Dunia Isani seakan runtuh saat Yumi, kakak tirinya, mengandung benih dari calon suaminya. Pernikahan bersama Dafa yang sudah di depan mata, hancur seketika.
"Aku bahagia," Yumi tersenyum seraya mengelus perutnya. "Akhirnya aku bisa membalaskan dendam ibuku. Jika dulu ibumu merebut ayahku, sekarang, aku yang merebut calon suamimu."
Disaat Isani terpuruk, Yusuf, bosnya di kantor, datang dengan sebuah penawaran. "Menikahlah dengaku, San. Balas pengkhianatan mereka dengan elegan. Tersenyum dan tegakkan kepalamu, tunjukkan jika kamu baik-baik saja."
Meski sejatinya Isani tidak mencintai Yusuf, ia terima tawaran bos yang telah lama menyukainya tersebut. Ingin menunjukkan pada Yumi, jika kehilangan Dafa bukanlah akhir baginya, justru sebaliknya, ia mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Dafa.
Namun tanpa Isani ketahui, ternyata Yusuf tidak tulus, laki-laki tersebut juga menyimpan dendam padanya.
"Kamu akan merasakan neraka seperti yang ibuku rasakan Isani," Yusuf tersenyum miring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
Sani memasukkan pakaian serta barang-barang pribadinya ke dalam koper dan beberapa kardus. Ia sudah memutuskan, hari ini pindah dari rumah yang telah ditempatinya selama 20 tahun ini. Sebenarnya sejak bekerja, ia ingin keluar dari sini, namun Yuka selalu berhasil membujuknya untuk tetap tinggal. Adik laki-lakinya itu satu-satunya orang yang selalu ada untuknya dan membelanya. Sekarang, Yuka sudah tak ada, laki-laki itu tinggal di Bandung sejak tahun lalu mulai kuliah, jadi tidak ada lagi alasan ia tetap tinggal disini.
"Kamu jadi pindah?" tanya Fatur yang baru masuk ke kamar Sani, tatapannya tertuju pada dua buah kardus yang sudah dilakban.
"Gea bilang, kamar di sebelahnya kosong, jadi aku akan pindah ke sana," jawabnya sambil memasukkan satu persatu buku yang ada di rak.
"Papa sudah mentransfer uang ke rekening kamu," Fatur yang sudah rapi dengan setelan kerjanya, berdiri di samping Isani, membantunya.
"Makasih," sahut Isani datar.
Fatur meraih bahu Sani, memeluknya, mencium keningnya. "Maafin Papa," matanya mulai berkaca-kaca. "Kamu harus jadi korban dari perbuatan Papa," mengecup puncak kepala Sani sekali lagi. "Papa harus kerja, jadi gak bisa bantu kamu pindahan, tapi nanti malam, Papa akan mampir ke kos kamu. Jadi kalau ada barang-barang yang gak bisa bawa, biar Papa aja yang bawa."
"Apa aku boleh bawa motor pemberian Papa?"
"Tentu saja, itu milik kamu."
Motor tersebut adalah kado ulang tahun Isani yang ke 20, namun Sani jarang sekali menggunakannya. Gara-gara motor itu, Papanya dan Tante Farah bertengkar hebat, padahal saat Yumi ulang tahun ke 20, dia diberi hadiah mobil.
Dengan dibantu Bi Dini, Sani memindahkan barang-barangnya ke teras. Satu persatu, kardus yang sudah dilakban, diangkat ke depan. "Maaf ya Bi, ngerepotin."
"Cuman gini doang, gak repot," Bi Dini mengusap lengan Sani. Wanita paruh baya tersebut tiba-tiba menangis. "Bibi pasti kangen banget sama Neng Sani."
Sani memeluk Bi Dini, ikut meneteskan air mata. Bisa dibilang, wanita itu sudah ia anggap seperti ibu. Bi Dini yang selalu makan bersamanya di dapur sejak kecil, wanita itu juga sering diam-diam memberinya jajan saat ia sedang menangis karena dimarahi Tante Farah. Saat sakit, wanita itu juga yang merawatnya. Andai saja ia bisa memilih ibu, pasti ia lebih memilih dilahirkan Bi Dini daripada Erna.
"Neng, Bibi mau minta maaf," Bi Dini melepas pelukan Sani, menggenggam kedua tangannya. "Maafin Bibi."
"Harusnya Sani yang minta maaf, Sani yang selama ini selalu ngerepotin Bibi."
Bi Dini menggeleng, "Ini soal Neng Yumi dan Mas Dafa. Sebenarnya... Bibi sudah lama tahu tentang hubungan mereka, tapi bibi gak berani bilang sama Neng Sani," wanita itu makin sesenggukan, tangannya sibuk menyeka air mata. "Bibi diancam Neng, Bibi gak boleh ngasih tahu Neng Sani."
