Bayangmu di Hari Pertama
Cinta yang tak lenyap meski waktu dan alam memisahkan.
Wina Agustina tak pernah mengira hari pertama OSPEK di Universitas Wira Dharma akan mengubah hidupnya. Ia bertemu Aleandro Reza Fatur—sosok senior misterius yang ternyata sudah dinyatakan meninggal dunia tiga bulan sebelumnya. Hanya Wina yang bisa melihatnya. Hanya Wina yang bisa menyentuh lukanya.
Dari kampus berhantu hingga lorong hukum Paris, cinta mereka bertahan menantang logika. Namun saat masa lalu kembali dalam wajah baru, Wina harus memilih: mempercayai hatinya, atau menerima kenyataan bahwa cinta sejatinya mungkin sudah lama tiada…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarifah31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 – Runtuhnya Dinding yang Terakhir
Langkah kaki mereka berdua bergema pelan di aula utama kampus Wira Dharma, tempat yang kini penuh dengan senyum, tawa, dan nostalgia. Suasana ramai, tapi di dalam hati Fatur, semuanya mendadak hening.
Satu demi satu, potret besar tergantung rapi di dinding-dinding aula. Foto-foto hitam putih bercampur warna cerah. Semua tentang momen kampus, kehidupan mahasiswa, dan kenangan masa lalu yang hidup kembali dalam bingkai.
Wina berjalan sedikit di depan, tangannya sesekali menunjuk ke arah foto teman-temannya, atau menceritakan gurauan masa lalu. Tapi Fatur—ia tak lagi bisa mendengar dengan jelas.
Langkahnya melambat.
Matanya terpaku pada satu foto di sisi kiri aula.
Sebuah foto berukuran besar, diambil dengan kamera DSLR dari sudut datar. Isinya sederhana: sekelompok panitia OSPEK berdiri dalam barisan lurus. Sebagian tersenyum lebar, sebagian memasang wajah sok galak, khas kakak senior yang sedang bermain peran.
Tapi di pojok kanan foto itu—seorang pria berdiri dengan postur santai, tangan di saku jaket kampus biru navy, dengan senyum datar dan mata tajam yang seolah menyelidik siapa pun yang melihatnya.
Dan pria itu...
Persis dirinya.
Fatur terpaku. Napasnya tersangkut di tenggorokan. Dunia seperti runtuh perlahan.
Tangannya terangkat pelan, menyentuh kaca pelindung foto itu. Jemarinya gemetar, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Di bawah foto itu, tertulis nama-nama panitia:
> “Kak Citra – Ketua Panitia”
“Bima – Divisi Disiplin”
“Zara – Logistik”
“Aleandro Reza Fatur – Divisi Pendamping Kelompok”
Aleandro Reza Fatur.
Bukan Febriansyah.
Bukan Fatur Fahrezi.
Tapi Aleandro—nama yang bahkan tak pernah ia dengar dari keluarganya.
> "Aleandro...? Reza...? Tapi... kenapa wajah itu... kenapa aku...?"
Fatur mundur satu langkah. Tangannya tak kuat lagi menyentuh kaca. Lututnya lemas, perutnya mual, dan di dadanya muncul tekanan berat, seperti seluruh tubuhnya menolak kebenaran yang baru saja muncul.
Wina, yang sedari tadi mengamati dari samping, perlahan mendekat.
Ia melihat punggung Fatur yang membeku, pundaknya tegang, dan lehernya kaku.
Wajahnya ketika menoleh—memerah. Bukan karena malu, tapi terlalu banyak emosi yang datang bersamaan: bingung, marah, sedih, takut, dan sesuatu yang lebih dalam dari itu... rasa kehilangan yang tak terdefinisi.
“Fatur?” panggil Wina pelan.
Fatur tidak menjawab. Hanya memejamkan mata, lalu membuka lagi. Ia memandang Wina seolah melihatnya untuk pertama kali. Tapi juga... bukan pertama kali.
“Aku... aku pernah ke sini ya?” bisiknya lirih.
Wina menahan napasnya. Inilah momen yang selama ini ia tunggu. Tapi kenapa rasanya seperti melukai hati seseorang yang sedang mencari dirinya sendiri?
“Nama di foto itu... bukan aku,” gumam Fatur. “Tapi itu aku.”
Ia menatap Wina, matanya merah, suaranya pecah.
“Kenapa aku nggak ingat ini semua?”
“Kenapa aku merasa... kehilangan sesuatu yang penting sekali?”
Wina tidak langsung menjawab. Ia hanya mendekat, perlahan meraih lengan Fatur dan menggenggamnya dengan lembut.
“Mungkin... karena kamu pernah pergi terlalu jauh,” ucapnya.
“Dan sekarang... kamu baru kembali.”
