Bagi Aditya, Reina bukan sekadar kekasihnya tapi ia adalah rumahnya.
Namun dunia tak mengizinkan mereka bersama.
Tekanan keluarga, perjodohan yang sudah ditentukan, dan kehormatan keluarga besar membuat Aditya terjebak di antara tanggung jawab dan juga cinta.
Dalam keputusasaan, Aditya mengambil keputusan yang mengubah segalanya. Ia nekat menodai Reina berkali kali demi bisa membuatnya hamil serta mendapatkan restu dari orang tuanya.
Cinta yang seharusnya suci, kini ternodai oleh ketakutan dan ambisi. Mampukah Aditya dan Reina mengatasi masalah yang menghalang cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Perjalanan pulang berlangsung dalam diam. Dari balik kaca mobil, Reina menatap jalanan kota Surabaya yang berkelebat seperti kenangan yang tak ingin ia ingat. Di sisi lain, Aditya duduk dengan rahang mengeras, sementara tangannya mengepal di pangkuannya.
Ia tidak berbicara apa-apa, tapi dari caranya menarik napas, Reina tahu kalau ia sedang menahan amarah yang cukup besar.
Ketika mobil milik Aditya berhenti di depan rumah kecil milik Reina, Aditya menolehkan kepalanya untuk menatap Reina.
“Masuklah dan istirahat lah. Jangan pikirkan tentang masalah tadi. Aku akan pastikan preman preman itu untuk tidak lagi datang ataupun mengganggumu.” ucap Aditya dan membuat Reina membuka pintu rumahnya perlahan.
“Terima kasih, Aditya. Untuk semuanya.”
Tatapan mereka bertemu untuk waktu yang lama dan penuh sesuatu yang tak terucap. Lalu Aditya mengangguk pelan, menahan dorongan untuk mengusap pipi gadis itu.
Setelah memastikan Reina masuk ke dalam rumah dan menutup pintu, Dika menghampiri Aditya yang masih berdiri di halaman rumah kekasihnya itu. Angin bertiup kencang, namun itu tak cukup untuk menyejukkan amarah yang membakar dada sang pewaris muda itu.
“Pak Aditya,” suara Dika terdengar hati-hati. “Saya sudah mencari tahu tentang tiga orang preman tadi.” ucap Dika yang membuat Aditya menoleh cepat.
“Siapa yang menyuruh mereka?”
Dika menunduk.
“Saya awalnya merasa ragu untuk menyampaikan ini, Pak. Tapi setelah saya memastikan sendiri, ternyata preman-preman itu disuruh oleh orang yang sangat dekat dengan anda.” ucap Dika sembari menghela napas panjang serta membuat dahi Aditya terlihat berkerut tajam.
“Apa maksudmu, Dika?”
“Mereka dikirim oleh kedua orang tua anda sendiri.” jawab Dika dengan sedikit canggung.
Jawaban Dika itu terasa seperti petir yang menyambar di langit yang tenang. Aditya terpaku. Selama beberapa detik, tubuhnya terasa kaku, seperti kehilangan kendali.
“Coba kau katakan padaku sekali lagi.” pinta Aditya sekali lagi yang membuat Dika menelan ludahnya dengan sedikit ketakutan.
"Para preman itu disuruh oleh orang tua anda sendiri, pak Aditya. Kedua orang tua anda memberi uang yang cukup banyak kepada preman preman itu untuk menghancurkan dagangan Reina sekaligus membuatnya ketakutan." jawab Dika dengan jujur.
Aditya menutup matanya rapat-rapat. Rahangnya terlihat menegang, sementara jemari tangannya mengepal begitu kuat sampai buku-buku jarinya memutih. Beberapa detik berlalu dengan kesunyian. Lalu dengan suara rendah dan berat, Aditya berkata,
“Siapkan mobil sekarang.”
"Tapi pak, anda harus segera berangkat ke kantor untuk menghadiri rapat penting. Apa tidak sebaiknya anda pergi ke kantor terlebih dahulu sampai semuanya selesai?! Tanya Dika kepada Aditya.
"Apakah aku menyuruhmu untuk pergi kesana? Cepat turuti perintahku dan antar aku sekarang juga ke rumah." potong Aditya dengan kesal.
Dika tidak berani membantah. Ia tahu betul, arti dibalik tatapan tajam dan perintah yang tegas itu, saat ini Dika bisa merasakan kalau kemarahan yang dirasakan oleh Aditya terhadap orang tuanya sudah berada di ambang batas.
