"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Yang Tak Bisa Disangkal
Pesta baru saja usai, Helena duduk di depan cermin membesihkan sisa make up yang masih menempel di wajah cantiknya. Tama melepas kancing di pergelangan tangan kemejanya sambil duduk di tepi ranjang. Pernikahan yang rasanya biasa saja baginya, ada rasa bersalah yang menyelip di dada. Sedang apa Ibunya di sana?.
"Apa yang sedang kamu pikirkan, mas?" tanya Helena, sedari tadi tanpa disadari Tama, dia melihat ekspresi Tama yang diam saja dan sedang memendam pikiran, nampak ada beban di sana.
"Kamu kepikiran Ibumu atau yang lain?" Helena kembali menegaskan. "Kan sudah aku bilang dari lama sih mas, kasih tahu Mama, toh aku juga pengen mama tahu kalau aku adalah istri kamu sekarang, tapi kamu selalu bilang belum siap," Helena mendengus. Wajahnya sudah bersih dari sisa make up, tangannya mengambil sisir dan menyisir rambutnya perlahan. Tama mendekat dan membantunya untuk menyisir rambutnya yang hitam.
"Iya, setelah ini perlahan aku bilang ke Mama," Tama berdiri di belakang Helena yang sedang duduk di depan cermin.
"Aku bahagia bisa menjadi istrimu," Helena memutar tubuhnya, kini mereka berhadapan meskipun tak sama tingginya. Helena memeluk pinggang Tama, Tama mengelus rambut Helena. "Mas, setelah ini lebih baik kamu gabung ke perusahaanku saja" Helena menatap Tama yang ada di depannya dengan lekat. "Rasanya aku nggak mau jauh dari kamu,"
"Kita pikirkan nanti, karirku sedang bagus-bagusnya di pak Aksa," Tama memejamkan matanya, dia amat lelah hari ini. Membuka mata perlahan dan melihat Helena di hadapannya, nampak cantik.
Harusnya menjadi malam yang spesial, menjadi malam pernikahan yang indah. Hati Tama terasa ada yang hilang, dia memeluk Helena erat di sampingnya, waktu menunjukkan lebih dari tengah malam. Tidak ada aktivitas lain kecuali saling terlelap dalam lelah.
***
Aksa tak mampu memejamkan matanya malam ini, hatinya diliputi rasa bersalah yang amat. Putra pun terpaksa tertahan di apartemen Aksa.
"Kenapa bisa aku baru mengetahui informasi ini,?" Aksa meneguk minumannya dalam sekali teguk, air putih dingin walau tengah malam.
"Maafkan saya, Pak" Putra merasa bersalah juga.
"Ini bukan salahmu," Aksa segera menegaskan.
"Maaf, Pak. Seberapa penting informasi ini untuk Pak Aksa?" Putra memberanikan dirinya untuk menanyakan perihal ini, karena secara normal tidak ada hubungannya sama sekali dengan pekerjaan. Aksa menatap Putra, terdiam beberapa saat.
"Apa terlalu mencolok,?" Aksa menatap Putra tajam. Putra terdiam beberapa saat, lalu mengangguk kecil.
"Ehm.." Putra berdehem, tidak berani mengiyakan pertanyaan dari bosnya tersebut.
"Ah kamu ini," Aksa mengibaskan tangannya. "Mari kita bicara sebagai sesama lelaki," Aksa menetap keluar jendela, kota nampak tenang di tengah malam. Kendaraan pun berkurang lalu lintasnya, hanya lampu yang memadati cahaya malam ini. "Kamu kan sudah tunangan, sebentar lagi mau menikah juga, kamu pasti paham,"
Putra merasa senang jika akhirnya bosnya itu jatuh cinta, ini adalah hal pertama yang dia ketahui berkaitan dengan cerita asmara Aksa. Secara tidak langsung dia mendapat jawaban dari gosip yang beredar beberapa bulan yang lalu.
"Aku sendiri tidak tahu kenapa dia ada di sini," Aksa memegang dahinya, tepat di tengah. Menunjukkan Binar berada di pikirannya. "Awalnya aku tidak mengira dia sudah memiliki suami, bagiku biasa saja. Setelah melihat air matanya, cerita berbeda, dan akhirnya aku sadar dia memiliki seseorang. Tapi nyatanya yang ada di depan mata malah yang membuatnya terluka, dan aku tidak tahu itu,"
"Maaf Pak, infonya terlambat,"
"Bagaimana menurut kamu tentang Tama,?"
