Pernikahan seharusnya membuka lembaran yang manis. Tapi tidak bagi Nayara, dia menyimpan rahasia kelam yang akhirnya merenggut kebahagiaannya.
Suaminya membencinya, rumah tangganya hampa, dan hatinya terus terjerat rasa bersalah.
Hingga suatu hari sumber masalahnya sendiri datang dan berdiri dihadapannya, laki-laki yang kini memperkenalkannya sebagai sopir pribadi.
“Sudah aku katakan bukan. Kamu milikku! Aku tidak akan segan mengejarmu jika kau berani meninggalkanku.”
Apakah Nayara akan mempertahankan rumah tangganya yang hampa atau kembali pada seseorang dimasa lalu meski luka yang ia torehkan masih menganga dihatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila_Anta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Brakkk!
Pintu terbuka lebar. Pak Wisnu berdiri di ambang pintu dengan mata memerah. "Setan apa yang merasuki mu, hah?!" sergahnya.
Dev terlihat santai bahkan tidak berniat menoleh sedikitpun pada ayahnya yang kini berdiri di belakangnya.
"Sejak kapan kau berani membantah ayah? Apa kau mau menjadi anak yang tidak tau diri?" cecar nya.
Melihat putranya yang tidak memberikan reaksi apapun membuat pak Wisnu geram. Laki-laki paruh baya itu menarik bahu membalikkan tubuh Dev dengan kasar. "Jawab, Dev! Aku bicara padamu!" Suaranya menggelegar memenuhi langit-langit kamar.
"Aku bukan bonekamu, ayah," cicit Dev.
"Apa maksud mu?" Tatapan pak Wisnu terhunus.
"Kau selalu mengira aku ini bonekamu, bukan? Aku yang harus menuruti semua keinginanmu. Kau yang selalu memaksakan kehendak mu padaku. Kau bahkan mengusik seseorang yang aku cintai. Dan ya, selama ini kau berhasil melakukannya dibawah kendalimu. Tapi sekarang, giliranku melakukan atas kehendak ku sendiri," jawab Dev panjang lebar.
"Karena aku ini ayahmu. Aku tau apa yang terbaik untukmu."
Dev menarik sudut bibirnya. "Termasuk mengelabui seorang gadis polos agar pergi dari hidupku, begitu?"
Deg.
Laki-laki paruh baya itu tahu kemana arah pembicaraan putranya saat ini.
"Jika untuk urusan perusahaan, aku akan bersedia mematuhi mu ayah. Tapi. . . Kau sudah mengusik seseorang yang begitu berarti dalam hidupku. Karena ulahmu itu, aku menderita selama ini."
Bagai tersambar petir. Pak Wisnu tidak pernah mengira putranya akan berbicara seperti itu hanya karena seorang gadis yang menurutnya sangat tidak berarti bagi kehidupan Dev kedepannya.
"Dia hanya gadis desa yang tidak tau apa-apa. Dia akan menjadi hambatan untuk Kesuksesanmu, Dev."
"Cih!" Dev seolah mengolok-olok perkataan ayahnya. "Aku sangat mencintainya."
Kali ini pak Wisnu berkata remeh. "Cinta! Cinta hanya kebodohan yang tidak akan pernah membuatmu menjadi sukses. Hanya orang-orang bodoh yang mengutamakan cinta. Kau tidak akan bahagia jika hanya mengagungkan kata cinta itu."
"Aku bukan dirimu, ayah," sahut Dev. "Kau mungkin bisa meninggalkan seseorang yang kau cintai karena sebuah kesuksesan. Dan memang itulah yang sudah kau lakukan, bukan?" Tersenyum menyeringai.
"DEV!!!"
Matanya membeliak dengan urat leher yang menegang. "Jaga bicaramu. Jangan semakin kurang ajar!"
"Kenapa? Kau ingin mengajarkan ku untuk itu, bukan?" Dev tidak gentar. "Jangan harap! Karena aku tidak akan rela orang yang begitu aku cintai menderita apalagi menetaskan air matanya."
