Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DI BALIK STRATEGI
Ruangan apartemen Adrian terasa sunyi setelah percakapan panjang mereka soal surat pernikahan dan status hukum yang belum selesai. Hanya suara AC yang mendengung pelan. Maya masih duduk di sofa, menatap secangkir teh yang kini sudah dingin.
"Aku rasa kita harus ubah arah strategi," ucap Adrian sambil memutar laptopnya ke arah Maya. "Fakta bahwa kalian belum resmi bercerai bisa menjadi celah. Tapi juga bisa jadi boomerang kalau Reza atau pengacaranya memanfaatkan ini."
"Kalau begitu... apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Maya, suaranya sedikit lelah.
"Pertama, kita siapkan semua bukti yang membuktikan kalau selama masa pernikahan, kamu yang merawat Nayla penuh. Bukan hanya bukti tertulis, tapi juga saksi—tetangga, guru TK, bahkan foto atau video yang menunjukkan kedekatan kamu dengan Nayla."
Maya mengangguk pelan, menelan ludah sebelum bicara. "Kalau soal itu... aku punya banyak. Tapi, Reza pasti akan pakai alasan dia ayah kandung, dan secara hukum..."
Adrian menatapnya tajam. "Makanya kita harus main di sisi emosional. Hakim akan mempertimbangkan stabilitas anak. Kalau Nayla sudah terlalu dekat dengan kamu, itu jadi poin plus. Tapi—"
Dia berhenti sebentar, menyandarkan punggung di kursi. "Kamu siap kalau aku mulai gali sisi gelapnya Reza di pengadilan? Semua aibnya akan keluar."
Maya terdiam. Ada bagian dari dirinya yang ingin berteriak "ya", tapi ada juga rasa takut yang menghantui. "Kalau itu satu-satunya cara... aku siap."
Adrian lalu mengetik cepat di laptopnya, menyusun poin-poin. "Opsi kedua, kita ajukan tuntutan balik. Kita bisa klaim penelantaran rumah tangga. Dengan status pernikahan yang belum resmi berakhir, itu bisa jadi senjata. Tapi ini berarti kamu harus rela mengungkap semua peristiwa setelah dia meninggalkanmu."
"Aku..." Maya menggigit bibir. "Aku akan ceritakan semuanya. Kecuali satu hal."
Adrian menatapnya lama, seperti mencoba menembus pikirannya. "Kalau ada hal yang kamu sembunyikan, pastikan itu tidak akan mengganggu jalannya kasus."
"Aku tahu. Dan ini... bukan sesuatu yang akan mengubah inti kasus," jawabnya cepat, meski jantungnya berdegup keras.
Adrian akhirnya mengangguk, tapi nada suaranya menurun sedikit, seperti memberi peringatan. "Baik. Tapi ingat, di ruang sidang, rahasia sekecil apapun bisa jadi bumerang."
Suasana hening kembali sejenak. Lampu ruang tamu temaram, menciptakan bayangan di wajah Adrian yang membuatnya tampak semakin dingin tapi juga penuh kendali.
"Besok pagi, aku mau kamu datang lagi bawa semua dokumen. Kalau tidak ada sertifikat rumah, minimal bukti finansial—rekaman transfer, nota belanja untuk Nayla, apa saja. Aku juga mau kamu siap mental kalau Reza mulai main kotor."
Maya menarik napas panjang. "Baik. Aku akan siapkan semuanya."
Adrian menutup laptopnya. "Kalau begitu... kita selesai untuk malam ini."
Maya berdiri perlahan, mengambil tasnya. Tapi sebelum ia pergi, Adrian menambahkan pelan, "Maya... jangan lagi datang dengan membawa kejutan yang tidak aku ketahui. Aku bukan pengacara yang suka bermain setengah informasi."
Maya hanya menatapnya sesaat sebelum berbalik menuju pintu. Di luar, malam sudah larut, dan pikirannya penuh dengan strategi yang baru saja mereka susun... juga dengan rahasia yang masih ia simpan rapat-rapat.
...----------------...
Maya melangkah keluar dari apartemen Adrian dengan napas berat, seakan setiap helaan hanya membuat dadanya semakin sesak. Lampu-lampu koridor apartemen terasa terlalu terang, kontras dengan pikirannya yang remang. Ia memeluk tasnya erat—di dalamnya ada salinan surat pernikahan yang tadi sempat ia serahkan ke Adrian untuk diperiksa.
Suara pintu lift terbuka membuatnya tersadar. Ia melangkah masuk, menatap angka-angka digital yang menurun perlahan. Tangannya terasa dingin, namun bukan karena AC. Bukan juga karena hawa malam. Ada sesuatu yang menggantung di kepalanya sejak percakapan itu—kalimat Adrian yang tegas, pandangannya yang menusuk, dan beban kenyataan bahwa mereka masih resmi suami-istri di mata hukum.
Begitu keluar dari lobby, udara malam menyambutnya. Ia baru saja menyalakan ponsel ketika layar itu langsung dipenuhi notifikasi. Salah satunya—nama yang tidak ingin ia lihat—Reza.
Dengan tangan sedikit gemetar, ia membukanya.
"Main kotor, May? Bawa-bawa pengacara terkenal segala? Kita lihat nanti siapa yang bakal menang."
"Jangan lupa, aku tahu semua rahasia kamu."
Maya terpaku. Nafasnya tercekat. Kata-kata terakhir itu seperti pisau dingin yang ditekan pelan ke tenggorokannya. Rahasia. Ia tahu betul apa yang dimaksud Reza, dan itu bukan hal yang boleh sampai terungkap—tidak pada Adrian, tidak pada siapa pun.
Ia menggigit bibir, menahan air mata yang mulai mendesak keluar. Jari-jarinya sempat ingin membalas, tetapi ia urungkan. Reza tidak boleh tahu bahwa pesannya berhasil mengguncang dirinya.
Teleponnya bergetar lagi. Pesan kedua.
"Aku akan pastikan Nayla kembali padaku. Siapkan diri."
Maya menutup layar dengan cepat, lalu menatap ke arah jalanan yang mulai sepi. Dalam benaknya, wajah Nayla muncul—senyum polosnya, suara kecilnya yang memanggil "Mama"—dan tekad Maya kembali mengeras.
Tidak peduli seberapa kotor permainan Reza, ia akan melawannya.
Walau harus mempertaruhkan segalanya.
kamu harus jujur maya sama adrian.