Berawal dari pembelian paket COD cek dulu, Imel seorang guru honorer bertemu dengan kurir yang bernama Alva.
Setiap kali pesan, kurir yang mengantar paketnya selalu Alva bukan yang lain, hari demi hari berlalu Imel selalu kebingungan dalam mengambil langkah ditambah tetangga mulai berisik di telinga Imel karena seringnya pesan paket dan sang kurir yang selalu disuruh masuk dulu ke kosan karena permintaan Imel. Namun, tetangga menyangka lain.
Lalu bagaimana perjalanan kisah Imel dan Alva?
Berlanjut sampai dekat dan menikah atau hanya sebatas pelanggan dan pengantar?
Hi hi, ikuti aja kisahnya biar ga penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Basarili Kadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiba-tiba Lamaran
Semua sudah aku kemas dengan rapi tanpa ada yang ketinggalan, ponsel terus berdering ada telepon masuk dari Alva, tetapi aku belum mengangkatnya sama sekali, aku tahu maksud dia apa, oleh karena itu aku malas.
Tin tin tin!
Suara klakson motor berbunyi, aku langsung bersiap menyambutnya. Aku pikir papa ternyata Alva.
"Kenapa gak diangkat-angkat teleponnya?" tanyanya langsung turun dari motor.
"Aku sibuk, lagi pula mau ngapain ke sini kan aku mau pulang!" tegasku ketus.
"Mau ngikutin kamu dari belakang."
"Bisa gak, sih, diem aja di sini gak usah ikut, atau minimal pulang lagi aja deh, bentar lagi papa ke sini!" marahku mengusir, karena sudah sangat panik takut papa keburu datang di saat Alva masih berada di depan kos ku.
"Santai aja, gapapa kok. Gak akan marah."
Ckkk!
Aku berdecak kesal mendengar pernyataannya, apa mungkin ini juga rencananya yang dari kemarin bilang melamar-melamar gitu. Tapi tidak mungkin, bagaimana dia tahu alamat rumahku dan jika itu terjadi berarti dia sudah tahu dong siapa aku?
"Please, A. Jangan ngikutin aku, lebih baik pulang aja. Aku pusing, jangan tambah beban lagi," keluhku merengek.
"Tapi Aal cuma pengen tahu alamat kamu di mana, rumah kamu di mana."
"Tapi, nanti juga tahu. Please untuk saat ini jangan dulu, aku takut."
"Segitunya?"
"Iya."
"Akan kuusahakan segera, agar kamu terbebas," ucapnya seraya menyalakan mesin motornya dan melaju meninggalkan kos-ku.
Bukan jahat, tapi ya bagaimana lagi. Aku takut jika nantinya Alva kena imbas dan aku pun kena marah, lebih baik cari aman saja. Lagipula ada apa sih, dadakan banget harus pulang sampai aku minta izin lagi ke sekolah.
Aku duduk di teras luar sambil nyemil, aku kembali mendengar deru motor ke arah sini dan ternyata papa sudah datang.
"Sudah siap-siapnya?" tanya Papa tanpa turun dari motor.
"Sudah," jawabku sambil masuk mengambil tas dan mengunci kos.
***
Aku melempar tas dan merebahkan tubuhku di kursi, rasanya sangat lelah sekali dan panas juga karena dari sana jam 8 pagi dan sekarang pas sampai di rumah sudah siang aja.
Mama berjalan gontai menghampiriku sambil membawakan minuman dingin, adikku yang bungsu mengambil tasku dan mengecek semuanya, aku sudah terbiasa jika pulang pasti membawa makanan atau apa pun, jadi suka diburu oleh adik bungsu.
"Tuh minum dulu biar seger," kata mamah seraya duduk.
"Iya," jawabku mengangkat tubuh untuk duduk.
"Mah, ada apa sih sampai harus pulang segala?" tanyaku penasaran sambil meneguk minuman rasa melon.
"Ada laki-laki datang ke sini waktu itu sama uwa haji, katanya mau ngelamar Imel."
"Hah! Ngelamar?"
"Heem."
"Siapa?"
"Ya mama gak tahu, katanya mau datang lagi sore ini."
"Bentar lagi dong."
"Nya enya atuh."
(Ya iya atuh).
"Tapi mah, Imel ... udah punya cowok lain."
"Siapa? Pangkatnya apa? Kerjanya apa?"
"Hanya kurir sih, tapi ... gak taulah."
"Ah mending sama ini aja, dia PNS kerja."
"Tapi yakin bakalan seneng kalau Imel sama dia? Belum tentu juga kan Imel bahagia."
