Berawal dari pembelian paket COD cek dulu, Imel seorang guru honorer bertemu dengan kurir yang bernama Alva.
Setiap kali pesan, kurir yang mengantar paketnya selalu Alva bukan yang lain, hari demi hari berlalu Imel selalu kebingungan dalam mengambil langkah ditambah tetangga mulai berisik di telinga Imel karena seringnya pesan paket dan sang kurir yang selalu disuruh masuk dulu ke kosan karena permintaan Imel. Namun, tetangga menyangka lain.
Lalu bagaimana perjalanan kisah Imel dan Alva?
Berlanjut sampai dekat dan menikah atau hanya sebatas pelanggan dan pengantar?
Hi hi, ikuti aja kisahnya biar ga penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Basarili Kadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Alva?
"Kenapa, Mel?" tanya papa.
Aku diam mematung menatap semua tamu di sini termasuk orang yang akan melamarku itu.
Papa menghampiri mereka seraya menyalami kedua orang tua dari pihak lelaki, sekaligus uwa haji dan uwa hajah di sana.
"Ayo duduk sini, di sebelah mamah!" Ajak mama yang berada di sebelah papa.
"Emhhh ... A ...." Apa? Aku bingung harus bagaimana!
"Ayo cepet sini, buru atuh!" Papa sudah meninggikan suaranya menandakan dia sudah mau marah atau geram.
Aku pun buru-buru menghampiri, kedua adikku sudah duduk di antara mereka.
"Jadi gini, Neng. Uwa teh dikabarin sama si Adi-adek ipar uwa, dia bilang kalau saudaranya suka sama Neng dan mau melamar Neng, sekalian ini orang tuanya juga ikut datang, masa iya mau lamaran gak bawa orang tua kan?"
"Iya, tapi gak harus bawa se-RT juga kali?" rutukku dalam hati.
"Kalian sudah saling mengenal kan, ya?" tanya ibunya.
Aku tersenyum paksa dibuatnya.
"Gimana atuh Pak Ardi, mau dimulai sekarang?" tanya Uwa Haji kepadanya.
Apa? Apa yang dimulai sekarang? Aku kikuk, tanganku tidak bisa diam, apalagi kepalaku yang mengarah ke kiri ke kanan, mataku menoleh ke sana ke mari, berharap ada keajaiban atau aku yang mengeluarkan kata penolakan. Ya, aku harus berani menolak jika tidak suka.
"Bu Imel?" Panggilnya.
Aku menoleh menatapnya, suaranya dibuat lembut olehnya, tapi aku tetap tidak suka.
Orang tua Pak Ardi saling berbisik, mereka tersenyum ke arahku, aku membalasnya. Begitu juga dengan Uwa Haji yang mengajak ngobrol orang tuaku.
Aduh, mimpi buruk apa semalam sampai aku begini sekarang.
"Cepetan atuh Jang ngomong!" titah orang tuanya.
"Bu, kedatangan kami sekeluarga kemari memiliki niat baik, yaitu saya ingin melamar Bu Imel, bagaimana, Bu? Diterima atau tidak?" tanya Pak Ardi.
Adeuh, aku harus jawab apa ini? Aku kebingungan dengan pertanyaannya, padahal mudah tinggal iya atau tidak, tapi tidak semudah itu ternyata.
"Gimana?" tanya Papa.
Aku berbisik ke papa kalau aku sudah punya pacar. Papa pun kaget sampai membulatkan matanya.
"Ya gapapa atuh kan belum dilamar, cari yang pasti-pasti aja," jawabnya di depan semua orang membuat diriku semakin malu.
"Maaf Pak Ardi, saya tidak punya jawaban." Kepalang malu, aku pun lari dari perkumpulan itu, aku ke kamar dan aku juga tidak tahu api membara apa yang akan orang tua lontarkan padaku, aku tidak peduli tapi aku juga takut.
Pak Ardi? Kenapa Pak Ardi nekad datang mentang-mentang masih keluarga uwa, padahal Pak Ardi juga tahu sendiri kalau aku tidak suka. Menyebalkan, ini terlalu menyebalkan.
Aku berlari ke kamar sambil mengunci pintu, aku menangis meski aku tidak sakit hati.
"Heh, Mel. Buka pintunya, yang sopan dong kalau sama orang! Emang pilihan kamu seperti apa sih hah!" Papa sudah mulai marah dari luar seraya mengetuk pintu kamar.
"Imel gak suka dia, Pa. Gak suka!"
"Tapi dia PNS!"
"Tapi gak bakalan menjamin Imel bahagia lahir dan batin!"
Kita saling beradu mulut bahkan kata-kata kasar pun terdengar jelas. Jika hal itu terdengar, sungguh aku tambah malu.
"Buruan keluar!" Papa kembali meninggikan suaranya.
Aku pun keluar dengan wajah sembab seraya menyeka air mata.
