Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.
Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
"Gimana ini?" panik Sofie melihat Daisy berjalan keluar dari unit apartemennya. "Daisy bakalan nggak bisa keluar lagi. Dia terkurung seperti Rapunzel." Cemasnya.
Gendis hanya diam. Jelas ia sedang berpikir... mencari jalan keluar, tentunya.
"Gendis!" sentak Sofie mengetahui Gendis hanya diam saja.
"Aku sedang berpikir," tandas Gendis, duduk di sofa dengan wajah kusut.
"Gue nggak bisa ngebiarin Daisy nikah sama si buaya darat itu! Gue nggak mau hidup Daisy hancur. Kita harus cari cara buat nyelamatin Daisy. Tapi masalahnya... nggak mungkin kan, kita mengacaukan pernikahannya? Kita ini hanya anak-anak kecil di mata papanya Daisy. Harus ada orang yang gila... yang bisa berbuat senekat itu," sewotnya sambil mondar-mandir.
Mata Gendis melebar, seakan mendapatkan ide cemerlang―tapi gila. Begitu juga dengan langkah mondar-mandir Sofie yang mendadak berhenti, seakan ia pun baru saja menemukan ide spektakuler.
Sofie dan Gendis saling melempar pandang.
"Jangan bilang yang gue pikirin sama yang lo pikirin juga?" Sofie menunjuk Gendis tak yakin.
"Singgih?"
Jemari Sofie menjentik. "Hanya dia yang bisa melakukannya." Ia duduk menyebelahi Gendis. "Singgih bisa membawa kabur Daisy."
"Nggaaaak." Tolak Gendis. "Terlalu berbahaya. Kita masih belum tahu siapa Singgih."
"Kita tanya Azka."
"Hmp?"
"Diam-diam Daisy kan, menyelidiki Singgih. Artinya Azka sudah mengumpulkan beberapa hal tentang Singgih. Dan, kalau Azka nggak mau ngasih tahu, dengan alasan, kerahasiaan klien, heeii, kita bisa melakukan sedikit gertakan."
Gendis mengulum senyum culas menyetujui saran Sofie. Tentu saja ia sangat mengenal Azka dengan baik. Saking kenalnya, ia bahkan memegang rahasia terpenting Azka. Rahasia yang siap ia viralkan jika Azka menolak untuk bekerja sama dengannya.
Langsung saja Gendis menghubungi Azka. Sejurus kemudian, suara Azka terdengar menyahut di seberang.
"Azkaaa. Lagi di mana?"
"Kerjalah. Ada apa?" Azka terdengar waspada dengan suara renyah Gendis yang tak biasanya.
"Masih menyelidiki Singgih?"
"Langsung aja deh. Mau lo apaan?"
"Aku hanya ingin tahu," suara Gendis berubah serius, "―orang seperti apa Singgih?"
"Lo emang sohib gue, tapi Daisy adalah klien gue. Dan, tanpa persetujuan dari klien gue―"
"Klienmu yang namanya Mona apa kabar?" potong Gendis seraya tersenyum culas.
"Kenapa bawa-bawa dia?" Azka terdengar gugup.
"Kalau kamu nggak mau aku membeberkan hubungan gelapmu dengan―"
"Hei, hei, heeii!" sela Azka secepatnya. "Kita bisa bicarain ini baik-baik," bujuknya sebisa mungkin. Ia tahu Gendis bukan tipe gadis yang suka bercanda, bahkan terlalu kaku hidupnya, jadi kalimat Gendis barusan merupakan ancaman baginya.
"Kita tunggu di apartemennya Sofie. Sekarang."
"Gue lagi di Semarang."
"Ya, udah. Ceritain di telepon aja."
Hening dalam beberapa saat di seberang. Tampaknya Azka masih ragu. Bagaimana pun juga kerahasiaan klien adalah yang utama, tapi ia pun tak bisa membiarkan hubungannya dengan Mona terungkap ke publik.
"Azkaaa?"
Azka tersentak sadar dari kebimbangannya. Sebelum bercerita, ia sempat menghela napas pendek. "Gue hanya akan cerita yang pentingnya aja."
"Oke. Nggak pa-pa." Gendis menyahut setuju. "Bentar."
Gendis lalu menekan tombol pengeras suara pada layar ponsel agar Sofie yang duduk di sebelahnya bisa turut mendengarkan.
"Kita siap mendengarkan," kata Gendis.
