NovelToon NovelToon
BOSKU YANG TAK BISA MELIHAT

BOSKU YANG TAK BISA MELIHAT

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / LGBTQ / BXB
Popularitas:23
Nilai: 5
Nama Author: Irwin Saudade

Bruno menolak hidup yang dipaksakan ayahnya, dan akhirnya menjadi pengasuh Nicolas, putra seorang mafia yang tunanetra. Apa yang awalnya adalah hukuman, berubah menjadi pertarungan antara kesetiaan, hasrat, dan cinta yang sama dahsyatnya dengan mustahilnya—sebuah rasa yang ditakdirkan untuk membara dalam diam... dan berujung pada tragedi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irwin Saudade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 30

Pagi berikutnya, semuanya tampak berjalan seperti biasa, seolah tidak ada yang berubah… meskipun di dalam hatiku aku hancur berkeping-keping.

"Bagaimana perasaanmu, Nak?" Nenekku duduk di hadapanku, dengan tatapan tenangnya dan ekspresi lembut yang seolah menopangku.

Kami berdua sedang menyelesaikan sarapan. Aroma kopi masih menguar di udara, bercampur dengan renyahnya tortilla yang baru dibuat.

"Kurasa aku sudah lebih baik…" Aku berbohong setengah-setengah. "Aku bisa istirahat, dan sarapannya sangat enak."

Dia mengangguk dengan senyum lebar, senyum yang seolah ingin menutupi luka apa pun.

"Aku senang mendengarnya. Kamu ingin makan apa hari ini?"

Pertanyaan itu sederhana, tetapi bagiku terdengar seperti suara yang jauh, sesuatu yang tidak penting. Aku punya badai lain di kepala.

"Nenek…"

"Ada apa?"

Aku menelan ludah. Aku tidak bisa menahannya lagi.

"Nenek bilang ada seseorang yang tahu asal-usulku. Bisakah Nenek memberitahuku siapa orang itu?"

Ekspresinya berubah hanya sesaat, seolah kerutan di wajahnya mengeras dengan kebenaran yang akan dia ungkapkan. Kemudian dia mengangguk.

"Pria itu… adalah paman dari anak yang kamu rawat di kota. Gabriel."

Nama itu menghantamku seperti guntur. Aku tercengang! Dia? Apakah pria itu bisa memberiku jawaban yang selama ini kucari?

"Apakah dia ada di rumah orang tua Nicolás?"

"Kurasa begitu. Ayahmu membantunya dalam sesuatu."

Kata "ayah" membuat tenggorokanku tercekat. Tiba-tiba, kata itu terasa asing bagiku. Mengucapkannya, mendengarkannya… seperti membawa batu yang tidak pas di tanganku.

"Aku harus pergi menemuinya!" seruku tiba-tiba, seolah desakan itu membakarku dari dalam.

Dia tidak mencoba menghentikanku. Dia hanya menyentuh punggung tanganku dan meremas kulitku dengan lembut. Di matanya aku menemukan sesuatu yang lebih dalam: apakah dia ingin aku menemukan kebenaran meskipun itu menghancurkanku? Seberapa besar keberanian yang dia butuhkan untuk mengakuiku rahasia itu?

"Kamu sangat kuat, Nak. Aku ingin kamu mencapai impianmu. Kamu sudah berusaha keras… kamu pantas mendapatkan kehidupan yang baik!"

Kata-katanya membuatku bergidik.

"Terima kasih, Nenek. Orang tuaku belum tahu aku di sini."

"Apakah kamu akan menemui mereka?"

"Ya… tapi pertama-tama aku harus berbicara dengan paman Nicolás."

Butuh lima belas menit untuk sampai ke rumah besar itu, peternakan yang membuatku terkesan dengan dinding tinggi dan pintu kayu solidnya. Pintu yang sama yang telah kulewati lebih dari sebulan yang lalu. Ingatan itu membuat perutku menciut.

Aku mengetuk dengan mantap.

Seorang wanita yang tidak kukenal membuka pintu.

"Ada yang bisa saya bantu, anak muda?"

"Selamat pagi. Saya mencari Tuan Gabriel. Saya perlu berbicara dengannya."

"Kami tidak sedang merekrut sekarang," jawabnya dengan dingin, hampir dengan nada menghina.

"Apakah saya terlihat seperti sedang mencari pekerjaan?" nadaku pecah dengan putus asa. "Tolong, saya perlu berbicara dengan Don Gabriel."

"Maaf, tapi…"

"Ini mendesak! Beritahu dia bahwa aku di sini. Bruno datang menemuinya." Aku menatapnya lekat-lekat, dengan keyakinan yang muncul dari lubuk hatiku yang terdalam. "Ini tentang Nicolás, putra Don Gabriel."

Itu sudah cukup. Wanita itu menegang dan membiarkanku masuk.

Ruang utama menyambutku dengan keheningan yang khidmat. Aku tenggelam dalam sofa kulit hitam. Kenyamanan itu kontras dengan kegelisahan yang menusuk dadaku.

Aku menunggu… sampai suara berat mengguncangku.

"Apa yang terjadi pada Nicolás?"

Aku bangkit dengan tiba-tiba. Gabriel ada di sana, dengan pembawaannya yang tegar, meskipun kelelahan tampak di matanya.

"Halo, Tuan." Aku mencoba menunjukkan rasa hormat, meskipun jantungku berdebar seperti genderang.

"Aku baik-baik saja," jawabnya. "Bagaimana putraku?"

