Keinginan terakhir sang ayah, membawa Dinda ke dalam sebuah pernikahan dengan seseorang yang hanya beberapa kali ia temui. Bahkan beliau meminta mereka berjanji agar tidak ada perceraian di pernikahan mereka.
Baktinya sebagai anak, membuat Dinda harus belajar menerima laki-laki yang berstatus suaminya dan mengubur perasaannya yang baru saja tumbuh.
“Aku akan memberikanmu waktu yang cukup untuk mulai mencintaiku. Tapi aku tetap akan marah jika kamu menyimpan perasaan untuk laki-laki lain.” ~ Adlan Abimanyu ~
Bagaimana kehidupan mereka berlangsung?
Note: Selamat datang di judul yang ke sekian dari author. Semoga para pembaca menikmati dan jika ada kesamaan alur, nama, dan tempat, semuanya murni kebetulan. Bukan hasil menyontek atau plagiat. Happy reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali Ke Sekolah
Gibran berangkat pagi-pagi, karena hari ini adalah hari kembalinya sekolah di mulai.
Sesampainya di sekolah, ia sudah melihat anak-anak berlarian di halaman dengan penuh semangat. Senyumnya mengembang kala melihat Dinda memasuki halaman sekolah, tetapi seketika pudar dengan kehadiran Adlan.
Kembali hatinya tersadar jika Dinda bukanlah seseorang yang ia bisa gapai. Gibran mengalihkan pandangannya.
Sepersekian detik, Adlan bisa menangkap tatapan Gibran untuk istrinya. Meski merasa tidak suka, Adlan percaya istrinya tidak akan tergoda dengan Gibran lagi, karena mereka telah menjadi suami istri seutuhnya.
Hanya saja ia harus tetap waspada dengan Gibran yang bisa mendekati istrinya kapan saja karena profesi mereka.
“Kak, apa yang kamu pikirkan?” tanya Dinda yang tidak mendapatkan respon dari suaminya.
“Tidak ada. Aku akan menjemputmu, nanti.” Dinda mengangguk dan mencium punggung tangannya.
Adlan meninggalkan sekolah dan kembali ke rumah. Baru sampai, ia sudah mendapatkan panggilan dari sang mama.
“Kabar menggemparkan!” seru Mama Adlan sampai membuat Adlan menjauhkan ponselnya.
“Apa, Ma?”
“Meri akan menikah bulan depan!”
“Bagus kalau begitu!”
“Kamu tahu siapa calonnya?”
“Siapa?”
“Gibran! Guru di sekolah Dinda!”
“Mama tahu dari mana?”
“Dari teman Mama. Katanya mereka dijodohkan dan langsung menikah karena cocok!”
“Mama yakin?”
“Tidak yakin, tapi itu yang Mama dengar.”
“Semoga saja hal baik yang datang.”
“Kenapa kata-katamu seperti akan ada masalah besar saja?”
“Mama mengenal Meri seperti apa, tidak mungkin dia mau di jodohkan.”
“Benar juga! Mama akan memperhatikannya. Kamu juga jaga istrimu!”
“Baik, Ma.”
“Kenapa Dinda tidak pindah sekolah saja?”
“Nanti aku coba tanyakan, Ma. Aku tidak tahu bagaimana prosesnya.”
Setelah mengakhiri panggilannya dengan sang mama, Adlan ke halaman belakang untuk memberi makan ikan. Kemudian pergi keluar untuk membeli pakan ikan.
Di perjalanan pulang, ia menyempatkan singgah ke bengkel untuk mengecek pekerjaan anak buahnya.
“Semuanya oke, Bos! Tenang!” kata Ragil dengan bangga.
“Bagaimana dengan sedan yang turun mesin kemarin? Apakah pemiliknya setuju?”
“Setuju, Bos! Ini.” Ragil menyerahkan surat persetujuan penggantian mesin.
“Pesanan akan sampai minggu depan dan akan langsung dikerjakan.” Imbuhnya.
“Apa perlu tambahan tenaga?”
“Sepertinya tidak, Bos. Kami bisa meng-handle-nya.”
“Oke. Aku tinggal.”
“Kenapa Bos tidak minta Bu Bos untuk pindah mengajar saja?” celetuk Ragil.
Bukan karena apa, ia hanya merasa kasihan dengan Adlan yang harus bolak-balik. Meski hanya sejam setengah, perjalanan cukup menantang karena jalan ke arah desa Dinda masih jalanan aspal dengan kerikil besar yang mudah berlubang dengan kondisi tanah yang tidak stabil.
“Bisa dibicarakan nanti.” Jawab Adlan sekenanya.
Tidak hanya Ragil, sang mama juga menyarankannya. Sepertinya ia harus mulai memikirkan kepindahan Dinda.