"Kita?"
"Buruan cerita," tukas Sofie.
"Sofie?" kaget Azka.
"Iya, ini gue. Tenang. Mulut gue nggak ember kok. Paling bocor dikit. Buruan cerita!"
Ancaman dari Gendis ditambah dengan bentakan dari Sofie sekiranya mampu membuat Azka harus bersabar menghadapi mereka.
"Singgih besar di panti asuhan. Dia murid berprestasi dan selalu mendapatkan beasiswa. Tiap pulang sekolah selalu bantu-bantu kerja di pasar. Nah, Rolan yang tahu Singgih butuh uang lalu memanfaatkan kepintaran Singgih. Rolan akan membayar semua PR yang dikerjakan Singgih."
"Whoah. Dia tahu bagaimana caranya memanfaatkan keadaan." Sofie menggeram kesal.
"Hubungan Singgih dan Rolan kemudian jadi retak. Katanya gara-gara Singgih merebut cewek yang disukai Rolan," lanjut Azka.
"Dokter Ajeng?" kembali lagi Sofie menyeletuk.
"Eh, kalian udah tahu rupanya?"
"Sekali lihat juga udah tahu," seloroh Sofie.
"Hanya itu yang bisa gue kasih."
"Kurang, Az." Gendis merasa informasi yang didapat kurang banyak untuk bisa dianalisa.
"Karena memang seperti itulah kehidupannya. Sejak kecil sudah nyari uang sendiri. Pintar. Dan, apa lagi yang bisa kukasih tahu selain hidupnya yang keras."
"Kemarin kamu bilang, ada kemungkinan dia nggak bersalah." Gendis menuntut penjelasan Azka.
"Dalam pernyataan Singgih, dia melihat Rolan di tempat kejadian. Tapi pernyataan Ajeng sebagai saksi menyatakan kalau Rolan nggak ada di sana dan menganggap Singgih hanya berdelusi. Setelah Singgih dinyatakan bersalah, Ajeng lalu pergi ke Jerman. Nah, gue sedang nyari tahu satu saksi mata lagi. Namanya Cindy. Setelah kejadian itu, dia sekeluarga pindah nggak tahu ke mana. Oke. Hanya itu yang bisa kukasih tahu."
Gendis mengangguk-angguk paham. Lalu berkata, "Mungkin kamu nggak bisa menghubungi Daisy untuk saat ini."
"Daisy sakit lagi?"
"Papanya mau nikahin Daisy sama Rolan." Gendis memberitahu.
"What! Fu*k!" Azka melontarkan makian sampah.
Telapak tangan Gendis langsung mengurut dada mendengar makian Azka.
"Woi! Gendis jantungan, tauk." Sofie terkekeh melihat ekspresi Gendis yang berusaha menahan sabar.
Gendis mengembus napas perlahan. "Karena itulah kita ingin tahu Singgih orang yang seperti apa." Kemudian ia menjeda kalimat yang ingin diucapkan. "Karena kita ingin minta bantuan Singgih... buat ngebebasin Daisy. Jadi, di mana kita bisa menemui Singgih?"
"Cari aja di parkiran Ekamart seberang jalan rumah Daisy."
"Dia sekarang tukang parkir?" Tanya Sofie.
"Dia mengawasi Daisy dari sana, sambil bantu-bantu parkirin motor restoran ayam di sebelahnya."
"Thanks, Az, infonya." Gendis menyudahi sambungan telepon.
*
Mobil yang dikemudikan Sofie memasuki halaman Ekamart. Gendis turun dari mobil dan memesan martabak manis yang mangkal di depan Ekamart.
Dari dalam mobil, mereka melihat Singgih duduk di pos jaga di halaman restoran ayam, tampak Singgih membantu tukang parkir mengatur motor.
"Sof, sana." Gendis mendorong lengan Sofie. "Katanya minta diculik sama babang tamvan."
"Ganteng sih ganteng, tapi mikir-mikir juga kali." Ogah Sofie.
"Sama buaya darat aja berani. Dikejar-kejar sampai dilabrak. Bikin heboh para lambe. Sofie Nugraheni terkenal bukan karena prestasi, tapi karena skandal." Gendis mengingatkan dengan gaya jenaka.
Sofie menggerung kesal pada ucapan Gendis―yang selalu saja benar adanya. "Please deh, Dis. Bisa nggak sih nggak bawa-bawa luka lama?"