"Ulah bedegong, nanaon teh makarep sorangan!"
(Jangan bandel, apa-apa tuh terserah sendiri!)"
"Tapi Imel gak suka dia!"
"Tapi dia setara sama kamu, PNS dan punya bisnis juga."
Aku mendelik mendengarnya, harus banget gitu sama PNS dan punya bisnis juga? Tapi bukan tentang itu melainkan tentang hatiku yang menolak keberadaan dia. Kalau aku suka mah ya gapapa, masalahnya aku gak suka.
Apa mungkin ini alasan Alva ingin segera melamarku? Tapi jika pun iya Alva lebih dulu datang ke sini, apa mereka akan menerimanya?
Aku kembali duduk di hadapan Pak Ardi, aku menatap wajahnya dengan sebal, mataku membulat ke arahnya seakan ingin menerkam, tapi Pak Ardi malah melemparkan senyuman.
"Gapapa, Bu. Jika belum ada jawaban, saya paham, kok."
"Iya, kan Pak Ardi juga tahu gimana saya kalau di sekolah!"
"Iya, tahu."
"Bu Imel ini sulit banget buat didekatin, Pak. Makanya saya lebih memilih langsung melamar saja, siapa tahu bapa dan ibu berkenan menerima lamaran saya," ucap Pak Ardi ke orang tuaku.
Sontak aku menatap mereka, apa-apaan ini? Tidak adil, haruskah mereka yang menerimanya? Harusnya aku, aku loh yang harus menerima atau pun menolak, kenapa harus mereka.
"Tentu saja, Jang Ardi. Kami orang tua dari Imel, menerima lamaran Ujang."
"Apa!? Ya gak bisa gitu dong! Kok sepihak, kan Imel belum menerima atau pun menolak, Pa!" Aku meninggikan suara di depan semua orang, aku gak peduli dengan tanggapan mereka, lagipula rasanya aku berada di posisi yang benar.
"Sudah, diam!" tegas papa dengan tatapan tajam.
"Emangnya Pak Ardi ini siapa, kenapa bisa kenal dengan uwa?" tanyaku lantang seperti tidak sopan.
"Kan tadi sudah tahu, kalau saya saudaranya dari adik iparnya uwa haji. Bisa dibilang saya masih saudara juga sama uwa haji tetapi melalui uwa hajah."
Emh, apakah ini maksud dari para uwaku menyuruhku ngajar di kota K, agar aku bisa berjodoh dengan saudara mereka, dan apakah kalian tahu kalau Pak Kepsek itu adalah adiknya uwa hajah. Aku memang sudah tahu sebelumnya, tetapi aku tidak tahu jika Pak Ardi adalah saudaranya.
Aku bersaudaraan dengan uwa haji, jadi aku tidak mengenal keluarga dari uwa hajah.
"Hmm, Pak Ardi?" panggilku.
"Iya." Dia menjawab dengan lembut.
"Pak Ardi senang banget, ya, diterima lamarannya?"
"Tentu lah, Bu. Tah, itu adalah keinginan saya."
"Jika lamarannya ditolak saya bagaimana?"
Plak!
Papa menepuk pahaku dengan sangat keras.
"Apa-apaan kayak gitu!?"
"Ya, kan yang nerima papa sama mama, Imel kan belum terima Pak Ardi."
"Tapi, Neng. Kalau sudah diterima sama orang tua berarti lamarannya sudah diterima," ucap Uwa.
Ok! Kali ini Pak Ardi menang, silahkan tertawa sepuasnya, tapi aku yakin dengan seyakin-yakinnya, Pak Ardi memilihku bukan dasar suka, melainkan ingin cepat menikah saja.
"Oke ya sudah, tapi Imel gak mau pake cincinnya, lamaran juga bisa batal di lain hari bukan?" tanyaku ke Pak Ardi.
"Hmmm." Dia menjawab dengan deheman.
"Teu sopan!" Sinis papa ke arahku.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nanti malam aku dihajar habis-habisan.
"Pak Ardi jadi tahu dong siapa saya?"
"Iya, sudah tahu semuanya dari uwa."
"Emh ok, tapi jangan dibilang siapa-siapa, ya."
"Iya, Bu. Siap!"
Pak Ardi mungkin baik, tapi aku tidak yakin dengan hatiku, please bagaimana caranya aku membuka hati?
"Pak Ardi?"
"Iya."
"Pak Ardi tahu kan kalau saya tidak suka sama bapak?" tanyaku pelan.
"Iya, tapi itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu."
"Pak Ardi juga tidak suka saya 'kan?"
"Kata siapa? Suka kok suka."
Apaan jawabannya begitu? Kenapa tidak menjawab "Alhamdulillah sejauh ini saya tetap suka sama Bu Imel sejak pertama bertemu, percaya atau pun tidak saya benar-benar suka dan jatuh cinta." Bukan jawab seperti tadi, kayak takut banget ketahuan gak cintanya.
