Aluna Maharani dan Reza Mahesa sudah bersahabat sejak SMA. Mereka kuliah di jurusan yang sama, lalu bersama-sama bekerja di PT. Graha Pratama hingga hampir tujuh tahun lamanya.
Kedekatan yang terjalin membuat Aluna yakin, perhatian kecil yang Reza berikan selama ini adalah tanda cinta. Baginya, Reza adalah rumah.
Namun keyakinan itu mulai goyah saat Kezia Ayudira, pegawai kontrak baru, masuk ke kantor mereka. Sejak awal pertemuan, Aluna merasakan ada yang berbeda dari cara Reza memperlakukan Kezia.
Di tengah kegelisahannya, hadir sosok Revan Dirgantara. Seorang CEO muda yang berwibawa dari perusahaan sebelah, sekaligus sahabat Reza. Revan yang awalnya sekadar dikenalkan oleh Reza, justru membuka lembaran baru dalam hidup Aluna. Berbeda dengan Reza, perhatian Revan terasa nyata, matang, dan tidak membuatnya menebak-nebak.
Sebuah kisah tentang cinta yang salah tafsir, persahabatan yang diuji, dan keberanian untuk melepaskan demi menemukan arti kebahagiaan yang sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iqueena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA MINGGU?
Revan menatapnya, kali ini lebih berani. "Aku… masih sama, Na. Perasaanku ke kamu... nggak pernah berubah."
"Apa? Bukankah ini terlalu tiba-tiba?" batin Aluna.
"Aku menyukaimu, Na." tambah Revan.
Aluna terdiam beberapa saat. Ia sudah menduga hal ini, tapi tetap saja, ini terlalu cepat baginya.
Aluna buru-buru mengalihkan pembicaraan, "Kamu sudah makan malam? Kita makan dulu yuk." ucapnya sambil bangkit dari duduknya.
"Aku sudah makan." ucap Revan pelan.
"Oh... begitu..." Aluna duduk kembali.
Revan tersenyum. "Aku nggak minta jawaban malam ini juga, kamu bisa beri jawaban nanti."
"Baiklah, aku akan memikirkannya lagi. Beri aku waktu."
Revan mengangguk dan tersenyum "Aku akan menunggu. Lagi."
Aluna hanya bisa mengangguk, sudah pasti ia merasa tidak enak karena Revan sudah menunggunya setahun ini, berapa lama lagi dia akan menunggu.
...****...
...~POV REVAN~...
Keesokan harinya, Revan duduk di ruang kerjanya sambil memandangi layar ponsel di atas meja, berharap ada pesan masuk dari Aluna.
TING!
Satu pesan masuk, ia buru-buru mengambil ponselnya dan memejamkan mata sebentar, lalu membukanya perlahan, mengintip siapa yang mengiriminya pesan.
"Aishhh..." ucapnya geram.
Tanpa membalas pesan dari sekertaris nya itu, ia membalik layar ponselnya lagi, dan di telungkupkannya di atas meja.
Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja, menunggu pesan dari seseorang yang ia harapkan. Sesekali ia mengangkat ponselnya, menatap layar yang tetap sepi tanpa notifikasi.
Beberapa menit kemudian, satu notifikasi pesan masuk. Dengan cepat ia mengangkat ponselnya lagi. Namun yang masuk hanya pesan dari operator.
"Kenapa aku kasih dia waktu? Seharusnya aku minta jawaban waktu itu juga. Aghh, kau bodoh Revan." gumamnya.
Tak lama kemudian, Sean masuk sambil membawa beberapa berkas berisi agenda rapat. Setelah meletakkannya di meja, ia segera berbalik untuk pergi.
Namun, saat hendak membuka pintu.
"Sean, tunggu dulu." panggil Revan.
Sean berbalik. "Iya Pak, ada apa?"
Revan berjalan menuju sofa. "Kesini sebentar, ada yang mau aku tanyakan."
Sean menyipitkan mata. "Sebagai Pak CEO, atau sebagai teman?"
"Sebagai teman, cepatlah." ucapnya sambil mengayunkan tangan sebagai isyarat.
Tanpa banyak bertanya lagi, Sean akhirnya duduk di sofa seberang Revan.
"Kalau begitu, aku akan bicara santai." ujar Sean sambil meraih toples cemilan di atas meja.
"Terserah. Aku mau tanya."
"Tanya apa?" sahut Sean sambil mengunyah.
"Ini soal perempuan." tutur Revan.
Senyum Sean merekah. "Perempuan? Aaaaa, ternyata ada perempuan yang membuatmu terganggu."
"Bukan terganggu! Hanya..."
"Hanya...?" ulang Sean.
Revan memejamkan matanya sebentar, menahan malu sebelum akhirnya berkata.
"Berapa lama biasanya perempuan memberi jawaban?"
Uhuk!Uhuk!
Mendengar ucapan itu, Sean tersedak cemilan yang hendak di telannya.
"Kamu... menyatakan cinta, Van?"
Revan mengangguk kecil. "Dan dia minta waktu untuk menjawab, padahal aku sudah menunggu setahun untuk menyatakan itu."
"Setahun? Wah... perempuan itu hebat, biasanya justru mereka lah yang mengantre untukmu."
"Entahlah. Jadi, biasanya berapa lama?"
Sean mengusap dagunya seakan berpikir, "Emm... Aku rasa..."
"Aku rasa...?" ulang Revan tak sabar.
Sean melirik sekilas, lalu tersenyum usil. "Aku rasa kamu harus menunggu setahun lagi."
Revan berdecak dan menghela nafas kasar. "Ternyata aku salah nanya ke kamu."
