Alana, gadis SMA yang 'ditakuti' karena sikapnya yang galak, judes dan keras kepala. "Jangan deket-deket Alana, dia itu singa betina di kelas kita," ucap seorang siswa pada teman barunya.
Namun, di sisi lain, Alana juga menyimpan luka yang masih terkunci rapat dari siapa pun. Dia juga harus berjuang untuk dirinya sendiri juga satu orang yang sangat dia sayang.
Mampukah Alana menapaki lika-liku hidupnya hingga akhir?
Salahkah ketika dia menginginkan 'kasih sayang' yang lebih dari orang-orang di sekitarnya?
Yuk, ikuti kisah Alana di sini.
Selamat membaca. ^_^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bulan.bintang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 | Kota gudeg
Yogyakarta, aku kembali datang, aku rindu tempat pulang di saat aku lelah berjuang, sendiri, bahkan minim kasih sayang.
Di mana dia sekarang, wahai Yogyaku?
Alana menginjakkan kaki di halaman rumah Neneknya yang dia sebut Uti. Rumah itu masih terawat baik, bersih dan tentunya memberi kenyamanan pada siapa pun yang datang berkunjung.
Meski Uti dan Kakung sudah lama berpulang, namun anak-anaknya tak mau melepaskan rumah itu pada orang lain.
"Banyak kenangan kami, Nak. Mama dan Tantemu, lahir dan besar di sini. Setiap sudut selalu punya cerita tentang kami dan mendiang mbahmu dulu, Mama nggak mau semuanya terhapus begitu saja. Sebisa mungkin, rumah ini akan tetap ada, karena hanya ini kenangan yang Mama punya setelah kebakaran menghanguskan sebagian rumah beserta album foto yang kami miliki," ucap Hanna suatu waktu.
Kini, mereka berdua sudah berdiri di pintu halaman. Terlihat jalan setapak panjang menuju teras rumah, sedangkan kanan kirinya dihiasi pohon sawo besar yang berjajar, memberi kesan teduh dan nyaman. Tepat di depan rumah, ada serumpun pohon mawar merah yang tengah bermekaran.
Alana terus melangkah, menikmati nostalgia yang disuguhkan di sana.
Hanna menahan langkah anaknya, saat seorang pria muncul dari dalam dengan wajah terkejut.
"Hanna?"
Pria itu terdiam, tangannya berulang kali mengusap wajah, seakan tak percaya akan apa yang dia lihat.
"Hai, Bastian. Bagaimana liburanmu? Enak ya numpang di rumah orang tanpa ijin, ... Bukankah termasuk pelanggaran? Maling? Penyusup? Apa yang pantas disematkan untukmu, Bas?" Hanna menatap dingin ke arah mantan suaminya. Alana melihat sekelebat orang di dalam rumah, bergegas dia merangsek masuk, meski tangan kokoh Bastian menahannya.
"Halo, sepertinya kita pernah bertemu ya. Sebentar ... " Alana mencoba mengingat sesuatu, lalu melanjutkan kalimatnya. "Kamu sekretaris itu kan? Ngapain di sini?" Tatapan gadis itu tak lepas dari pakaian yang melekat di tubuh Silvi -si sekretaris itu. Dia memakai tank top dan hot pants, sedangkan rambutnya terlilit handuk.
Silvi terkesiap melihat siapa yang datang, meski dia yakin akan tujuannya, namun bertemu muka dengan ibu dan anak itu selalu membuat dia terdiam.
Mendengar suara putrinya, Hanna segera masuk.
"Silvi?" Hanna terdiam beberapa saat, kemudian amarahnya meluap tanpa terkontrol lagi.
"Jadi benar dugaanku selama ini? Kamu ada main dengan Bastian? ... hm, jadi dinas luar kota itu ke sini ya? Ckckck... Bas, Bas. Kamu ini jadi laki-laki kok nggak modal bener, mbok yo check in di hotel gitu. Eehh, malah nyari yang gratisan. Cerdas memang." Hanna bertepuk tangan, suaranya bergetar, tanda hatinya tengah bergejolak tak karuan.
Baik Bastian maupun Silvi, keduanya diliput rasa malu. Si wanita menundukkan wajah dengan kedua tangan yang berusaha menutupi tubuhnya yang tak tertutup. Berbeda dengan Bastian, laki-laki itu justru memalingkan wajah untuk menghindari kontak mata dengan Hanna maupun Alana.
Suasana semakin tegang saat Hanna perlahan menuju kamar utama, tempat di mana hanya dia dan Lidia yang boleh masuk ke sana. Namun, sudut matanya menangkap sesuatu di kamar tamu, dia segera menghampiri dan menariknya keluar.
"ALLAHU AKBAR, kalian sukses bikin darah saya naik drastis!" Hanna mendorong tubuh wanita dan pria yang dia temui di dalam kamar.
"Kalian bersuka ria di sini dengan alasan bisnis ke luar kota? Duh... kalian tak ubahnya SAMPAH!"