"Bisa. Kalau kamu turun. Buruan!"
Sofie mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan. Sekali lagi ia mengambil napas dalam-dalam, tapi napasnya tiba-tiba tercekat seketika kaca jendela mobil ada yang mengetuk. Sontak kedua gadis itu menjerit horor.
Sofie menurunkan kaca jendela mobil, tersenyum kaku menyapa Singgih. "Ha―haaii..."
Gendis yang duduk di sebelah Sofie pun tersenyum kaku. Tangannya dengan gesit menyelinap mencubit pinggang Sofie.
Cubitan ringan, tapi terasa pedas itu sanggup menyadarkan Sofie agar mengembuskan napasnya keluar dari mulut.
"Kalian mencari aku?"
"Bisa kita bicara sebentar?" Pada akhirnya Gendis yang bersuara.
Dan, bicaralah mereka bertiga di kafe terdekat. Suasana canggung bercampur tegang memenuhi ruangan. Ditambah dengan posisi duduk bersebelahan Sofie dan Gendis yang rapat bagai amplop ditempeli perangko.
"Kita sudah tahu tentang kamu." Gendis memulai percakapan dengan berterus terang.
Singgih dapat mengetahui hanya dengan melihat kedua gadis itu menjarak duduk darinya. Raut wajah tegang keduanya sangat jelas kentara. Semua orang takut berdekatan dengannya. Hanya Daisy―satu-satunya yang memperlakukannya normal.
"Kamu kan, udah dipecat Daisy. Kenapa masih berkeliaran di sini?" Gendis lali menggigit bibir bawahnya saat menyadari pertanyaannya terlalu frontal.
"Aku hanya ingin memastikan keamanannya saja," kata Singgih.
Gendis melirik ke Singgih, kemudian ia cepat menurunkan pandang saat Singgih tahu-tahu balas menatapnya. Tangan satunya yang mengalung di lengan Sofie, menggamit lengan sabahatnya itu agar membantunya bicara. Namun, Sofie memilih diam.
"Kenapa mau jadi bodyguard-nya Daisy?" Gendis kembali bertanya.
"Aku nggak pernah berpikir untuk jadi bodyguard-nya Daisy," aku Singgih. "Orang sepertiku sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Ketika ada yang menawariku pekerjaan, aku nggak mau buang kesempatan."
"Kapan Daisy tahu tentang kamu―mantan napi?" Gendis menggigit bibir bawahnya lagi. Entah mengapa pertanyaan yang keluar dari mulutnya hari ini sangat frontal. "―maaf."
"Sejak awal aku sudah cerita. Tapi Daisy malah menganggapku bercanda. Dan, tetap mempekerjakanku."
"Dasar gila," umpat Sofie dengan gigi menggemeretak.
Jari telunjuk Gendis menggaruk dahinya yang sebenarnya tak gatal. Kali ini ia harus setuju dengan umpatan Sofie barusan. Dan, biarkan pula kali ini ia ikut mengumpat―walau hanya dalam hati. Dai, kamu benaran sudah gila!
"Seberapa penting pekerjaanmu ini?" Tak hanya frontal, sikap Gendis sudah seperti penyidik.
"Aku selalu bertanggung jawab dengan setiap pekerjaanku," kata Singgih tanpa keraguan.
"Apa pun yang terjadi kamu akan tetap menyelamatkan Daisy?" Gendis memastikan ucapan Singgih sebelumnya.
Singgih mengernyit tak paham.
"Kita nggak masalah Daisy dijodohkan dengan Angga Djubroto. Karena orang itu adalah laki-laki yang baik," kata Gendis tanpa bermaksud menghina status Singgih.
Pandang Singgih turun ke bawah. Dirinya merasa kecil jika disandingkan dengan laki-laki baik yang tentunya disukai oleh orang-orang dekat Daisy. Lalu apalah dirinya? Hanya seseorang yang memiliki catatan kriminal.
"Tapi kita nggak bisa membiarkan Daisy menikah dengan Rolan," lanjut Gendis.
Pandang Singgih kembali terangkat.
"Papanya Daisy sudah tahu tentang kamu. Daisy dipaksa pulang ke rumah dan akan dinikahkan dengan Rolan."
Singgih menautkan jari-jari tangannya dalam kepalan geram. "Apa yang harus kulakukan untuk menyelamatkan Daisy?" ujarnya yang seakan mengerti dengan maksud kedatangan mereka.
*
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