Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 20
Dian terus tersenyum puas, seolah dunia ada di genggamannya. “Yes! Wanita kampung itu akhirnya setuju juga dengan tawaran kerja yang aku kasih. Mulai sekarang aku bisa bebas tanpa repot-repot lagi ngurus kedua anakku,” ujarnya dalam hati, senyum jumawa tak bisa disembunyikan.
Alif yang sedari tadi memangku tubuh Dian menatapnya sambil mengusap lembut paha kekasihnya.
“Gimana, sayangku? Itu perempuan beneran mau jadi pengasuh Bilqis sama Berliana?” tanyanya dengan nada penasaran, lalu kembali melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda.
Dian mengangguk kecil, masih sibuk menahan suara agar tidak terlalu keras. “Alfathunisa Husna, itu namanya. Dia nurut sama semua tawaran yang aku kasih. Katanya rela jadi ART sekaligus pengasuh di rumahku. Aku bisa atur dia sesuka hati.”
Alif menyeringai lebar. “Baguslah. Kalau gitu, makin gampang kita ketemu tanpa harus ribet mikirin anak-anak. Aku makin cinta sama kamu, sayang.”
Dian bangkit dari pangkuannya, meraih baju yang tergeletak di sofa. Ia cepat-cepat merapikan pakaian kerjanya yang sudah berantakan.
“Cukup! Aku nggak mau lanjut ronde tiga. Nanti kalau Pak Richard curiga, bisa gawat.”
Alif menghela napas panjang, jelas belum puas. “Ya sudah. Nanti malam kita lanjut di rumahmu aja. Kan suamimu masih di rumah sakit. Untuk beberapa hari ke depan kita bebas, sayang.” Tatapannya nakal, tapi Dian memilih tidak menanggapinya.
Sementara itu, di tempat berbeda, Nisa dan Azhar tengah menjaga Berliana yang masih terlelap. Azhar menggenggam lembut tangan istrinya. “Kamu yakin nggak keberatan kerja di rumah kita, jadi ART sekaligus pengasuh anak-anak?”
Nisa menatapnya penuh keyakinan. “Aku nggak pernah keberatan. Selama itu demi kebahagiaan Mas dan anak-anak, aku siap jalani apa aja.”
Azhar tersenyum bahagia, lalu melingkarkan tangannya di pinggang Nisa. “Kalau gitu… berarti kamu juga jadi babysitter plus-plus buat suamimu ini dong?” godanya sambil mengerling nakal.
Nisa memukul pelan bahunya, wajahnya bersemu merah. “Dasar Mas, bisa aja.”
Azhar membingkai wajah Nisa dengan kedua tangannya. “Bahagiakan suamimu ini, ya. Mumpung putri kecil kita lagi tidur.”
Nisa menunduk malu. “Aku tahu sebentar lagi Mas harus berangkat ke Lebanon. Jadi selama Mas di sini, aku mau manfaatin waktu sebaik mungkin buat ngurus dan ngasih yang terbaik untuk suamiku.”
Kalimat itu membuat dada Azhar terasa hangat. Mereka lalu larut dalam kebersamaan sebagai pasangan, sebelum akhirnya kembali duduk berdampingan dengan rambut masih basah.
“Demi kebahagiaan Mas, aku rela lakukan apapun,” bisik Nisa lirih.
Azhar menatapnya dalam. “Termasuk kalau aku minta kamu pergi menjauh dari hidupku?”
Nisa tersenyum tipis, meski matanya berkaca. “Insya Allah, aku siap. Walau hatiku pasti berat, tapi kalau itu demi kebahagiaan Mas, aku rela.”
Azhar mengecup bibirnya. “Aku nggak akan pernah minta kamu pergi, Nisa. Kecuali kalau Allah sendiri yang memisahkan kita.”
Nisa terharu. “Mas… kamu tahu nggak? Bersamamu aku merasa seperti bunga yang selalu mekar di musim semi.”
Azhar terkekeh. “Dan kamu tahu nggak? Saat aku minta setetes air, Allah kasih aku lautan. Saat aku minta mawar, Allah kasih aku taman. Saat aku minta malaikat… Allah malah kasih aku kamu.”