"KELUAR KALIAN SEMUA DARI RUMAH INI!!"
Hanna mendekati Bastian, telunjuknya mengarah tepat di kening pria tersebut.
"Dan kau, BASTIAN ATMAJA BIN ATMODIRJO. MULAI DETIK INI, KUDO'AKAN HIDUPMU TAK AKAN TENANG! ENYAH KAU DARI HADAPANKU, SEKARANG!"
Kedua pasangan itu bergegas merapikan barang bawaannya lalu pergi. Bastian yang berjalan paling belakang, menoleh dan menatap Hanna dan Alana bergantian.
"Aku tak akan pernah setuju akan perceraian ini. Semua gara-gara KAU, ANAK PANTI YANG TAK JELAS ASAL USULNYA!" Bastian menunjuk Alana dengan mata menyala, setelah itu dia berlalu pergi.
Hanna terduduk lemas setelah mengucapkan kalimatnya pada mantan suami, namun mendengar Alana turut dipermalukan, dia tak terima.
"BASTIAAANN!!"
Alana merangkul ibunya mencoba menenangkan wanita itu. Meskipun dia sendiri merasa hancur oleh kata-kata yang sangat membuatnya terluka, namun Alana tak ingin memperlihatkan pada siapa pun, termasuk wanita mulia di sampingnya.
Tak berselang lama, pak Mul dan istrinya datang menyuguhkan minuman hangat.
"Ngapunten, Mbak. Saya dan istri baru berani keluar. Sejak Pak Bas datang, beliau meminta saya untuk keluar dari rumah ini selama beberapa hari, bahkan beliau juga meminta kunci kamar utama. Tapi tidak saya kasih, saya bilang kuncinya dibawa njenengan." Pria tua itu menatap Hanna dan Alana dengan wajah teduhnya.
Hanna mengangguk, kemudian suami istri itu pamit undur diri.
Sementara itu di dalam mobil menuju Jakarta, Bastian terus menerus mengumpat. Segala macam hewan dia sebut termasuk sumpah serapah yang membuat ketiga orang lainnya terdiam dan bergidik ngeri. Tak ada yang berani membuka mulut. Mereka hanya fokus berdo'a agar selamat sampai tujuan, karena Bastian mengemudi tanpa peduli kiri kanan yang hampir tertabrak olehnya.
Yogyakarta sendiri memiliki banyak lampu lalu lintas, di mana hampir setiap persimpangan selalu ada, dan itu cukup membuat ketiga penumpang Bastian merasa menaiki roller coaster.
Teriakan orang-orang juga klakson kendaraan membuat darah Bastian semakin berdesir, kecepatan mobilnya semakin gila-gilaan.
Hingga di sebuah tikungan, mobil lepas kendali. Decit suara ban bergesekan dengan aspal membuat banyak kendaraan cepat menyingkir, dan mobil Bastian menabrak sebuah pohon besar di tepi jalan dengan suara yang cukup kencang.
Warga segera berkerumun untuk menyelamatkan korban. Namun, pintu mobil terkunci, begitu pun dengan kaca yang tertutup rapat.
"Ono wong papat ning njero," ucap seorang laki-laki yang mengintip dari samping.
"Pecahno wae!"
"Ngaleh, minggir o!"
PRAANGGG!!!
Kaca mobil pecah, pintu segera dibuka. Mereka berbondong-bondong menyelamatkan korban, membawanya ke rumah sakit terdekat.
Di rumah sang nenek, Alana mengamati setiap sudutnya dengan senyum getir. Terbayang wajah keriput yang senantiasa menyambutnya dengan pelukan, setiap kali dia datang berkunjung. Alana melirik ke arah kamar dan melihat sang ibu tengah tertidur pulas.
Kasian Mama, pasti capek banget hatinya. Aku nggak nyangka, Papa yang dulu sering bawa aku jalan-jalan, Papa yang tak sungkan memakai ikat rambut warna-warni demi aku tak menangis lagi, Papa yang selalu memberiku nasehat indah di setiap kesempatan, sekarang justru berkata demikian. Hhh ... kehadiranku sebenarnya tak pernah dia harapkan, namun demi Mama, semua dia lakukan. Papa begitu mencintai Mama.
Alana berlalu keluar dan duduk di bawah pohon sawo yang rindang. Dia menyentuh pohon itu sambil menengadah.
Uti, Akung, Alana datang. Alana rindu kalian.
Tak terasa pipinya basah, dia terkejut saat tangannya menyentuh sesuatu di batang kayu itu.
Lho, ini masih ada?
Matanya berbinar menyiratkan kebahagiaan yang membuat gadis itu tersenyum senang.
Kamu di mana sekarang? Apa kabarnya? Masih inget aku nggak?
Alana mengamati pahatan di batang pohon itu dan kembali menyentuhnya dengan hati berdebar.
*
seperti nya alana dan gala ini, yang jadi pusat cerita/Proud/
bahkan jauh lebih baik dari saat aku menulis pertama kali.
semangat. pembaca akan berdatangan pada akhirnya