Arkan itu cowok baik—terlalu baik malah. Polos, sopan, dan sering jadi sasaran empuk godaan Elira, si gadis centil dengan energi tak terbatas.
Bagi Elira, membuat Arkan salah tingkah adalah hiburan utama.
Bagi Arkan, Elira adalah sumber stres… sekaligus alasan dia tersenyum tiap hari.
Antara rayuan iseng dan kehebohan yang mereka ciptakan sendiri, siapa sangka hubungan “teman konyol” ini bisa berubah jadi sesuatu yang jauh lebih manis (dan bikin deg-degan)?
Cinta kadang datang bukan karena cocok—tapi karena satu pihak nggak bisa berhenti gangguin yang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QueenBwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Sembilan
Arkan rasa dirinya hampir mati berdiri saat mendapati kabar tentang kecelakaan yang menewaskan Arfan dan Emi akibat mobil mereka meledak.
Pria itu berlari seperti orang kesetanan dari tempatnya bekerja. Mengabaikan setiap pasang mata yang menatapnya bingung.
Bahkan ia dengan sintingnya menembus jalanan kota Jakarta yang sedang padat-padatnya dengan kecepatan diluar akal sehat. Saat ini Arkan bahkan tak memikirkan nyawanya, karena yang ia pikirkan adalah bahwa semua berita yang ia dengar itu bohong.
Arkan berharap bahwa Arfan hanya mengerjainya, ia berharap bahwa mereka berdua tidak sungguh-sungguh meninggalkannya.
Sudah cukup dirinya ditinggalkan oleh sang ibu, Arkan takkan sanggup lagi jika kedua orang yang begitu ia sayangi meninggalkannya juga.
Tuhan jangan..
Demi apapun.. Jangan..
Kedua kakinya berlari kencang ketika sudah tiba disebuah rumah sakit. Tidak perduli menabrak seseorang atau bahkan pasien sekalipun.
Nafasnya yang sudah memburu terlampau cepat tak menghentikan dirinya untuk sekedar menarik nafas. Bahkan rambutnya sudah terlihat basah akibat keringat yang bercucuran banyak.
Ketika tiba didepan sebuah kamar mayat, pelan-pelan langkah kakinya terhenti. Mendapati Senja yang berdiri dengan jas putih khas dokter miliknya, menyender didinding.
Senja menoleh pelan, mendapati Arkan yang berdiri tak jauh darinya dalam keadaan berantakan. Kedua mata anak itu sudah memerah parah.
Arkan tak mengatakan apapun, ia melangkah cepat memasuki kamar mayat itu. Mendapati dua sosok yang terbaring tak bernyawa dengan kain putih yang menutup seluruh tubuhnya.
Sial..!
Jantungnya berdenyut terlampau cepat hingga membuatnya sulit sekali untuk bernafas. Bisa Arkan rasakan seluruh tubuhnya bergetar hebat sekali.
"Arkan.."
"A-apa ini?" Suaranya lirih dan lemah, menoleh kebelakang menatap Senja. "Ka-kak, tolong katakan.. Katakan ini bohong.. Aku mohon." Pelan-pelan airmata mulai jatuh, setetes demi tetes lama-lama mengalir deras bagai aliran sungai.
Senja pun tak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Tapi ini sudah menjadi tugasnya sebagai dokter untuk memberitahu Arkan apapun yang terjadi.
"Mereka kecelakaan. Mobil yang digunakan meledak lalu terbakar hebat begitu saja. Tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk menyelamatkan diri."
"T-tidak. Kumohon. Aku baru saja menelpon Kak Arfan. Jadi.. Jadi tidak—"
"Arkan, Arfan sudah meninggal, begitupun istri dan calon bayi mereka. Tubuh mereka hangus terbakar, bahkan aku sudah tak bisa mengenali mereka lagi."
Arkan jatuh terduduk dengan kedua tungkainya yang melemas. Ia seperti orang linglung, seperti kehilangan arah.
Ia hancur.
Sekali lagi Arkan hancur hingga tak berbentuk.
"T-tidak mungkin. Bohong.. Itu bohong. Iyakan. Katakan padaku.. Kumohon. KATAKAN PADAKU! INI BOHONG KAN?! Kumohon Tuhan. Jangan lakukan ini padaku. JANGAN LAKUKAN INI PADAKU, AAAAAARGGGGHHHH!" Arkan berteriak kencang hingga memukul-mukul lantai ruangan keras, melampiaskan perasaan sakit hatinya yang sudah tak bisa dijelaskan lagi.
Arkan yang menangis keras dan penuh rasa kehilangan membuat Senja tak bisa melakukan apapun selain ikut berlutut disampingnya dan memeluknya erat.
"Maaf.. Arkan.. Maaf aku tak bisa menyelamatkan mereka. Maafkan aku," ucap Senja penuh penyesalan.
Dia tahu bagaimana Arkan, bagaimana keadaan keluarga Arkan yang sebenarnya. Arfan dan Emi adalah teman sekolahnya, mereka berteman sudah lama sekali bahkan sudah menganggap satu sama lain sebagai saudara.