Mereka saling bertukar gombalan receh, tapi itulah yang membuat keduanya jatuh cinta semakin dalam.
Malam hari, sekitar pukul tujuh, Dian muncul di ruang perawatan Berliana. Seperti biasa, ia hanya melirik sekilas ke arah anaknya, tanpa niat untuk mendekat.
Berliana lebih memilih bermain di pangkuan Nisa yang sedang membacakan dongeng.
Dian duduk di sofa, menatap Nisa. “Kamu udah mulai kerja hari ini, kan?” tanyanya datar.
Nisa tersenyum ramah. “Insya Allah, Mbak. Aku siap bekerja kapan pun, dan aku akan jaga Berliana sepenuh hati.”
Dian melirik sekilas ke arah Azhar yang sibuk dengan ponselnya. “Mas, nggak apa-apa kan kalau aku tinggal? Aku capek banget. Besok harus kerja, takut kalau begadang malah nggak fokus.”
Nisa memperhatikan penampilan Dian—blus ketat dengan rok mini yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Hatinya hanya bisa menghela napas, menahan pandangan.
Azhar pun mengangkat wajah, ekspresinya jelas kesal. “Dian! Apa nggak ada pakaian lain yang lebih pantas buat kamu pakai?!”
Dian mendengus. “Kenapa emangnya? Dari dulu juga aku udah begini. Kenapa baru sekarang ribut?”
Azhar mengusap wajah, menahan emosi. “Kamu istri seorang perwira, Dian. Bisa nggak jaga penampilan? Itu aurat, bukan buat ditonton orang.”
Dian malah tertawa sinis. “Mas kolot banget! Ini tahun 2025, bukan zaman batu. Nggak semua perempuan harus kayak Nisa, pake baju longgar kayak ibu-ibu pengajian.”
Ucapan itu membuat Azhar makin geram. “Kamu pikir gaya kayak gitu modern? Malah kelihatan murahan. Apa kurang kain sampai harus pamerin semuanya begitu?”
Dian menutup mulutnya sambil tertawa keras. “Ya ampun Mas, lucu banget! Emangnya aku mau kayak Nisa? Kampungan, berhijab panjang, ketinggalan mode.”
Tatapan sinisnya jelas diarahkan ke Nisa, tapi Nisa hanya diam, memilih tidak menanggapi.
Azhar akhirnya meninggikan suaranya. “Kamu nggak pernah mau nurut, nggak pernah hargai aku sebagai suami! Apa susahnya nurut sekali aja?”
Dian bangkit dengan angkuh, meraih tasnya. “Terserah! Aku capek debat. Aku pergi dulu, nggak mau buang-buang waktu.”
Tanpa menoleh lagi, ia melenggang keluar meninggalkan ruangan. Berliana hanya menatap sejenak, lalu kembali menyandarkan kepalanya di bahu Nisa.
Azhar menunduk lesu, sementara Nisa hanya bisa menatap suaminya dengan tatapan penuh empati.
Dian sudah melangkah angkuh menuju pintu, tas di tangannya terayun seirama dengan langkah tergesa. Namun, baru beberapa langkah, suara Azhar menghentak ruangan.
“Dian!” suara itu berat, penuh tekanan.
Langkah kakinya refleks terhenti, meski ia tidak langsung menoleh.
Azhar menatap punggung istrinya dengan sorot kecewa. “Kamu tahu nggak, yang bikin aku bertahan sama kamu selama ini cuma karena satu… aku masih berharap kamu bisa jadi ibu buat anak-anakmu. Tapi ternyata aku salah besar.”
Dian mengerjapkan mata, jemari yang menggenggam tasnya mengeras.
Azhar menambahkan, nada suaranya tajam menusuk. “Buatku, perempuan yang bisa menghargai dirinya sendiri, bisa menutup auratnya dengan baik, bisa menjaga harga dirinya, jauh lebih berharga daripada semua baju mahal, make up tebal, atau gaya modern yang kamu bangga-banggain itu.”
Tubuh Dian menegang, langkahnya kembali terhenti.
“Kalau kamu nggak bisa jadi istri yang menghormati suaminya, minimal jadilah ibu yang layak dipandang putrinya. Jangan sampai nanti Bilqis sama Berliana malu punya ibu kayak kamu.”
