NovelToon NovelToon
Bayangan Si Cupu Tampan

Bayangan Si Cupu Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: Ahmad Taufik

Di balik kacamata tebal, kemeja kusut, dan sepatu bolongnya, Raka Arya Pratama terlihat seperti mahasiswa paling cupu di kampus. Ia dijauhi, dibully, bahkan jadi bahan lelucon setiap hari di Universitas Nasional Jakarta. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Tidak ada yang peduli pada dirinya.

Tapi tak ada yang tahu, Raka bukanlah mahasiswa biasa.

Di balik penampilan lusuh itu tersembunyi wajah tampan, otak jenius, dan identitas rahasia: anggota Unit Operasi Khusus Cyber Nusantara,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Akhir rico

Raungan mesin Ferrari itu memecah keheningan malam.

Suaranya begitu mencolok, menderu garang saat menembus jalanan sempit di pinggiran kota. Lampu depan menyala tajam, seperti sepasang mata elang yang siap menerkam. Lalu—

BRAK!!

Gerbang besi gudang tua itu terpental, terhantam keras oleh moncong Ferrari merah yang tak menunjukkan tanda-tanda hendak melambat. Serpihan besi berhamburan, suara dentang besi dan debu yang mengepul membuat semua orang di dalam gudang terkejut bukan main.

Rico memutar kepala, nyaris menjatuhkan kursi tempat Cheviolla terikat. Napasnya yang semula berat karena niat jahatnya kini berubah menjadi kesal dan terancam.

“Apa lagi itu—!”

Pintu mobil terbuka cepat. Seorang pria turun dengan langkah mantap, tubuhnya tegap, wajahnya dingin.

Rambutnya sedikit berantakan akibat angin malam, dan mata hazel miliknya tampak menyala di bawah cahaya lampu gudang yang berkedip. Dia melepas jaket tipisnya, menunjukkan postur tubuh proporsional yang sama sekali tidak bisa dikaitkan dengan sosok culun berkacamata bulat beberapa waktu lalu.

Raka Arya Pratama.

Cheviolla mendongak. , matanya membelalak. Ia tahu siapa yang datang, dan meski situasinya kacau, hatinya seperti disentuh harapan.

Dengan penuh tenaga, ia berteriak semampunya setelah lakban di bibirnya terlepas, “RAKA!!”

Rico terdiam.

Tubuhnya membeku di tempat. Ia mengenali suara itu. Tapi yang berdiri di hadapannya sekarang… bukan Raka yang ia kenal. Bukan si cupu pemalu yang sempat nembak Cheviolla di depan umum dan jadi bahan tertawaan.

Yang berdiri sekarang adalah pria dengan aura dingin dan mematikan. Tatapannya menusuk. Tanpa kata. Tanpa basa-basi.

Bahkan beberapa bawahannya mulai saling pandang, ragu, satu di antaranya berbisik, “Itu… beneran Raka?”

Raka tidak berkata apa-apa.

Tatapannya hanya tertuju pada Cheviolla—melihat rambutnya yang berantakan, tangan yang terikat, kulit yang sedikit memar di pergelangan. Seketika itu juga, sorot matanya berubah lebih tajam dari sebelumnya.

Dan tanpa aba-aba—

WUSS!!

Tubuhnya melesat cepat ke arah Rico.

DUAGH!!

Tinju pertama mendarat di rahang Rico, membuat pria itu terlempar dan menabrak meja kayu. Suara benturan keras disusul dengan lenguhan sakit dari mulut Rico yang kini berlumuran darah.

“ARGHH!!”

Bawahan Rico sontak bergerak, lima orang sekaligus menyerbu ke arah Raka. Tapi—

BUK!!

BRAK!!

DUGG!!

Satu per satu tumbang. Seolah mereka bukan preman, tapi anak-anak TK yang belum belajar bertarung. Raka menghindar dengan kecepatan tinggi, lalu membalas dengan pukulan yang tepat dan penuh tenaga. Satu orang mental ke tumpukan dus. Satu lagi langsung jatuh setelah perutnya dihantam lutut.

Raka tidak bicara. Tidak ada amarah yang keluar dari mulutnya—semuanya tercurah lewat tangan dan tatapan dinginnya.

Satu teman Rico mencoba kabur lewat pintu belakang. Tapi belum sempat menyentuh gagang pintu, tubuhnya disergap Raka dari belakang, lalu—

DUGHH!!

Kepalanya terbentur dinding. Ia jatuh pingsan.

Gudang itu berubah jadi medan keheningan yang mencekam. Yang terdengar hanya suara napas terengah Rico yang merangkak di lantai, wajahnya babak belur, sudut bibirnya berdarah, matanya membelalak penuh ketakutan. Ia tidak lagi bisa bicara, hanya bisa menatap pria yang berdiri di hadapannya—Raka, si mantan cupu, yang kini seperti iblis dalam wujud manusia.

Raka menunduk. Menatap Rico sejenak. Lalu membuka mulut untuk pertama kalinya malam itu.

“Sentuh dia lagi,” katanya pelan tapi dingin, “dan kau tidak akan punya tangan untuk mengulanginya.”

Rico gemetar. Tidak bisa menjawab. Kakinya lunglai.

Raka segera berbalik, melangkah ke Cheviolla, melepaskan ikatan di tangannya perlahan, dengan gerakan yang jauh lebih lembut dibanding yang ia lakukan pada para penyerangnya.

Begitu ikatan lepas, Cheviolla langsung jatuh ke pelukan Raka.

Air matanya mengalir, bukan karena takut, tapi karena rasa aman yang tiba-tiba menyelimuti dirinya.

“Maaf aku terlambat,” bisik Raka.

Cheviolla menggeleng. “Kamu datang tepat waktu…”

Raka menatap wajah gadis itu, menyentuh pipinya yang memar dengan hati-hati, sebelum mengalihkan pandangannya ke seluruh gudang yang kini berantakan.

“Aku bawa kamu pulang,” ucapnya. “Semuanya sudah selesai.”

Lalu mereka berjalan keluar, meninggalkan gudang tua itu di balik mereka.

Dan di belakang, Rico masih tergeletak, tubuhnya gemetar, menyadari satu hal yang terlambat ia pahami—

Raka bukan pria yang bisa diremehkan.

.

.

Rico masih berguling di lantai, menahan nyeri luar biasa dari pukulan Raka yang datang begitu cepat dan brutal. Wajahnya berdarah, napasnya memburu. Ia menatap sosok yang berdiri tegak di hadapannya—bukan lagi Raka yang dulu ia ejek dan injak-injak sebagai “katak culun”. Sosok itu tegap, sorot matanya tajam membakar, dan tubuhnya menjulang dengan aura menakutkan.

"Siapa kau sebenarnya?!" Rico berteriak, suara gemetar, setengah panik.

Raka tak menjawab. Ia hanya berjalan pelan mendekati Rico yang tertatih ingin menjauh, menyeret tubuhnya mundur dengan sisa-sisa tenaga. Di belakang mereka, beberapa anak buah Rico sudah tak berdaya, terkapar bagai karung kosong. Teman Rico yang tadi ikut menculik pun hanya bisa duduk membisu di pojok, wajah mereka pucat dan tangan gemetar.

Melihat itu, Rico mencoba memainkan kartu terakhirnya. “Kau tahu siapa aku?! Ayahku—ayahku pejabat tinggi! Kalau kau sentuh aku, habis kau!”

Seketika langkah Raka terhenti. Ia mendengus pelan.

“Oh,” ujarnya datar, namun penuh tekanan. “Jadi kau pikir, karena ayahmu punya kekuasaan… kau bisa seenaknya menyentuh wanitaku?”

Tatapan hazel Raka membara. Suaranya rendah namun tajam seperti bilah pedang yang siap menebas.

“Sayangnya, aku bukan tipe yang suka melapor polisi atau menunggu hukum main. Kau menyakiti wanitaku. Harusnya, kau sudah mati di sini.”

Rico menatapnya dengan mata melebar. “Ti—tida—!”

Crack!

Satu hentakan keras menghantam lutut Rico. Terdengar suara retakan yang memuakkan. Jeritan menyayat keluar dari mulut Rico.

“AAARRRGGHHH!!”

Satu lagi.

Crack!

Jeritan kedua bahkan lebih liar dari sebelumnya, hingga suaranya serak. Rico berguling tak terkendali di lantai gudang yang dingin, tubuhnya kejang. Kedua kakinya kini hancur.

Raka memandangnya dengan ekspresi datar. “Itu… pelajaran. Anggap saja aku masih cukup baik karena tak membuatmu lumpuh total.”