"Aku sudah besar, ayah. Aku bisa mengatur kehidupanku sendiri. Dan urus saja kehidupan dan semua pencapaian ayah," imbuhnya.
Tangan pak Wisnu terkepal sampai urat lengannya menegang. "Jadi, kau merasa sudah besar yah? Apa kau lupa. Kau bisa berada dititik ini, semua berkatku."
"Tentu. Aku sangat berterimakasih untuk hal itu. Tapi, jangan lupa. Aku juga berhak menentukan masa depan seperti apa yang aku inginkan."
Suasana semakin memanas. Meski suhu di ruangan tersebut ber-AC, tapi tidak dapat mendinginkan amarah dari keduanya. Kekecewaan yang selama ini dipendam oleh Dev, akhirnya bisa ia keluarkan.
"Apa kau bersikap seperti ini karena gadis itu?" Suaranya mulai melemah. "Kau tau, bahkan gadis itu sudah menikah dengan laki-laki lain. Kau sudah tidak mempunyai harapan. Jadi berhentilah berulah. Dan kembalilah pada jalan yang seharusnya. Nikahi putri pak Handoko dan berjayalah seperti impian ayah."
Percuma bersikap keras pada putranya. Karena ia tahu, sifatnya tersebut adalah cerminannya sendiri.
"Aku sudah bilang, aku bukan ayah. Meski darahmu mengalir di tubuhku. Tapi aku tidak ingin menjadi sepertimu," jawabnya tegas.
"Dev, jangan memancing kemarahan ayah. Jika kau tidak ingin menyesal."
Bukannya takut. Pemuda itu sama sekali tidak terlihat gentar. "Kenapa? Apa kau mau mengambil semua yang telah kau berikan?"
"Benar. Aku bisa saja mencabut hakmu sebagai ahli warisku. Termasuk mengambil kembali jabatanmu di perusahaan."
Laki-laki paruh baya itu yakin, Dev akan takut dengan gertakannya.
Pak Wisnu tidak tahu situasi. Ia bahkan tidak tahu kalau sejak tadi, lawan bicaranya tersebut sedang mengemasi pakaiannya.
Dan sekarang Dev bahkan sudah menarik koper yang sudah dipenuhi barang-barang pribadinya.
"Sesuai keinginan ayah. Aku akan pergi dan meninggalkan semua hak yang sudah ayah berikan padaku. Apa dengan begitu, aku juga akan terlepas dari ego ayah?" Dev kini berdiri tepat di hadapan ayahnya.
Amarah pak Wisnu sudah tak terbendung lagi. "Pergilah! Dan ayah pastikan kau akan menyesal."
Dev tersenyum remeh. "Kita lihat saja, siapa yang akan menyesal diantara kita." Pemuda itu melenggang meninggalkan ayahnya yang diam mematung.
Sebelum menghilang di balik pintu. Dev sempat berbalik dan mengucapkan kata pamungkasnya.
"Ayah harus lebih berusaha keras untuk membuat istri keduamu melahirkan seorang putra. Dengan begitu, kau tidak perlu memaksakan kehendak mu lagi padaku. Semoga kau berhasil, ayah."
Itu bukan nasihat. Tapi sebuah ejekan yang Dev lontarkan untuk ayahnya. Ia yakin, ini harga yang pantas untuk sesuatu yang sudah ayahnya lakukan pada seseorang yang begitu ia cintai.
Akan sangat tidak bermoral jika Dev melampiaskan kekecewaan pada ayahnya dengan baku hantam. Mungkin dengan cara seperti ini, pak Wisnu merasa harga dirinya terluka sebagai seorang ayah. Dan Dev berharap, ayahnya akan sedikit menurunkan egonya karena semua sesuatu tidak mungkin berjalan sesuai keinginannya saja.