Suasana seketika senyap. Bahkan Nisa yang sedari tadi diam, ikut merasakan getaran emosi yang keluar dari setiap kata Azhar.
Dian akhirnya menoleh, wajahnya memerah entah karena marah atau tersinggung. Tatapannya menusuk ke arah Azhar, tapi bibirnya terkunci, tak sanggup membalas sepatah kata pun.
Ia mengibaskan rambutnya kasar, lalu kembali melangkah, kali ini lebih cepat, seolah ingin kabur dari kenyataan yang baru saja menamparnya.
Hak sepatu Dianti berderap keras di lantai koridor rumah sakit. Setiap langkahnya terdengar bergema, menandai amarah yang membara di dadanya.
Tas kecil di tangannya dihentak-hentakkan, seolah benda itu ikut menjadi pelampiasan.
“Kurang ajar!” desisnya dengan gigi terkatup rapat.
“Mas Azhar berani-beraninya merendahkan aku di depan perempuan kampungan itu. Di depan Nisa!”
Tatapannya tajam, mengabaikan suster yang berpapasan dan sempat memberi salam. Dian melengos, wajahnya merah padam, bibir mengerucut menahan geram.
“Dia bilang aku nggak pantas jadi ibu? Dia lupa siapa yang melahirkan Bilqis dan Berliana? Lupa siapa yang rela mati di meja operasi demi anak-anak itu?!” Suaranya tertahan, namun cukup keras hingga seorang pengunjung menoleh heran. Dian tidak peduli.
Langkahnya makin cepat, hampir berlari kecil. Rambutnya tergerai berantakan, kemeja kerjanya yang ketat menempel di tubuhnya, memamerkan kesombongan sekaligus membuat beberapa mata menoleh. Namun, semua itu tidak berarti apa-apa baginya.
“Dan yang paling bikin aku muak… dia banding-bandingin aku sama Nisa perempuan yang statusnya hanya baby sitter saja!” Napasnya memburu, dadanya naik turun.
“Dasar laki-laki nggak tahu diri! Baru kenal Nisa sebentar, langsung lupa siapa yang dulu nemenin dia waktu nggak punya apa-apa. Nisa itu siapa? Hanya orang kampung yang nggak punya modal apa-apa selain wajah polos dan sok alimnya, dia cuman istri dari temannya di Takalar.”
Setibanya di lift, Dian menekan tombol berkali-kali dengan kasar. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena dendam yang semakin menumpuk.
Pintu lift terbuka, ia melangkah masuk tanpa menoleh. Dua orang perawat ikut masuk, tapi suasana hening. Aura kemarahannya begitu kuat sampai keduanya memilih diam.
Dian menatap pantulan dirinya di kaca lift. Make up-nya mulai luntur, eyeliner sedikit berantakan.
Dia mendekap tas di dada dan mendesis lirih, “Aku bukan perempuan murahan. Aku lebih berkelas daripada Nisa. Kalau Mas Azhar buta sampai nggak bisa lihat itu, biar aku yang bikin dia nyesel!”
Begitu pintu lift terbuka di lantai parkiran, Dianti melangkah cepat, tumitnya berdentum semakin keras. Udara lembab bercampur bau bensin menyambutnya.
Ia berjalan menyusuri lorong panjang menuju mobilnya, bibirnya tak henti-hentinya menggumam sumpah serapah.
“Aku nggak akan kalah. Nggak sama Nisa, nggak sama siapa pun. Kalau perlu, aku tunjukin ke dunia siapa sebenarnya Dianti!”
Tangannya menghentak kunci mobil, menekan tombol remote hingga lampu mobil berkedip. Dengan kasar ia membuka pintu, melempar tasnya ke kursi penumpang, lalu menjatuhkan diri ke kursi pengemudi.
Di balik kaca mobil yang tertutup, Dianti meraung kecil sambil menghantam setir dengan kepalan tangannya.
“Mas Azhar… tunggu saja. Kamu sudah bikin aku malu di depan orang lain. Aku pastikan kamu yang akan malu di depan semua orang.”
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor