Dulu, dia hanyalah seorang anak jalanan—terlunta di gang sempit, berselimut kardus, hidup tanpa nama dan harapan. Dunia mengajarinya untuk tidak berharap pada siapa pun, hingga suatu malam… seorang gadis kecil datang membawa roti hangat dan selimut. Bukan sekadar makanan, tapi secercah cahaya di tengah hidup yang nyaris padam.
Tahun-tahun berlalu. Anak itu tumbuh menjadi pria pendiam yang terbiasa menyimpan luka. Tanpa nama besar, tanpa warisan, tanpa tempat berpijak. Namun nasib membawanya ke tengah keluarga terpandang—Wijaya Corp—bukan sebagai karyawan, bukan sebagai tamu… tapi sebagai calon menantu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melati dan Mira
Dan sementara delapan naga berkumpul dalam gelap...
Di siang yang sama, Di Kantor Utama Wijaya Corp
Pertemuan resmi telah usai. Para investor satu per satu meninggalkan ruangan, disambut oleh senyum profesional para staf serta bunyi pintu yang kembali tertutup dengan pelan.
Setelah keramaian mereda, yang tersisa hanyalah dua sosok yang kini duduk berdampingan di sofa ruang kerja pribadi—dalam keheningan yang lebih berat daripada perdebatan bisnis mana pun.
Aditya dan Tuan Wijaya tidak langsung membuka percakapan.
Di hadapan mereka, dua cangkir teh telah disajikan, namun belum satu pun disentuh.
"Aku tidak menyangka segalanya akan berjalan sebaik ini," gumam Aditya pelan, masih terdengar takjub. "Padahal baru kemarin kita nyaris lumpuh total."
Tuan Wijaya hanya mengangguk tipis. Tatapannya tertuju ke jendela, meski jelas pikirannya tak berada di sana.
Beberapa saat berlalu dalam diam. Aditya menunduk, menatap punggung tangannya sendiri.
"Ayah..." ucapnya perlahan. "Terkait Melati dan Mira... langkah apa yang sebaiknya kita ambil?"
Tuan Wijaya tidak segera menjawab. Ia hanya menoleh sedikit, lalu kembali menunduk—seolah pertanyaan itu mengandung beban yang tak mudah dipikul.
"Aku tahu mereka bersalah," lanjut Aditya. "Namun... aku pun tidak yakin bagaimana menyikapinya.”
"Terus terang, sampai sekarang aku masih sulit mempercayai bahwa mereka mampu melakukan hal sejauh itu."
Tuan Wijaya menghela napas panjang. Jemarinya menyentuh pelan tepi cangkir teh yang kini mulai mendingin.
"Ayah juga tidak pernah membayangkan semua ini akan terjadi."
"Melati adalah putriku sendiri. Dan Mira... sudah menjadi bagian dari keluarga ini selama bertahun-tahun."
Ia menatap kosong ke arah meja di hadapannya.
"Aneh rasanya. Sangat aneh... ketika menyadari bahwa pengkhianatan itu datang bukan dari luar, melainkan dari dalam." Aditya menggigit bibirnya.
Lalu berkata pelan, "Mungkin mereka merasa... diabaikan."
Tuan Wijaya sedikit menoleh, ekspresinya menunjukkan keterkejutan.
"Aku hanya... mencoba memahami. Selama ini, Ayah memang lebih sering mempercayakan berbagai tanggung jawab kepadaku. Aku tahu itu bukan tanpa alasan, namun mungkin bagi mereka, hal itu terasa seperti... bentuk pengesampingan."
Tuan Wijaya terdiam sejenak. Matanya menajam, seolah sedang menelusuri kembali perjalanan keluarga ini.
"Gunawan, suami Melati... terlalu diam, terlalu pasif. Aku tidak pernah melihatnya sebagai sosok yang mampu menjadi nahkoda."
"Sedangkan Haris, suami Mira... memang penuh ambisi, tapi terlalu mudah dipermainkan. Aku tidak memiliki cukup kepercayaan untuk menyerahkan hal-hal penting padanya."
"Tetapi mungkin... selama ini aku terlalu fokus pada kekurangan mereka, hingga lupa bahwa perasaan manusia tidak sesederhana hitungan rasional bisnis."
Aditya kembali menunduk dalam.
"Aku juga bingung, Yah."
"Jika dibiarkan begitu saja, ini bisa menjadi preseden buruk bagi keluarga. Namun jika harus dihukum... itu berarti kita benar-benar memutus hubungan."
"Dan aku... tidak yakin sanggup melakukannya."
Tuan Wijaya menatap anaknya. Tatapannya kali ini lebih hangat, lebih lunak.
"Kamu memiliki hati, Adit. Itulah yang membedakanmu."
"Itu pula alasanku mempercayakan banyak hal kepadamu."
Aditya mengangkat wajahnya perlahan.
"Lalu... apa yang akan kita lakukan?"
Tuan Wijaya berdiri. Langkahnya tenang, menyusuri ruang kerja hingga tiba di hadapan jendela besar yang menghadap ke cakrawala kota.