"Heem, tapi gak tahu lah mama mah, kan papa kamu yang atur bukan mama. Kalau mama mah sih terserah kamu, tapi kan yang punya kuasanya papa."
Aku mengepal tangan kesal. Sampai kapan sih aku hidup dalam pilihan orang tua? Aku juga punya pilihan, aku juga punya keinginan.
"Yaudah lah, Imel mah mau ke kamar," kataku meninggalkan mama sendiri di kursi ruang tamu.
Di rumahku tidak ada yang menyebut aku kamu ya, jadi langsung saja menyebut nama untuk kita para anak, kecuali panggilan untuk menghormati, seperti adikku ke aku menyebut teteh, tapi tidak dengan adik bungsuku yang langsung menyebut nama ke adik pertamaku.
Saat aku ingin merebahkan tubuhku di kasur, adikku yang sedang kuliah dan juga ngurus outlet Rumah Kuliner yang merupakan bisnisku di bidang kuliner yang dipegang oleh dia karena dia pintar memasak.
"Naon?"
(Apa)? tanyaku sedikit ketus.
"Yuy, biasa we."
(Yuy, biasa aja kali)
"Ya udah, iya apa?"
"Teteh mau dilamar ya? Cieee udah mau nikah nih," ledeknya dari balik telepon.
"Apaan sih, enggak."
"Gapapa atuh teh, masa iya mau single terus sampai tua, ih amit-amit."
"Ya amit-amit lah single sampai tua, tapi kan ya minimal kita punya pilihan, lah ini dilamar orang gak dikenal, ya kali semangat."
"Ya daripada nungguin orang yang ga jelas, kaya dikasih kepastian aja sama orang-orang sebelumnya."
Dih, omongan dia benar-benar membuatku kesal, ya memang benar tapi ya gak gitu juga kali.
"Tau ah, mau ngapain sih nelpon-nelpon?"
"Yuy, biasa we atuh. Nia mau pulang, kan nanti mau ada acara di rumah."
"Terus?"
"Ya jemputlah sama teteh pake mobil, soalnya banyak yang mau dibawa, nih!"
"Bawa apaan sih, ah, kan teteh aja dijemput papa pake motor."
"Ya ini mah banyak, bawa makanan seabreg sekalian buat tamu, sama papa juga udah bilang."
"Nyaho cape teu? aing teh cape atuh, Nia,"
rengekku bercanda, tapi aku tidak marah.
(Tahu cape gak? Gue tuh cape atuh, Nia).
"He he, gapapa lah. Dah biasa juga, kan?" Dia tertawa di balik telepon.
"Ya sudah, jemput kapan?"
"Nanti aja jam satu."
"Oke." Aku menutup teleponnya.
Untungnya ke tempat dia hanya memakan waktu satu jam setengah, jadi keburu lah untuk siap-siap di rumah juga. Lagian ga akan mungkin datangnya setelah asar, pasti sekitaran jam 4 atau bahkan jam lima menjelang magrib, ah biasanya juga setelah magrib kalau mau lamaran, ah kayak iya mau diterima aja.
Sekarang masih setengah satu, aku kembali merebahkan tubuhku sebelum aku menjemputnya. Santai aja lah, kayak iya mau nerima lamaran orang aja, kan gak kenal. Mending kalau Alva yang ngelamar, ya sudah aku terima aja, tapi kan ini bukan, mungkin tapi. Soalnya aku gak tahu kalau misal ada plot twist kalau Alva adalah saudara adiknya uwa.
***
Jam dinding sudah berbunyi menandakan waktu sudah berada di titik pas, tepat sekali sekarang sudah jam satu siang. Aku bergegas berangkat untuk menjemput Nia. Aku pamitan sama mama dan juga papa.
"Hati-hati, langsung pulang ya, jangan main-main dulu," kata papa.
"Oke siap."
Aku menyalami tangan mereka dan langsung mengemudi.
Di perjalanan aku kepikiran dengan Alva, rasanya tidak enak sekali hati ini setelah mengusir dia. Semoga saja dia tidak marah, tapi bagaimana ya jika aku menerima lamaran orang lain, kalung ini apa harus aku kembalikan?
"Duh, Alva ... kenapa sih kamu tuh harus jadi kurir? Kenapa gak dosen aja gitu atau pengusaha atau apa kek asalkan jangan kurir gitu, orang tuaku terlalu pemilih Aal :v." Aku bermonolog selama perjalanan.
Tidak kebayang jika nanti Alva juga melamar terus ditolak sama orang tuaku, ah aku tidak terima rasanya. Bagaimana kalau aku tiba-tiba kambuh di saat aku tidak siap untuk menerima segalanya.