Senja pun merasa terluka.
Dirinya adalah dokter tapi ia bahkan tak bisa menyelamatkan kedua sahabatnya sendiri.
"Maafkan aku Arkan. Maafkan aku."
***
Elira yang baru saja melakukan pemotretan terkejut mendengar kabar meninggalnya Arfan beserta sang istri. Gadis itu bahkan sudah terisak begitu saja, tiba-tiba semua kenangan yang terjadi antara dirinya dan Emi terputar kembali. Bagaimana Wanita cantik itu yang telaten mengurusnya, yang tertawa bahagia saat menceritakan tentang bayinya.
Dan detik berikutnya.. Elira terdiam saat bayangan Arkan lewat.
Apa Arkan sudah tahu?
Oh tidak..
Elira berlari kencang menuju mobilnya, ia hendak menuju rumah sakit dan bertemu Arkan. Dirinya tak perduli lagi tentang perjanjian bodoh itu. Elira hanya ingin memeluk Arkan yang rapuh.
Tapi baru juga akan memasuki mobil, ia sudah dihadang oleh beberapa pengawal suruhan kakeknya.
"Minggir!" bentaknya.
"Maaf Nona. Tuan besar meminta kami untuk membawa anda pulang," tolak salah satu dari si pengawal.
Elira menatap nyalang. "Kubilang minggir sialan!" Paksanya berusaha menembus barikade pengawal tersebut tapi tak bisa sama sekali.
"Aku harus pergi! Aku harus pergi! Farhan! FARHAN!" teriaknya kuat.
Farhan yang masih sibuk merapikan barang-barang Elira pun terkejut. Menoleh kearah sang Nona muda yang dihalangi orang-orang berbaju serba hitam.
Jadi ia berlari cepat hendak membantu sebelum tubuh tingginya terjatuh kedepan cukup keras menghantam tanah. Kemudian terasa beban berat diatas punggungnya, dimana seorang wanita berpakaian serba hitam yang telah mengunci pergerakannya.
Menoleh kebelakang dan terkejut, "Nona Ayana?!"
"Ini perintah kakek. Jangan membantah," katanya tegas dengan wajah datar.
Farhan tak bisa berkata apapun, kembali menatap Elira yang tengah memberontak karena ditarik paksa memasuki mobil lain.
Sial..! Farhan paling tak bisa melihat Elira diperlakukan kasar begitu.
Jadi dengan kuat ia melepaskan cengkraman Ayana hingga gadis itu terjatuh kesamping. Tapi lagi-lagi Farhan kalah cepat ketika Ayana melayangkan tendangan kuatnya hingga mengenai kepalanya dan membuatnya tersungkur kembali. Namun kali ini kepalanya terluka.
Farhan meringis lalu menatap tajam si nona muda, ia bangkit dan menyerang Ayana dengan tendangannya namun gagal. Gadis itu berhasil menghindar dengan mudahnya.
Ayana tersenyum miring.
Ia bersiap lalu berlari dan melompat hingga berada tepat diantara pundak Farhan. Menjepit kedua kakinya lalu dengan kuat memukul wajah si pria dan membantingnya ketanah sebelum ia melompat menjauh, mendarat mulus dengan bantuan kedua tangannya.
Ayana bangkit berdiri dan membersihkan debu yang menempeli setelan hitamnya sementara Farhan masih terbaring lemas akibat serangan beruntun.
Farhan mungkin pria dengan keahlian bela diri yang mumpuni. Tapi Ayana itu berbeda, ia terlahir dengan bakat seorang petarung didalam dirinya. Tak perlu susah payah berlatih seperti dirinya, Ayana bisa menguasai semuanya hanya dalan hitungan minggu saja.
Karena itulah Ayana lebih dipercaya untuk menjaga Elira dibandingkan dirinya.
Membingungkan?
Kenapa cucu yang dibuang malah dipercaya sebagai penjaga Elira?
Karena Ayana berhutang nyawa pada Elira, maka ia harus menjaga Elira seumur hidupnya.
Ayana pergi begitu saja meninggalkan Farhan yang masih terbaring tak berdaya untuk menyusul mobil yang membawa Elira.
***
"Ayah ingin bertemu denganku?" tanya Elira yang baru saja tiba di ruangan VIP sebuah restoran mewah.
Tuan Harsa tersenyum tipis dan mempersilahkan Elira duduk.
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu."
Elira mengangguk. "Tentang apa?"
"Pernikahan kalian."
"Oh? Memangnya ada apa ayah? Bukankah tanggalnya sudah ditentukan?"
Tuan Harsa menyuap sepotong sushi dimulutnya sebelum meminum winenya sejenak.
"Aku ingin membatalkan pernikahan kalian."
Elira yang baru saja hendak menyuap makanannya terhenti seketika dengan tubuh menegang.
Menatap tuan Harsa tak mengerti.
"Kau tahu kan Didalam sebuah pernikahan itu bukan hanya menyatukan dua insan. Tapi juga untuk membangun sebuah keluarga. Dimana keluarga yang kumaksud adalah lahirnya seorang bayi. Tanpa adanya keturunan pernikahan itu takkan bahagia. Kau mengerti maksudku, kan?" jelas Tuan Harsa dengan wajah tenang.