"Kita tunggu," jawabnya datar. "Kita lihat apakah mereka menyadari kesalahan mereka."
Aditya mengernyit, lalu bertanya pelan, "Dan jika tidak?"
Tuan Wijaya tidak menoleh. Namun ucapannya terdengar jelas—dingin, tetapi penuh ketegasan.
"Maka pada akhirnya, yang memutuskan bukan kita."
"Dunia ini... memiliki caranya sendiri untuk menyeimbangkan yang telah tergelincir."
Aditya mengangguk pelan. Dalam diamnya, ia memahami—apa pun yang terjadi setelah ini, keluarganya tidak akan pernah sama lagi.
Namun mungkin, justru dari luka itu... mereka bisa belajar lebih dari sekadar menjaga nama besar.
Mereka harus belajar... menjaga hati.
_______
Di tempat lain.
Mira mondar-mandir dengan ponsel menempel di telinga. Nadanya naik turun, panik. Sementara Melati duduk di sofa dengan wajah kaku, menatap layar laptop yang menampilkan grafik keuangan menukik tajam.
“Bagaimana bisa? Kalian bilang dana sudah aman!” bentak Mira ke seberang telepon. “Kenapa sekarang malah dibekukan?!”
Ia mematikan telepon dengan kasar.
“Portofolio kita di anak usaha Lim... habis, Mel.”
Melati tidak menjawab. Matanya masih terpaku pada notifikasi berderet:
“Transaksi ditolak.”
“Akses Anda dibatasi.”
“Sumber dana tidak tersedia.”
Mira meremas rambutnya. “Kita baru beberapa hari lalu mengalihkan aset ke perusahaan Lim—dan sekarang, semua lenyap!”
Melati akhirnya membuka suara, dingin.
“Kita terlalu percaya pada Lim.”
“Waktu itu kamu sendiri yang bilang, ini kesempatan untuk ambil alih kontrol dari dalam.”
Mira menatap Melati dengan sorot tajam.
“Dan kamu setuju!”
Melati tidak menanggapi. Namun jelas dari wajahnya—ia sedang menghitung, mencoba mencari sisa celah.
“Bagaimanapun ini tidak masuk akal,” gumamnya. “Mereka adalah keluarga besar. Mereka punya koneksi. Bahkan menjadi salah satu keluarga yang diam-diam mengatur negara ini. Bagaimana mungkin mereka tiba-tiba hancur?”
“Dan anehnya... kita juga ikut kena imbas. Padahal kita jalan dengan diam-diam.”
Mira menghempaskan tubuhnya ke sofa, napasnya pendek-pendek.
“Mel... kita harus lakukan sesuatu,” ucapnya pelan. “Kita tidak bisa duduk diam dan menunggu semuanya hancur.”
Melati masih menatap layar laptop. Klik pelan dari touchpad jadi satu-satunya suara yang terdengar di ruangan.
“Semua sudah hancur, Mir.”
“Dana kita dibekukan, koneksi Lim lumpuh, akses ke Wijaya Corp diputus. Sepertinya Ayah juga sudah tau apa yang kita lakukan?”
Mira menatapnya, cemas.
“Kalau begitu kita minta maaf, Mel.”
Ucapan itu membuat Melati menoleh untuk pertama kalinya. Matanya sempit, penuh ketidakpercayaan.
“Minta maaf?”
“Kita kembali ke Ayah. Kita jelaskan semuanya. Mungkin masih ada cara untuk... memperbaiki semuanya.”
Melati tertawa kecil. Datar. Penuh sinisme.
“Memperbaiki?” ulangnya pelan. “Kamu pikir ini soal salah paham kecil?”
“Bukan itu maksudku—”
“Kita sudah bermain di meja besar, Mira. Kita hampir berhasil. Dan kamu mau... minta maaf seperti anak sekolah?”
Mira bangkit dari duduknya, berdiri dengan gelisah.
“Aku gak tahu apa yang kamu pikirkan, tapi aku masih peduli sama keluarga ini. Sama Ayah. Sama semuanya.”
Melati memalingkan wajah.
“Dan itulah kenapa kamu gak pernah cocok dalam permainan ini.”
Mira menggigit bibir, lalu meraih tasnya.
“Kalau kamu gak mau ikut... aku akan bicara sendiri ke Ayah.”
Melati tak menjawab. Ia hanya menunduk, dan menatap sejenak ponselnya sendiri—lalu pelan-pelan mengetik sesuatu.
Begitu Mira meninggalkan ruangan dengan langkah cepat, Melati bersandar ke sofa. Memejamkan matanya dan bergumam kesal.
“Sial, bagaimana ini bisa terjadi?”
Di luar jendela, langit tampak bersih. Cerah, seolah mengejek kekacauan di dalam ruangan.
Melati berdiri perlahan. Sorot matanya tajam, dingin.
“Kalau semua orang pikir ini akhir…” bisiknya pelan, “…maka mereka belum mengenalku.”
Langkahnya mantap, menembus cahaya mentari yang jatuh di lantai marmer.