Di Bawah Pohon Angsana
Langit mulai bergeser ke arah sore. Matahari turun perlahan, menyentuh pucuk-pucuk pohon dengan cahaya keemasan yang lembut. Di sisi timur kampus Wira Dharma, di dekat lapangan kecil yang sudah jarang dipakai, berdiri sebuah pohon tua yang rindang: pohon Angsana.
Dedaunannya berwarna hijau keemasan, sesekali gugur tertiup angin, jatuh melayang seperti serpih waktu yang tak ingin pergi terlalu cepat.
Wina duduk di bawah pohon itu, menyandarkan punggungnya pada batang kayu yang mulai retak. Di sebelahnya, Fatur duduk diam. Wajahnya masih diliputi kebingungan setelah melihat foto tadi. Tangannya memegang botol minum yang baru saja Wina sodorkan.
“Minumlah,” kata Wina pelan.
Fatur mengangguk kecil. Ia minum seteguk, lalu kembali menatap hamparan rumput di depannya. Daun-daun berguguran di sekitar mereka, dan udara sore terasa menenangkan, walau dalam hati Fatur ada badai yang belum reda.
"Aku pernah duduk di sini, ya?" tanya Fatur akhirnya, lirih.
Wina menoleh, matanya lembut. “Dulu kamu suka berdiri di sini, di bawah pohon ini... tiap pagi OSPEK. Sambil ngamatin barisan mahasiswa baru yang masih setengah sadar karena bangun kesiangan.”
Fatur tersenyum samar, tanpa tahu kenapa senyum itu muncul. Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, sebuah suara parau dan berat terdengar dari kejauhan.
"Ale...?"
Mereka berdua menoleh bersamaan. Seorang pria tua berjalan pelan dari arah taman, mengenakan topi kebun lusuh dan seragam hijau yang sudah memudar. Ia membawa gunting tanaman di tangan kanan, dan botol air di tangan kiri.
Pak Sabar.
Usianya sudah jauh lebih tua dibanding tiga tahun lalu. Langkahnya gontai, tapi matanya masih tajam. Sorotnya menatap Fatur dengan ketakjuban dan keraguan yang tumpang tindih.
“Ale... Aleandro?” ulang Pak Sabar, kini berdiri tak jauh dari mereka.
Fatur perlahan berdiri, kebingungan. “Maaf, Pak… saya... bukan Ale. Saya—”
Pak Sabar menghampiri, menyipitkan matanya, menatap Fatur dari ujung kepala hingga ke pelipis kirinya yang masih menyisakan bekas luka samar.
“Luka itu... suara itu... caramu berdiri...” gumam Pak Sabar. “Aku yang pertama lihat kamu waktu kamu jatuh di pelataran itu. Aku juga yang minta panitia ganti baju kamu karena basah kena hujan waktu OSPEK hari ketiga.”
Fatur membeku. Pandangannya tak lepas dari wajah Pak Sabar.
“Bapak... kenal saya?”
Pak Sabar mengangguk pelan, kemudian tersenyum getir. “Aku kenal kamu, Nak Ale. Kamu anak yang suka diam, tapi sekali bicara bikin semua mahasiswa baru takut separuh mati.”
Wina menahan napas.
“Pak,” gumamnya. “Beliau... sekarang dipanggil Fatur. Tapi saya tahu, ini Ale.”
Pak Sabar menghela napas panjang, lalu menatap Fatur dalam-dalam. “Kamu harus ketemu seseorang, Nak. Ibumu. Dulu dia sering datang ke sini, berdiri di bawah pohon ini, nyariin kamu.”
Fatur menggigit bibir bawahnya. Ia bingung. Antara percaya dan tidak. Antara takut dan ingin tahu. “Ibu…?”
“Ya. Ibunda Ale. Dia belum pernah berhenti percaya kalau kamu masih hidup.”
Pak Sabar lalu menepuk bahu Fatur dengan tangan gemetar.
“Datanglah ke rumahnya. Dia pasti menunggu.”
Fatur menoleh ke arah Wina. Tatapan mereka bertemu. Tak ada kata yang perlu diucapkan. Karena keduanya tahu, ini bukan akhir dari pencarian. Ini baru pintu... ke masa lalu yang selama ini mengurung mereka.
Bab ini
Momen puncak emosional bagi Fatur (Ale), ketika pertahanan terakhir dalam pikirannya runtuh oleh kenyataan visual yang tak terbantahkan: ia pernah hidup sebagai Aleandro Reza Fatur. Sebuah bagian dari dirinya yang lama terkubur, kini memaksa keluar. Menambahkan elemen nostalgia yang kuat, sekaligus membuka jalan bagi pertemuan emosional antara Ale/Fatur dan ibunya. Pohon Angsana berperan simbolis sebagai saksi diam masa lalu, kini, dan jembatan menuju pengungkapan kebenaran.
ku harap kamu milih aku sih
wina akhirnya pujaan hatimu masih hidup