Sani kembali memeluk Bi Dini. "Sani gak marah kok sama Bibi. Sani ngerti posisi Bibi."
"Jaga diri baik-baik. Nanti kapan-kapan, Bibi bolehkan, main ke kos Neng Sani? Bibi pengen bawain ayam cabe ijo kesukaan Neng."
Sani mengangguk, mengeratkan pelukannya. "Aku pasti kangen masakan Bibi."
"Ya kalau kangen kan bisa masak sendiri, lawong rasa masakan Neng Sani sama Bibi sebelas dua belas."
Sani tersenyum, melepas pelukannya. "Ya karena gurunya Sani masak, Chef Dini," mengecup kedua pipi wanita yang sudah tampak tua meski usianya belum terlalu tua tersebut. "Makasih ya Bi, udah nurunin skill tangan dewanya ke Sani."
"Ilmu itu harus dilestarikan. Gak bisa tranfer uang, jadi Bibi transfer ilmu aja," keduanya tertawa bersama.
Setelah urusan memindahkan barang selesai, Sani menghampiri Tante Farah yang ada di ruang keluarga. Sebenci-bencinya ia pada wanita itu, ia masih punya adab, tidak main pergi begitu saja. "Sani pergi dulu, Tan," Sani meraih tangan Farah, menciumnya.
"Hem," Farah hanya berdehem, matanya tetap fokus pada televisi, tak mau menatap Isani. Sejak dulu, ia memang paling benci melihat Isani, anak itu terlalu mirip dengan Erna.
Isani masuk ke dalam kamar untuk terakhir kalinya. Banyak sekali kenangan disini, bisa dibilang, kamar inilah saksi bisu ratapannya selama 20 tahun. Membaringkan tubuh di kasur sambil memejamkan mata, menikmati terakhir kalinya ia berbaring nyaman disini. Setelah merasa cukup, Sani bangun, mengambil tas di atas nakas lalu berjalan ke arah cermin yang ada pada almari. Ia tersenyum menatap diri sendiri di cermin. Seperti yang dikatakan Arif kemarin, dibalik semua luka yang dia alami selama ini, ia masih harus bersyukur, karena meski lahir dari rahim seorang pelakor, ia dianugerahi wajah yang cantik.
"Mungkin satu-satunya hal yang bisa bikin aku berterima kasih pada Mama, adalah warisan kecantikan yang Mama turunkan. Selebihnya, tidak ada. Bahkan, aku tidak akan pernah berterima meski telah Mama lahirkan kedunia."
Sani memesan taksi online untuk mengangkut barang-barangnya, sementara dia menaiki motor. Sesampainya di kos, dengan dibantu driver, Sani memasukkan barang-barangnya ke dalam kamar. Ukuran kos tersebut tak terlalu besar, namun terasa luas karena kemana pun mata memandang, ia tak perlu melihat Yumi atau Tante Farah.
"Makasih, Pak," Sani memberi tip yang lumayan banyak untuk driver yang telah baik hati membantunya tersebut.
Sani mengunci pintu kamar, merebahkan tubuh di atas ranjang. Bodo amat dengan barang-barang yang masih belum disusun, siapa juga yang peduli, mending tidur. Namun sebelum mata benar-benar terpejam, ia mengambil ponsel di dalam tas. Sejak tadi pagi, Yusuf terus meneleponnya, tapi tak dia jawab. Dan sepuluh menit yang lalu, laki-laki itu ternyata juga meneleponnya lagi. Hari ini, ia memang tak minta izin cuti.
[ Kenapa gak kerja? ]
[ Kamu sakit? ]
[ Isani, jawab telepon saya ]
[ Isani, jawab telepon saya, ini perintah ]
Itu empat dari pesan Yusuf yang Sani baca, masih banyak pesan yang lainnya lagi. Ada juga pesan dari Irene yang menanyakan sesuatu, juga pesan dari Gea.
Sani mematikan ponsel, lalu tidur.
Tok tok tok
Isani terbangun karena suara ketukan pintu. Sambil mengumpulkan nyawa, mulai menebak-nebak, siapa kiranya yang datang. Apa mungkin Papa? tapi Papanya belum pulang kerja jam segini. Apa mungkin pemilik kos yang ingin memberi tahu sesuatu padanya? Bisa jadi.
"Sebentar," seru Sani sambil mengikat rambut. Ia lalu berjalan ke arah pintu lalu membukanya. "Pak Yusuf!" ia kaget melihat pria itu berdiri di depan kamar kosnya yang baru. Pertanyaannya, darimana Yusuf tahu dia pindah kesini.
"Untunglah masih hidup, kirain udah mati."
Sani langsung melotot mendengar ucapan sang bos.
Tinggalkan rumah Ucup
ayo Sani....kamu pasti bisa....ini br sehari....yg bertahun tahun aja kamu sanggup
gimana THOR