Aku juga tidak nyaman seperti ini, tapi bukan berarti orang-orang sebelumnya sama seperti Alva kemudian tidak diterima. Bukan sih, melainkan merekanya aja yang tidak mau bersamaku karena tidak bisa diajak jalan kan, akhirnya mereka selingkuh dan nikah sama orang lain wkwk.
***
Aku pun sampai di kosan Nia. Dia sudah menjajarkan semua barang bawaannya.
"Astagaaa, banyak amat sih, Nia."
"He he, biar orang nyaman di rumah kita," timpalnya nyengir.
"Ya sudah masukin semuanya ke bagasi."
"Ya bantuin atuh sama teteh."
"Yey, sudah minta jemput ngerepotin pula."
"He he." Dia kembali tertawa.
Mungkin karena kita sangat dekat dan sering bercanda, menjadi adik kakak pun tidak ada kecanggungan, ya lagi pula untuk apa canggung kayak pisah rumah aja dari kecil. Tapi kan kata orang ada adik kakak yang sering berantem, bertengkar hebat sampai tidak akur. Iya, memang tapi tidak berlaku buatku bersama adikku, beda lagi kalau adikku bersama sang bungsu ya mereka sering berantem tapi sering bercanda juga, kalau musuhan tidak ya, apalagi canggung-canggungan, tidak ada dalam buku keluarga kami. Kadang aku pun selalu dibuat pusing ketika adik dan bungsu bertengkar di rumah terus setelahnya bercanda dengan heboh, berisik sekali.
"Sudah dimasukin semuanya? Gak ada yang tertinggal?" tanyaku memastikan takut ada barang yang tertinggal.
"Sudah."
"Ya sudah, ayo masuk. Keburu papa ngomel," kataku.
"Hemmh." Dia langsung masuk dan duduk di sampingku.
"Teh, deg-degan engga sih mau di lamar?" tanyanya.
"Engga," jawabku sambil mengemudi.
"Kenapa?"
"Ngapain degdegan, kenal juga engga."
"Tapi kan kalau dilamar itu bentar lagi mau nikah, masa gak degdegan."
"Ngapain, kayak yakin mau nerima aja."
"Emang teteh gak bakalan nerima?"
"Gimana nanti aja."
"Atau ada orang lain ya di hidup teteh?" Dia memiringkan kepalanya sambil menatapku dari bawah.
"Apaan sih, tapi ya memang ada. Bahkan sudah ngasih kalung."
"What, kalung? Mana-mana Nia lihat mana?" tanya dia antusias.
"Nih," kataku sambil menyingkap kerudungku.
"Wiiih nama teteh yang dikasihnya ya, kok bisa sampai gitu sih?"
"Panjanglah ceritanya."
Selama perjalanan aku terus mengobrol bersama adikku membicarakan Alva karena dia bertanya soal itu dan kekeh untuk menceritakannya, aku pun bercerita sampai akhirnya kita juga sampai di rumah.
Barang-barang sudah diangkut sama Bi Jiah-pembantuku di rumah, tetapi entah kapan di datang, soalnya katanya sudah seminggu pulang kampung karena ada yang harus diurus di rumah dan sekarang dia sudah ada lagi di sini.
"Bibi kapan ke sini?" tanyaku.
"Barusan, Neng."
"Eh yaudah atuh istirahat aja, Bi. Biar Imel aja yang masukin ke rumah sama Nia, nih."
"Iya, Bi." Nia menimpali.
"Gapapa, Neng. Ini tugas bibi," kata Bi Jiah kekeh.
Ya sudahlah kalau begitu, tadinya kan aku kasihan gitu sama dia karena katanya baru sampai juga.
Pas ketika aku membuka pintu, semua makanan sudah berjajar di ruang tamu, full banget sampai kursi di simpan di ruangan lain.
Emang mau seramai apa sih? Kayak yakin aja mau diterima.
***
Magrib sudah tiba, mereka masih juga belum datang, aku pun masih duduk santai di kamar sambil merias diri setelah mandi dan shalat selesai.
Kataku juga apa, dah pasti datangnya setelah magrib karena biar dihadiri orang banyak apalagi bapak-bapak setelah zikir di masjid.
"Neng, bapak manggil!" panggil Bi Jiah.
"Iya, Bi." seruku.
Aku pun buru-buru bergegas memakai kerudung dan langsung ke ruang tamu. Ramai sekali di sana, sampai aku pun malu untuk melangkah. Tapi bodo amatlah, aku pun berjalan dengan santai menemui mereka.
"Pah, jujur sama Imel. Apa dia yang mau melamar Imel?" tanyaku pada papa kecewa.
"Iya."
"What!"