Sean tertawa kecil dan menutup toples cemilan tadi. "Siapa orangnya? Apa aku kenal?"
Revan melirik Sean sambil mengulum senyumnya. "Dia... dari perusahaan sebelah. PT Graha Pratama."
Mata Sean membulat "Serius? Anak pemilik perusahaan yang penuh skandal itu?"
Revan mendengus kasar. "Bukan dia, tapi salah satu karyawan di sana."
Sean menghela nafas lega. "Huhh... Syukurlah kalau bukan dia." ia berdiri dan menambahkan.
"Biasanya perempuan akan memberi jawaban dalam dua minggu. Kalau lewat dari itu, berarti dia menolakmu."
Revan mengambil bantal sofa dan melemparkannya ke Sean. "Keluar, jawaban darimu nggak ada gunanya."
Sean tertawa keras sambil menangkis bantal, lalu melangkah ke pintu. Namun, sempat ia berbalik lagi.
"Aku serius, Van. Kamu tunggu aja dua minggu. Semoga berhasil, haha." lalu ia buru-buru berlari sebelum Revan melempar bantal lagi.
Revan menghempaskan tubuhnya ke sofa, pandangannya jatuh pada gedung perusahaan tempat Aluna bekerja.
"Dua minggu? Baiklah, Aluna. Aku tunggu jawabanmu dua minggu lagi."
...~POV REVAN END~...
...****...
Aluna akhirnya kembali ke apartemen setelah hari yang cukup melelahkan di kantor. Ia membuat segelas kopi, mengambil camilan dari kulkas, lalu berjalan menuju sofa ruang tamu.
Remote TV ia raih dari atas meja dan menyalakan televisi, lalu memilih channel hiburan. Kebetulan malam itu drama on-going yang diikutinya sedang tayang. Ia menaruh remote dan mulai menikmati waktunya.
Awalnya ia bisa fokus menonton, sampai ucapan Revan semalam kembali terngiang.
"Aku masih sama, Na. Perasaanku ke kamu nggak pernah berubah."
"Aku menyukaimu, Na."
Matanya tetap menatap layar, namun pikirannya berputar pada kalimat itu.
"Aishhh..." gumamnya sambil menggaruk kepala.
Tak lama, sebuah pesan masuk. Membuat pikiran itu buyar seketika. Namun, pesan masuk itu malah menambah dilemanya.
"Huhhh... Apa ini hanya alasan supaya dia bisa menanyakan jawabanku? sebaiknya aku tolak dulu."
"Maaf. Aku sudah makan, kita makan malam bersama lain kali." balasnya.
Setelah itu ia mematikan layar ponselnya. Padahal sebenarnya Aluna belum makan malam. Ia hanya takut bertemu Revan karena belum siap memberi jawaban atas ucapannya semalam.
Akhirnya Aluna mematikan televisi dan bergegas masuk ke kamar. Ia merebahkan tubuh di atas kasur, menarik selimut hingga menutupi tubuhnya, berusaha memejamkan mata.
Namun, ucapan Revan semalam kembali menghantuinya. Kata-kata itu berputar begitu saja di kepalanya.
Aluna membuka mata lebar lalu menendang-nendang selimut yang menutupi tubuhnya.
"Kurasa aku sudah gila, kenapa kata-kata itu terus bermunculan?!" gumamnya.
Kemudian ia bangkit dan berjalan ke dapur untuk mengisi botol air minum.
"Kurasa kopi yang baru kubeli itu bisa bikin orang jadi gila." ucapnya dalam hati sambil meneguk sedikit air.
Saat ia hendak kembali ke kamar, bel pintu berbunyi.
"Hah? Siapa lagi yang datang kali ini?" batinnya lalu berjalan menuju pintu.
Ia mengintip sebentar melalui lubang kecil di pintu, mencari tahu siapa yang datang.
"Yuna?" ucapnya lalu cepat-cepat membukakan pintu.
Saat pintu terbuka, terlihat di depan sana, Yuna sedang berdiri dengan wajah merah dan mata sembab yang masih berair.
"Yuna? Kamu kenapa?" tanya Aluna, segera menariknya masuk.
"Aluna... hiks hiks... Andika, Na." ucap Yuna sambil menjatuhkan tubuhnya ke sofa.
"Andika? Kenapa dia? Dia selingkuh?! Jantan itu memang harus diberi pelajaran!" sahut Aluna sambil mengepalkan tangan.
"An-dika, dia..."
"Dia kenapa!? Cepat kasih tau aku!!" desak Aluna.
"D-dia... Putusin aku huaaaa..." tangis Yuna akhirnya pecah.
Mata Aluna membulat. "Putus?? Tapi kenapa?"
"Karena..." Yuna terisak, napasnya tersengal. "Aku menolak." lanjutnya.
"Menolak? Menolak apa?" tanya Aluna dengan kening berkerut.
✒️Bersambung.
...----------------...
Nah, kuis lagi nihhh. Ada yang bisa tebak Andika mutusin Yuna karena menolak apa? Seperti yang kalian tau, mereka adalah pasangan gila kan? Seharusnya sudah tau jawabannya dong🤭.
Terus temenin kisah Aluna sampai akhir yah. Jangan lupa like dan komen.
Gamsahamnida 🙏🏻 🌹
kebanyakan nonton Drakor lu lun..
kali dia emang mau ngasih duit segepok,tapi nyuruh jgn ninggalin anaknya
abis....takut belok beneran
ini mumpung ada betina yg mau dan khilaf🤣🤣🤣
yg penting pasangan perempuan..
seenggaknya lega euy,anak gw ga belok
abis ga pernah ketawan gandeng cewek
di ga tau aja,udah kyk soang anknya maen nyosor Mulu🤣🤣