Mobil hitam mewah milik Aditya itu akhirnya meluncur cepat menembus padatnya jalanan kota Surabaya. Gedung gedung yang berdiri rapi di pinggir kota berganti satu persatu, dan Dika bisa mendengar napas berat majikannya yang saat ini duduk di kursi belakang. Tidak ada satu pun kata yang keluar dari bibir laki laki itu selama perjalanan. Hanya desis amarah yang sesekali lolos dari bibir Aditya.
Ketika mereka tiba di depan gerbang besar kediaman keluarga Wiranegara, dua orang satpam yang berjaga tampak terkejut saat melihat mobil itu berhenti mendadak. Aditya keluar tanpa bicara, melangkah cepat masuk ke halaman rumah yang megah dengan taman luas dan pohon pohon palem besar di sepanjang jalan setapak.
Wajahnya terlihat tegang. Setiap langkah terasa berat, tapi Aditya tahu kalau ia tidak bisa diam kali ini.
Begitu masuk ke dalam rumah, langkah Aditya seketika terhenti di ambang ruang tamu.
Di sana, di atas sofa berwarna gading, duduklah dua orang yang sangat ia kenal yaitu ayahnya, pak Arman Wiranegara dan juga Ibunya, Ratna Wiranegara. Sementara
di hadapan mereka, duduklah Alisha Permadi, gadis berparas cantik dan anggun, dengan senyum manis yang tampak dibuat-buat, sembari ditemani oleh kedua orang tuanya yang tak lain adalah pemilik Bank Surya Permadi.
Aditya menatap mereka satu per satu. Membuat dadanya terasa bergejolak.
Suara tawa kecil terdengar. Ibunya tampak sedang membicarakan sesuatu dengan serius pada Alisha.
“Oh, tentu saja, Nak Alisha. Kami senang sekali akhirnya keluarga besar kita bisa menjalin hubungan lebih dekat. Lagipula, Aditya memang sudah sepantasnya memiliki pendamping dari kalangan yang sepadan dengannya,” kata Bu Ratna dengan senyum penuh arti yang membuat Alisha tersipu.
“Saya juga merasa begitu, Tante. Aditya pasti akan menjadi pria yang cocok untuk menjadi pasangan hidup saya.”
Aditya menggertakkan giginya. Apa yang barusan ia dengar tadi? Cocok? Ia bahkan belum pernah bicara lebih dari lima kalimat pada gadis itu.
Tanpa menunggu mereka sadar akan kehadirannya, Aditya akhirnya berjalan masuk dengan langkah lebar. Suara langkah sepatunya menggema di ruangan yang berlantai marmer itu, membuat ayahnya, Pak Arman, menoleh.
“Aditya? Kamu masih belum berangkat ke kantor, ya?”
Aditya tidak menjawab. Ia berjalan langsung ke arah ayahnya, dan dengan satu gerakan tegas, ia menarik tangan ayahnya itu.
“Kita perlu bicara, ayah. Sekarang juga.”
Pak Arman sempat terkejut, namun melihat wajah putranya yang tegang, ia akhirnya bangkit dari sofa dengan perlahan.
“Baiklah. Kita ke ruang kerja sekarang.”
Mereka pun akhirnya meninggalkan ruang tamu dengan cepat dan membuat Alisha serta kedua orangtuanya saling melempar pandangan satu sama lain, merasa bingung dan penasaran dengan apa yang terjadi di antara ayah dan anak itu. Begitu pintu ruang kerja tertutup, Aditya berbalik. Suaranya bergetar oleh amarah yang ia tahan sejak tadi.
“Ayah yang menyuruh preman-preman itu, kan?” ucap Aditya yang langsung membuat
Pak Arman menaikkan alisnya.
“Apa maksudmu?”
“Jangan pura-pura tidak tahu, ayah!” Aditya membentak. “Ada preman yang menyerang Reina, dan mereka menyebut kalau ayah dan ibu lah yang sudah menyuruhnya! Ayah pikir aku tidak akan tahu apa yang ayah dan ibu lakukan kepada Reina, di belakangku?” ucap Aditya yang membuat wajah Pak Arman mengeras.
“Jadi ini semua tentang perempuan itu lagi?”
“Perempuan itu bernama Reina, ayah!” balas Aditya cepat. “Dan ya, ini tentang dia! Tentang bagaimana Ayah berani menghancurkan hidupnya hanya karena Ayah menganggap dia tidak pantas untuk menjadi pasangan ku!”
Pak Arman berdiri, menatap putranya dengan tatapan tajam.
“Dengar, Aditya. Aku sudah sabar melihat kau bermain-main dengan gadis jalanan itu. Tapi hari ini dia sudah melampaui batas. Dia membuat namamu beredar di media sosial, difoto bersama preman, di jalanan yang kotor dan semua orang tahu kamu ada di sana!”
/Speechless//Speechless//Speechless//Speechless/