"Pak Tama adalah orang yang berprestasi, pekerja keras, dan banyak memberikan sumbangsih di perusahaan,"
Aksa mengangguk, tidak bisa dipungkiri, Putra sedang membeberkan fakta.
"Aku hanya tidak suka dia menyakiti wanita seperti ini,"
Putra mengangguk, setuju dengan apa yang dikatakan oleh Aksa. Terlepas dari semua prestasi Tama, menyakiti wanita bukan hal yang bisa dibenarkan.
"Tapi akan menjadi masalah juga jika tiba-tiba pak Aksa memecatnya, tidak ada hubungannya dengan kinerja dia, Pak,"
Aksa menghela nafas panjang, benar apa yang dikatakan oleh Putra. Aksa menatap gelas kosonng yang ada di hadapannya dan memutarkan perlahan seolah sedang mencari jawaban dari dasar kacang bening itu. Pikirannya kusut, amarah dan rasa bersalah menyatu menjadi satu.
"Ya aku tahu," gumamnya lirih, lebih berbicara pada dirinya sendiri. "Aku hanya...kesal."
Putra menatap bosnya itu, mencoba membaca raut wajah Aksa yang biasanya sangat sulit ditebak. Dini hari ini terasa berbeda, dinding-dinding pertahanan hati Aksa nampak runtuh, memperlihatkan sisi yang yang jarang terlihat oleh siapapun.
"Saya pikir, Pak Aksa bukan seorang pimpinan yang gegabah," Putra kembali mengutarakan pendapatnya . "Saya yakin Pak Aksa bisa mengambil keputusan yang adil."
Aksa tersenyum miring, kecil sekali. "Keputusan yang adil ya..." Dia menatap lurus ke depan, kedua tangannya saling bertaut di perutnya. "Adil menurut siapa? dia atau perusahaan?" kembali senyum itu terlihat di sudut bibirnya.
Putra tidak berani menjawab . Dia tahu siapa "dia" yang dimaksud.
"Binar...wanita itu.." Aksa menundukkan kepalanya, suaranya melembut. "Dia datang dengan luka yang bahkan dia sendiri tidak mau menunjukkan. Dan aku...merasa membiarkannya sendirian," Aksa teringat pertemuan pertama dengan wanita itu, saat wanita itu menganggapnya sebagai ayah yang tidak bertanggung jawab. Senyum bahagia terpampang di wajahnya mengingat kejadian itu.
"Tapi...Pak, Binar bukan tanggung jawab Pak Aksa secara formal," Putra mengatakannya secara hati-hati . "Kalaupun Pak Aksa peduli, ini karena sebagai manusia, sebagai lelaki yang tidak akan menyakiti wnaita,"
Aksa menegakkan tubuhnya, tangannya tak lagi bertaut. Pandangannya ke depan. "Aku peduli lebih dari yang seharusnya,"
Putra menelan ludah, pernyataan itu adalah pengakuan terbesar yang keluar dari Aksa. "Aku tidak bisa memecat Tama hanya karena urusan pribadi, Tapi juga tidak bisa tinggal diam jika Binar terus terluka,"
Putra semakin meyakini jika bosnya itu sedang benar-benar jatuh cinta, jika benar begini. Benar saja Martin murka, semenjak mengenal Binar, Aksa melepaskan semua pekerjaan yang ada hubungannya dengan Martin. Bahkan sebagai sponsor utama pun dilepas begitu saja dan tidak merasa keberatan sama sekali. Sungguh di luar dugaannya, tapi dia benar-benar merasa lega dengan apa yang terjadi.
"Lalu apa yang akan Pak Aksa lakukan?"
Aksa menggeleng, "Jika seseorang yang kamu cintai terluka, bukankah seharusnya kamu juga akan melindungi dia?" Aksa menatap Putra. "Aku rasa kamu lebih pandai dalam hal ini"
"Ya Pak,"
"Kamu, jangankan kamu, aku saja heran dengan semua ini, sudah terlalu lama aku tidak merasakan perasaan ini, ingin melindungi seseorang yang bahkan orang yang baru aku kenal,"