"Oh!"
Aku beranjak berdiri dan kembali ke kamar.
"Imel!" Panggil papa dengan penuh penekanan.
"Ladeni aja sama papa, lamarannya juga diterima papa bukan Imel!"
Aku berjalan ke kamar lagi sembari menangis sesenggukan, berkali-kali aku mengomel membawa nama Pak Ardi, karena dia sampai membuatku begini.
***
Waktu sudah menunjukkan jam delapan, para tamu sudah mulai pulang. Aku dipanggil papa ke ruangan tamu dan di sanalah pertempuran pun dimulai.
"Kamu ini sekolah apa enggak? Tahu sopan santun atau enggak, hah!?" bentak papa marah.
"Aku tahu sopan santun, tapi yang berada di hadapanku bukan orang yang aku mau!"
"Siapa yang kamu mau itu hah? Kurir? Mau makan apa kamu sama kurir, makan cinta? Terus kamu yang tanggung biaya hidupnya? Mikir dong jadi perempuan teh!" Papa kembali meninggikan suaranya. Darimana dia tahu aku dekat dengan kurir? Apa mungkin dari mama?
"Tapi setidaknya dia baik, lemah lembut, gak pemarah!"
"Emang Pak Ardi pemarah?"
"Papa gak tahu Pak Ardi kayak gimana? Dia bisa dekat dengan siapa saja tapi dia juga memilih aku untuk jadi istrinya? Apa jadinya nanti kalau aku menikah dengannya, diselingkuhi!?"
"Mikir atuh, disakolakeun teh ku saha, kolot mah hayang teh anak bungah jeung nu satarana!"
(Mikir atuh, disekolahin itu sama siapa orang tua mah pengen anak bahagia sama yang setaranya.)
"Tapi kalau setara tidak membuatku bahagia gimana, Pa?"
Aku kembali bertanya dengan suara parau, entah aku harus mengalah atau aku menang, haruskah aku meminta Alva untuk datang atau biarkan saja Alva menjadi kenangan.
"Jangan jadi anak durhaka atuh, nurut dong kalau sama orang tua. Gak disekolahin, gak dibiayain, kamu gak akan hidup sampai sekarang!"
Heuh? Ha ha, iya emang benar, aku tidak akan hidup jika tidak dibiayai orang tua, tidak juga pintar jika tidak disekolahin, tapi aku juga punya pilihan, kenapa pilihanku pun harus berada di tangan orang tua?
"Terserah papa, lah. Aku cape!" Aku melengos kembali pergi ke kamar.
"Nah gini kelakuan anak kamu, gak jauh beda sama ibunya!" kata-kata itu kembali terlontar ke mama.
Lalu aku harus bagaimana? Ketika aku salah yang disalahkan itu mama, apa pun itu tentangku atau tentang adikku, mama lah yang jadi sasarannya, kadang aku bingung harus bertindak apa. Ujungnya nanti aku pun dimarahi oleh mama dan aku harus nurut dengan papa.
***
Hari sudah larut malam, aku masih berteman dengan tangisan, aku menatap layar ponsel ingin menghubungi Alva tapi aku takut mengganggunya karena di jam ini semua orang pun tidur.
Entah aku yang gila, salah, atau memang orang tuaku yang benar dan aku yang bebal alias bandel. Tapi aku benar tidak yakin dengan Pak Ardi, aku bahkan yakin suatu saat kebenaran akan terungkap untuk menjadi sebuah alasan, feeling ku tidak akan melesat dalam meyakinkan hati.
Alva, aku bahkan tidak percaya Alva orang biasa, tapi aku juga tidak tahu siapa dia. Namun, untuk sekarang apa yang dia katakan benar, aku nyaman dan aku hampir selalu dibuat tantrum ketika pesanku tidak dibalas.
Tutt ... Tutt ...!
"Halo!"
"Aal!"
"Lah, Neng kenapa nangis?" tanya Alva panik.
"Aal kok, belum tidur?" tanyaku parau.
"Aal masih sibuk banyak pekerjaan."
Alasan itu semakin membuatku yakin kalau Alva bukan hanya seorang kurir, tapi meskipun hanya kurir aku gak masalah selagi dia bisa membimbingku, apa mungkin dia atasan kurir? Mungkin iya hi hi.
"Ooh gitu, jadi aku ganggu?"
"Enggak kok, Neng. Ayo cerita sama Aal, Neng kenapa?"
"Aku ... aku pengen kabur," ucapku tersendat-sendat.
"Loh, kenapa?"
"Lamar aku A!"
"Ada orang lain yang datang ya?"
"I-iya."
"Pak Ardi?"
Lah kok dia tahu kalau yang datang itu Pak Ardi, Pak Ardi siapanya Alva.
Oh Tuhan, kenapa dunia ini sempit sekali. :((