Laki-laki paruh baya itu hanya tertegun setelah kepergian putranya. Untuk saat ini, hawa panas dalam dadanya masih bergolak seperti air mendidih.
Dev mengayunkan kakinya dengan ringan seperti tanpa hambatan. Hingga suara cempreng seorang gadis menghentikan langkahnya. "Kak, mau kemana?"
Melihat kakaknya yang berjalan ke arah pintu dengan menarik sebuah koper membuat Miska tidak bisa tinggal diam.
Dev membalikkan badan terlihat tenang.
"Kak, kenapa kau bawa koper segala. Emangnya kakak mau kemana?" Kini berdiri tepat di hadapannya. "Jangan bilang, karena kakak berantem sama ayah, jadi mau pergi dari rumah ini," tebak Miska.
Dev tersenyum lembut. "Rupanya kau sudah besar. Jadi kau bisa membaca situasi," cicitnya.
"Jadi benar, kau mau pergi dan rela meninggalkan adikmu yang menggemaskan ini, hah?" Gadis itu berkacak pinggang.
Dev mengulas senyumnya. "Jika sudah besar, kau akan tau apa yang sedang aku lakukan sekarang. Dan saat itu kau bisa memahami ku," paparnya.
"Gak bisa! Kau gak bisa meninggalkanku. Tidak boleh! Siapa yang akan mengejek dan menggangguku lagi, jika bukan diriku, hiks. . ." Gadis itu sudah berurai air mata.
Dev mengusap lembut pucuk kepala adik perempuannya. Meski berbeda ibu, tapi ia begitu menyayanginya. Dan Miska pun benar-benar bersyukur punya kakak seperti Dev.
Nyonya Mira yang sedang berada di dapur mendengar keributan dan suara tangisan putrinya di depan pintu utama.
"Ada apa ini? Kenapa dengan kalian?" Serunya keluar dari dapur menghampiri keduanya.
"Dev, mau kemana? Kenapa bawa koper segala? Dan kenapa adikmu menangis seperti ini?" tanyanya cemas.
"Ma, kak Dev mau meninggalkan rumah. Cegah dia, ma." Miska merengek seperti anak kecil.
Nyonya Mira mengerutkan keningnya. "Apa benar, Dev?"
Pemuda itu mengangguk. "Maafkan saya. Saya harus menempuh jalan sendiri. Dan maaf, selama ini hanya bisa merepotkan mu."
"Dev, kau tidak bisa melakukan ini. Bagaimana dengan ayahmu. Dia begitu menaruh harapan besar terhadapmu."
"Saya lelah. Dan saya tidak bisa menerima semua ego beliau. Saya akan menentukan jalan hidup saya sendiri."
"Kenapa kamu melakukan hal ini?"
Dev menarik nafasnya dalam. "Ayah sudah berusaha menjauhkan saya dengan seseorang yang sangat berarti dalam hidup saya. Karena ulahnya, gadis yang saya cintai pergi meninggalkan saya. Dan saya tidak bisa menerima hal itu," papar Dev yang membuat Nyonya Mira menarik nafasnya kasar.
"Lalu bagaimana dengan perusahaan. Bukankah itu sudah menjadi tanggung jawabmu? Aku bahkan sudah merelakan itu untukmu."
"Percayalah, jika Tuhan sudah mentakdirkan sesuatu untukku. Maka sesuatu itu akan kembali padaku. Dan untuk saat ini, aku juga ingin memperjuangkan sesuatu yang yang juga begitu berharga untukku."
Nyonya Mira mengangguk. Sepertinya beliau bisa memahami keinginan putra sambungnya tersebut.
"Baiklah. Jika itu keputusanmu. Aku cuma mendoakan, semoga kau bisa mencapai semua keinginanmu. Dan jangan pernah lupa, pintu rumah ini selalu terbuka untukmu," ucapnya tulus.
"Terimakasih."
Mau tidak mau Miska pun harus merelakan kepergian kakaknya meski dengan bujukan Nyonya Mira.