Ia yang awalnya ingin ke kota sebentar, ternyata membutuhkan waktu lebih lama. Akhirnya, ia langsung ke sekolah Dinda, sekalian menjemput.
“Kakak dari mana?” tanya Dinda yang ternyata sudah menunggunya.
Hari pertama sekolah, anak-anak pulang cepat karena hanya perkenalan dan mencatat jadwal saja.
“Beli pakan ikan. Maaf, membuatmu menunggu.”
“Tidak apa, Kak. Ayo pulang! Aku sudah lapar.”
“Lapar?” tanya Adlan bingung.
Dinda mengangguk dan masuk ke dalam mobil. Adlan melajukan mobilnya pulang.
Sampai di rumah, Dinda segera masuk ke dapur tanpa mengganti pakaiannya seperti biasa. Adlan semakin bingung dengan istrinya, karena yang dimasak Dinda bukanlah lauk melainkan mie instan dengan aneka isian, seperti sawi, bakso, sosis, kecambah, kubis, jamur dan nugget.
Terlihat seperti masakan sisa-sisa kehidupan di kulkas, padahal mereka tidak kekurangan bahan makanan.
“Kakak mau, tidak?”
“Tidak.” Adlan merasa ragu dengan tampilan mie yang ada di hadapannya.
Anehnya, Dinda memakannya dengan lahap. Melihatnya, Adlan menelan salivanya. Akhirnya ia mengambil mangkuk di hadapannya dan menuangkan sedikit mie.
Meski awalnya terasa aneh, Adlan mulai menikmatinya karena rasanya yang nikmat tidak seperti kelihatannya. Keduanya menghabiskan mie dalam panci tersebut dan tertawa satu sama lain.
“Kenapa tiba-tiba mie instan?” tanya Adlan setelah Dinda mengganti pakaiannya.
“Ingin saja.” jawab Dinda dengan senyuman.
“Kenapa aku merasa istriku berubah?” batin Adlan.
2 hari kemarin, Dinda tidak mau disentuh karena tubuhnya terasa tidak nyaman. Mulai pagi ini, Dinda menjadi sering tersenyum dan manja dengannya. Perubahannya terasa ganjal di mata Adlan.
“Apa ada yang disembunyikan?” batin Adlan.
Dinda yang melihat suaminya melamun, segera duduk di pangkuan Adlan dan mendaratkan kecupan di pipi.
Cup!
“Apa yang Oppa pikirkan, sampai tidak memperhatikanku?” tanyanya.
“Aku hanya merasa aneh.”
“Apanya yang aneh?”
“Kamu.”
“Aku? Aku, kenapa?”
“Aku merasa kamu aneh hari ini. Apa ada yang kamu sembunyikan?”
“Tidak ada. Apa yang aku sembunyikan?”
“Apa tadi kamu berbicara dengan Gibran?” Dinda mengangguk.
“Kami hanya saling tegur sapa.”
“Tidak ada yang lain?” Dinda menggeleng.
“Apa hanya perasaanku saja?” tanya Adlan dalam hati.
Untuk membuktikan kecurigaannya, Adlan melingkarkan tangannya di pinggang Dinda dan merapatkan tubuh mereka.
Segera ia menikmati candunya, yang membuat Dinda merasa sesak. Perlahan Adlan melemaskan pelukannya dan permainan mulai berirama.
Nafas keduanya saling beradu seolah berebut oksigen. Tangan Adlan sudah tak lagi di pinggang, melainkan ke area dada. Sontak Dinda mencekal tangan suaminya, karena ia masih merasa nyeri di sana.
“Sepertinya akan kedatangan tamu.” Cicit Dinda.
“Apakah sudah waktunya?”
“Seharusnya.”
“Apa itu sebabnya kamu merasa nyeri?”
Dinda mengangguk dengan ragu karena berpikir menstruasinya yang terlambat mempengaruhi hormonnya.
Adlan menurunkan tubuh Dinda di sampingnya dan memeluknya dengan lembut. Tamu bulanan memang hal yang wajar.
Beberapa hari kemudian, Dinda yang baru saja masuk ke dalam kantor guru, disambut Gibran yang memberikannya undangan pernikahan.
“Selamat Pak Gibran! Semoga menjadi keluarga yang Sakinah, mawadah, warohmah.”
“Terima kasih, Bu Dinda. Kalau sempat, Bu Dinda datang bersama guru yang lainnya.” Dinda melihat nama yang tertera di undangan dan Alamat.
“Saya pasti datang, Pak.”
“Terima kasih.”
Di rumah, Dinda mengabarkan pernikahan Gibran kepada Adlan, yang hanya ditanggapi datar oleh suaminya yang sudah tahu lebih dulu.
“Tapi kenapa nama mempelai perempuannya tidak asing, Oppa? Apa ini Meri yang itu?”