Tanpa memedulikan Rico yang sudah hampir pingsan, Raka membalikkan badan dan berlari ke arah Cheviolla yang masih duduk terikat di kursi besi, rambut acak-acakan, napas tak teratur. Namun begitu melihat Raka mendekat, mata Cheviolla langsung berkaca-kaca.

“Raka…”

“Aku di sini,” ucap Raka pelan, tangannya cepat melepas ikatan tangan dan kaki Cheviolla. Dengan lembut, ia memegang wajah gadis itu. “Maaf, aku terlambat.”

Cheviolla tak berkata apa-apa. Ia langsung menubruk dada Raka, memeluk erat seolah tak mau melepaskan lagi. Bahunya bergetar.

Raka tak mengatakan apa pun. Ia hanya memeluk balik, membiarkan Cheviolla menangis dalam diam di dadanya. Perlahan, aroma bensin dan darah di sekitar seolah menguap, digantikan ketenangan aneh yang lahir dari satu pelukan.

Namun di balik ketenangan itu, satu hal telah berubah. Sejak malam itu, nama Raka tak lagi hanya “si culun kampus”.

Dan bagi Rico…

Malam itu adalah malam terakhir dalam hidupnya… di mana dia masih bisa berjalan.

.

Langkah Raka mantap, tubuhnya tegap membopong Cheviolla dalam pelukan protektifnya. Gadis itu memeluk leher Raka erat, wajahnya masih basah oleh air mata, tapi kali ini bukan karena ketakutan—melainkan karena rasa aman yang kembali ia rasakan.

Derap sepatu Raka menggema di lantai gudang yang dingin, melewati tubuh-tubuh terkapar yang hanya bisa menatap kosong penuh ketakutan. Rico tergeletak tak jauh dari pintu, tak sadarkan diri dengan kedua kakinya yang tak lagi bisa diluruskan.

Begitu tiba di luar, di bawah langit senja yang mulai meredup, Ferrari milik Raka masih berdiri gagah dengan pintu terbuka. Mesin supercar itu masih menyala, menderu pelan bagai binatang buas yang menunggu perintah tuannya.

Raka membuka pintu penumpang dengan satu tangan, lalu perlahan membaringkan Cheviolla di kursi kulit berwarna krem. Ia menarik sabuk pengaman, memasangkannya dengan hati-hati. Tatapan mata hazel miliknya sesekali menatap wajah Cheviolla yang tampak lelah, namun kini jauh lebih tenang.

Setelah memastikan Cheviolla aman, Raka berdiri tegak, mengeluarkan ponsel dari saku celana belakangnya. Dengan satu sentuhan, ia menghubungi seseorang.

“Target sudah jelas,” ucap Raka tenang, matanya menatap gudang yang mulai redup diterpa cahaya matahari terakhir.

“Nama-nama sudah kukirimkan. Rico, kroninya, dan… ayahnya.”

Suara di seberang menjawab singkat, “Dipahami.”

“Seret semuanya malam ini juga. Termasuk bukti-bukti korupsi yang kau temukan dulu. Aku tahu kasus itu sempat tertutup, kan? Sekarang waktunya dibuka kembali. Habisi pengaruhnya dari akarnya.”

Ia mengakhiri panggilan.

Raka kembali menatap gudang, lalu berjalan perlahan menuju sisi pengemudi. Sebelum masuk, ia memandang satu arah jauh di seberang gedung—tempat beberapa SUV hitam kini mulai bermunculan dalam keheningan, tanpa suara sirine, hanya nyala lampu kecil yang terkoordinasi. Orang-orang di dalamnya turun dengan pakaian gelap, gerakan mereka cepat dan rapi. Beberapa dari mereka segera masuk ke gudang, membawa borgol dan perlengkapan elektronik.

Malam ini akan jadi malam terakhir Rico dan teman-temannya menghirup kebebasan.

Dan ayah Rico—yang selama ini berselimut kekuasaan—akan segera ditarik ke tempat di mana tak ada koneksi atau uang yang bisa menyelamatkannya.

Raka masuk ke dalam mobil dan menyalakan gas. Ferrari itu meraung seperti naga bangkit, sebelum melaju cepat di jalanan sepi. Di dalam kabin, Cheviolla memejamkan mata dengan napas perlahan. Tangannya menggenggam jemari Raka tanpa berkata-kata.

Ia tahu, sejak hari ini… tak ada lagi yang bisa menyentuhnya tanpa harus melewati Raka.

1
Suyono Suratman
mantap
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!