administrasi,” teriak Sudarsono.
Giandra mengangguk cepat, tatapannya tak lepas dari wajah Anin.
...🌹🌹🌹...
Di ruang bersalin, Anin terbaring dengan napas memburu, kedua kakinya sudah diposisikan bidan. Giandra duduk di sebelah Anin, menggenggam erat tangan Anin yang gemetar hebat.
“Semangat, sayang! Kamu pasti bisa!” seru Giandra.
Tak ada jawaban, Anin menggigit bibir bawahnya dan wajahnya kian memucat.
“Ibu, tarik napas dan embuskan perlahan ya,” ujar bidan.
Anin terpejam sejenak, menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan.
“Ayo, ngejan, Bu!” perintah bidan.
Anin mengejan sekuat tenaga, wajahnya memerah, bahkan urat di pelipis tampak menegang. Giandra mempererat genggaman tangannya.
“Arghh ... Sakitt ....” Anin mengerang di sela-sela napas berat.
“Tahan ya, sayang ... Aku yakin kamu pasti bisa,” tutur Giandra.
Mendadak genggaman Anin terlepas. Namun, Anin justru mencengkeram erat rambut Giandra.
“Kenapa jambak rambut aku?” tanya Giandra sembari meringis.
“Aku nggak sanggup ... Ini sakit banget,” ungkap Anin sembari terisak.
“Ya udah, jambak aja rambutku. Aku rela, bahkan sampai botak pun nggak masalah,” celetuk Giandra.
Alih-alih melepas, Anin justru memperkuat tarikan dan kembali mengejan dengan sisa tenaganya.
“Arrgghhh!!” Teriakan Giandra menggelegar hingga keluar ruangan, membuat Sudarsono tersentak.
“Apa yang terjadi sama putriku?” gumam Sudarsono panik. Mendadak jantungnya berdegup kencang. Ia pun menggedor pintu ruang bersalin. “Buka pintunya! Saya mau lihat putri saya!”
Tak berselang lama, pintu ruang bersalin terbuka. Seorang perawat keluar sembari menggendong bayi yang masih berlumuran darah itu. Namun, Sudarsono justru melewati cucunya dan berlari menghampiri Anin.
“Bagaimana kondisimu, Nak? Apa sakit sekali?” Suara Sudarsono bergetar, dan matanya tampak berkilat.
“Aku nggak papa tapi kayaknya Gian yang kenapa-kenapa,” jawab Anin.
Sudarsono menoleh, Giandra tertunduk—kepalanya menempel di sisi ranjang dan rambutnya tampak berantakan.
“Kenapa dia?” tanya Sudarsono.
“Aku jambak rambutnya sampai dia teriak. Sebenarnya aku mau lepas tapi dia bilang ikhlas dijambak jadi aku jambak lagi,” jawab Anin jujur.
Anin mengulurkan tangan, mengusap lembut rambut Giandra.
“Hmm, yang penting istri dan anakmu selamat, Gian,” ujar Sudarsono.
Giandra mengangkat wajahnya, lalu mengusap jari-jemari Anin.
“Permisi, Pak. Maaf ganggu, saya mau kasih bayinya,” ucap perawat seraya menghampiri Giandra.
Giandra pun menggendong putrinya, kemudian mengumandangkan azan.
Setelah selesai, Giandra menyerahkan bayi itu ke gendong Anin.
Anin langsung berkaca-kaca menatap wajah putrinya. “Aku nggak nyangka bisa punya anak secantik ini,” tuturnya dengan nada melirih.
Sudarsono menunduk, mendekati wajah cucunya. “Mata kamu persis seperti mata nenekmu ....”
Anin tersenyum tipis. Meski tak pernah melihat wajah ibunya, dia tahu ibunya sangat cantik karena kecantikan ibunya diturunkan pada Anin.
“Kamu mau kasih nama apa, Gian?” tanya Sudarsono.
“Anggi Putri Wijaya,” jawab Giandra.
Sudarsono mengangguk. “Boleh saya tambahkan sedikit?”
“Tentu, Yah.”
“Anggi Putri Wijaya Sudibyo,” tukas Sudarsono, kemudian tersenyum.