Aku tersenyum.

"Dia baik-baik saja. Kemarin adalah operasi terakhirnya. Sekarang dia di rumah, sedang memulihkan diri."

Desahan lega melembutkan raut wajahnya.

"Senang mendengarnya."

Dia duduk di hadapanku. Aku tahu aku tidak bisa membuang waktu lagi.

"Aku datang karena aku perlu meminta sesuatu… agar Anda menceritakan kebenaran."

Alisnya berkerut.

"Kebenaran?"

"Ya. Nicolás memberitahuku bahwa Anda adalah pamannya. Sebagai anggota keluarga langsung… Anda bisa memberitahuku apa yang perlu kuketahui."

Dia terdiam, hampir tidak percaya.

"Kebenaran apa yang ingin kamu dengar dariku?"

Suaraku bergetar, tetapi aku mengatakannya.

"Ini tentang diriku."

Aku menelan ludah, mengepalkan tangan agar tidak hancur.

"Aku ingin Anda jujur padaku. Apakah benar bahwa Anda tahu siapa orang tua kandungku?"

Pertanyaan itu menghantamnya. Aku melihat keterkejutan di matanya.

"Orang tua… kandungmu?"

"Ya."

Keheningan menjadi tak tertahankan. Gabriel bangkit, pergi ke bar, membuka sebotol tequila dan meminumnya dengan rakus. Ketika dia kembali, tangannya sedikit gemetar.

"Aku… aku bertanggung jawab untuk menculikmu dari orang tuamu," katanya akhirnya, dengan suara yang pecah. "Itu benar. Aku tahu siapa mereka. Ayahmu bernama Julio… ibumu, Elsa."

Duniaku runtuh. Mereka punya nama! Mereka bukan lagi bayangan, mereka nyata.

"Dan kenapa?" suaraku tercekat. "Kenapa Anda menculikku?"

Dia menunduk.

"Aku melakukannya untuk saudaraku, ayah Nicolás. Aku ingin membantunya keluar dari rasa sakit… tapi aku salah."

Dan kemudian, pengakuan itu meluap seperti sungai. Gabriel menceritakan tentang pengkhianatan, uang kotor, laporan polisi, baku tembak yang merenggut nyawa ibu Nicolás, dan jurang kesedihan tempat saudaranya jatuh. Di antara tequila dan desahan, dia mengakui balas dendamnya, kesalahannya, rasa malunya.

"Jadi aku menyerahkanmu ke pasangan lain untuk dibesarkan. Itu yang kulakukan, Bruno. Maafkan aku!"

Kata-kata itu menusukku seperti pisau. Namun, pada saat itu, aku tidak merasakan kebencian. Hanya kekosongan yang tak terukur, vertigo saat melihat ke belakang dan melihat bahwa seluruh hidupku didasarkan pada kebohongan.

"Terima kasih sudah jujur padaku," aku berhasil mengatakan.

Dia menutupi wajahnya dengan tangannya.

"Maafkan aku! Aku yang bersalah atas segalanya. Kebanggaanku membutakanku."

Aku menatapnya lekat-lekat. Aku bisa saja berteriak, mengutuk, membenci… tapi tidak. Apa gunanya? Aku masih hidup. Dan itulah satu-satunya hal yang penting.

"Tidak apa-apa. Aku tidak marah padamu."

Gabriel bernapas lega.

"Apa yang akan kamu lakukan sekarang setelah mengetahui kebenaran?"

"Tinggal beberapa hari di desa. Berpikir. Dan ya, aku juga ingin bertemu dengan keluarga kandungku."

Dia mengangguk perlahan.

"Terakhir kali yang kuketahui adalah mereka tinggal di San Luis Potosí. Biarkan aku menyelidiki, dan apa pun yang kutemukan akan kuberitahukan padamu."

"Terima kasih."

Saat keluar dari rumah itu, udara segar memenuhi paru-paruku. Aku merasakan kelegaan dan ketakutan pada saat yang sama. Sebagian diriku ingin menangis, sebagian lagi ingin berlari. Tetapi di atas segalanya, aku telah membuat keputusan: aku harus terus maju.

Aku melangkah menuju rumah tua dari tanah liat tempat orang tua angkatku tinggal. Setiap retakan di dindingnya tampak seperti kenangan yang rusak. Gerbang berkarat berdiri seperti penjaga masa lalu.

Aku berhenti. Jantungku berdebar seolah ingin melarikan diri dari dadaku. Aku membayangkan reaksi mereka, celaan mereka, tatapan mereka. Tapi aku harus menghadapinya.

Aroma gorengan meyakinkanku bahwa ibuku ada di dapur.

"Apa yang kamu lakukan di sini?!" suara ayahku membekukan punggungku.

Aku tidak melihatnya. Dia berada di belakangku, seperti bayangan yang tak terhindarkan.

"Apakah kamu tidak senang melihatku?" aku membalas, dengan amarah mencekik tenggorokanku.

Dia menatapku lekat-lekat, matanya seperti pisau.

"Tidak apa-apa kamu kembali. Tapi katakan padaku, kenapa kamu kembali? Kamu tahu betul bahwa aku mengirimmu bersama mereka agar kamu tidak kembali. Bos memberitahuku bahwa kecil kemungkinan kamu akan melakukannya. Apa yang terjadi? Apa kamu melakukan kesalahan?"

Sekali lagi, kami berhadapan muka, dan sekali lagi, ayahku menghalangi apa yang kuinginkan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!