Sementara Elira sudah tak bisa berkata apapun. Ia terlampau terkejut dengan pembicaraan ini.
"Aku tahu kau tak bisa memberikan puteraku Keturunan, Elira. Maka dari itu, putuskan hubungan kalian. Kau mencintai Arkan, bukan? Apa kau tega membiarkan Arkan sedih?"
"A-aku—"
"Pikirkan Elira. Arkan membutuhkan penerus. Apa kau rela melihatnya berselingkuh dibelakangmu demi mendapati keturunan?"
"Arkan takkan selingkuh. Dia mencintaiku, begitupun aku," tegas Elira.
Tuan Harsa terkekeh sejenak. "Sekarang iya. Tapi bagaimana kedepannya? Kau yakin Arkan akan tetap setia padamu? Bahkan aku dikhianati oleh orang yang katanya sangat mencintaiku, ibu Arkan. Semua orang berubah, Elira. Mereka akan berubah ketika menyadari bahwa kita tak bisa memberikan bahagia yang mereka inginkan."
Ucapan Tuan Harsa telak membungkam gadis itu.
Membuatnya jadi mulai ragu dengan perasaan Arkan.
Tuan Harsa bangkit dari tempatnya dan meraih jas kerjanya.
"Pikirkan baik-baik.. Jangan sampai membuatmu menyesal dikemudian hari," ucapnya lalu pergi begitu saja meninggalkan Elira yang terdiam membisu.
***
BRAK..!!
Arkan membuka pintu ruangan sang ayah dengan kasar.
"Ayah yang melakukannya kan?! IYA, KAN?!"
Tuan Harsa melepas kacamatanya dan menatap Arkan datar.
"Apa?"
"Katakan yang sebenarnya, Ayah! Ayah menyuruh orang menyabotase mobil Kak Arfan, kan?!"
"Lalu kenapa?"
Arkan membelalak syok mendapati pengakuan tak terduga dari sang ayah. Menatap tak mengerti kenapa ayahnya tega membunuh puteranya sendiri.
"Kenapa? KENAPA, AYAH?!"
"Karenamu. Karena kau lebih memilih Elira. Bukan aku yang membunuh kakakmu tapi kau yang melakukannya, Arkan. Itu salahmu."
Air mata Arkan tak bisa terbendung lagi, hingga jatuh begitu saja. Menunjukkan sisi lemahnya dihadapan sang ayah.
"Ke-kenapa? Kenapa lakukan itu ayah? KENAPA LAKUKAN ITU PADA PUTERAMU SENDIRI?!!"
"Sudah kubilang, aku tidak membutuhkan dua orang putera jika salah satunya cacat."
"Apa?"
Tuan Harsa meminum minumannya santai dan tersenyum kecil, "Arfan bukan puteraku. Darahku tidak mengalir didalam nadinya, itu berarti dia bukan kakakmu."
Pernyataan tuan Harsa membuat Arkan terkejut. Terlalu banyak yang terjadi hingga rasanya kepalanya akan meledak.
"Wanita itu sudah berselingkuh dibelakangku lebih dulu bersama suaminya yang sekarang sebelum aku menyadarinya. Dia pikir aku tidak tahu tentang hal itu. Aku tidak menyentuhnya sebelum pergi bertugas diluar negeri selama 3 bulan. Kami baru melakukan hubungan intim 3 hari yang kemudia saat aku baru kembali dan dia sudah hamil? Apa dia pikir aku bodoh?" Pria tua itu tertawa sejenak sebelum kembali memasang ekspresi datar.
"Meski begitu, aku tetap mencintainya dan berusaha memperlakukan Arfan seperti anakku sampai pada akhirnya aku mendapatkanmu, Satu-satunya puteraku, darah dagingku, kesayanganku."
Arkan sudah tak mengerti lagi, kepalanya mulai berdenyut sakit.
Meski Arfan bukan anak kandungnya, tidakkah ada sedikit rasa sayang padanya?
"Ta-tapi kak Arfan tetap anakmu ayah. Kau membesarkannya.. Begitupun aku, bagaimana bisa kau—"
"Kenapa tidak? Aku membenci seorang penghianat dan didalam dirinya mengalir darah penghianat."
"AYAHH!"
"Peringatan terakhir untukmu, Arkan. Turuti aku atau aku akan melenyapkan setiap orang yang berharga untukmu. Salva dan Sherin, benar kan? Atau Langit dan Senja? Bagaimana jika ... Elira?"
Arkan membelalak. "JANGAN COBA-COBA MENYENTUH MEREKA, AYAH!"
"Tidak akan jika kau menurutiku."
Pria itu terdiam dengan wajah kacau, pikirannya runyam. Ia tak tahu harus melakukan apa, semua orang yang ia sayangi dalam bahaya dan dirinya tak berkutik sama sekali.
Apa yang harus ia lakukan?
Tuhan.. Tolong aku..