Auristella Queensha Syahreza
Stella. Primadona sekolah,siapa yang tidak terpesona dengannya? Gadis cantik dan tajir semua orang mengaguminya.
Kenan Alvaro Melviano
Kenan. Mostwanted yang dikagumi para gadis. Tetapi memiliki sifat dingin yang tak tersentuh.
Sebuah keberuntungan bagi stella dapat berpacaran dengan kenan. Lelaki yang menurutnya romantis walaupun terkadang menjadi posesif Namun semua kandas ketika dia tahu bahwa kenan hanya menjadikannya bahan taruhan.
Seperti tidak ada rasa bersalah. Kenan tetaplah kanan,selalu mengekang stella walaupun tidak ada hubungan apa-apa.
🌸
"Gue ngak ijinin lo makan ini."
"Dan gue ngak perlu ijin lo." Sinis Stella.
"Gue ngak suka penolakan."
"Gue ngak perduli."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lailararista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Overprotektif
Langkah Stella meninggalkan café itu seperti menginjak pecahan kaca—sakit, tajam, tapi tetap harus dijalani. Angin sore berhembus, membawa aroma kopi yang kini justru terasa menyiksa. Dari balik kaca gelap mobil hitam itu, Kenan masih menatapnya.
Pintu mobil terbuka, suara klakson pendek membuat Stella menoleh.
“Cepet masuk.” Suara Kenan dingin, tak memberi ruang untuk alasan.
Stella menggenggam erat tas kecilnya, menahan gemetar di jemarinya. Ia tahu, menolak hanya berarti bencana bagi orang-orang yang ia sayangi. Perlahan ia masuk, dan mobil kembali melaju, meninggalkan café yang kini hanya jadi kenangan pahit.
Di dalam mobil, sunyi mencengkram. Kenan menyalakan rokok, asapnya memenuhi ruang sempit, menusuk hidung Stella.
“Pintar.” Kenan membuka percakapan dengan nada rendah. “Lo nurut. Gue suka cewek yang ngerti tempatnya.”
Stella menunduk, memilih diam. Tapi Kenan tak suka diam. Ia menoleh, jemarinya mencengkeram dagu Stella kasar, memaksa wajahnya menatap mata hitam itu.
“Gue tanya, Stel. Lo nurut karena takut atau karena lo tau lo emang udah jadi milik gue?”
Stella menahan nafas, lidahnya kelu.
“Gue takut.” bisiknya. "Takut hidup gue hancur ditangan lo."
Kenan tersenyum miring, matanya menyipit. “Bagus. Takut itu bikin lo hidup. Ingat, bukan lo doang yang bisa gue hancurin. Lo punya keluarga. Lo punya sahabat. Satu kalimat salah dari lo… habis mereka.”
Air mata Stella jatuh, menetes di pipinya.
“Ken… cukup. Gue udah nurut, kan? Lo udah menang. Tolong jangan libatin mereka…”
Kenan tertawa kecil, suara itu membuat bulu kuduknya berdiri. “Menang? Stella, ini bukan soal menang atau kalah. Ini soal kepemilikan. Lo barang gue. Barang nggak pernah boleh kabur dari tuannya.”
Mobil berhenti mendadak di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Stella menelan ludah, jantungnya berdegup tak terkendali. Ada apa ini? Kenapa Kenan membawanya kesini?
“Turun.” perintah Kenan.
Dengan langkah gemetar, Stella menuruti. Stella menatap ke sekelilingnya bau karat dan oli memenuhi udara. Kenan membuka pintu besi gudang, mendorong Stella masuk. Lampu neon redup berkelip-kelip, menerangi ruang yang kosong kecuali sebuah kursi di tengah.
“Duduk.”
Stella menuruti, tubuhnya kaku. Kenan berjalan mengitari kursi, seperti predator mengelilingi mangsanya.
“Lo harus belajar satu hal, Stel. Setiap kali lo mikir mau kabur, inget tempat ini. Karena gue nggak cuma punya lo… gue punya cara buat bikin lo hancur pelan-pelan.”
Ia mengeluarkan ponselnya, lalu menampilkan foto Reza di rumah sakit, dan foto Gavin di depan café.
“Lihat ini. Gue bisa sentuh mereka kapan aja. Sekali jentik jari gue, selesai hidup mereka.”
Stella menatap tajam Kenan. "dari mana lo bisa dapat foto bokap gue?"
Kenan tersenyum miring."itu gak penting, apa pun bisa gue lakuin."
Stella terisak, tangannya menutup mulut agar tak berteriak. Rasa takut itu sudah menjelma jadi mimpi buruk nyata.
“Kenapa lo lakuin ini ke gue…?” suaranya pecah. "Jangan-jangan... Lo yang bikin bokap gue masuk rumah sakit? Iya?"
Kenan terdiam sesaat, lalu menggeleng. "Bukan, buat apa?"
"Jelas ada alasannya, biar gue bergantung sama lo."Stella menunduk menghapus jejak air matanya. "Gue takut, gue takut hidup menderita, cukup uji gue dan keluarga gue..."isaknya.
"Selagi lo nurut, kenapa gue harus bikin lo menderita?"Stella menegakkan wajahnya menatap tajam Kenan dengan mata basah.
"Justru itu yang lo mau sebenarnya kan? Lo mau nyiksa gue kan? Kenapa? Kenapa Ken."
Kenan menunduk, mendekat ke telinganya, berbisik lirih namun tajam.
“Karena rasa takut lo itu candu buat gue.”
Lampu neon berkelip lagi, bayangan Kenan menutupi tubuh Stella yang bergetar. Malam itu, Stella tahu, neraka bukan cuma cerita. Neraka duduk di hadapannya.
★★★
Kantin sekolah siang itu penuh dengan suara riuh siswa yang bercampur aroma makanan. Stella duduk bersama Alexa dan Kiran di salah satu sudut meja, menunggu pesanan mereka datang.
“Aku mau yang pedas banget, ya. Level lima kalau bisa,” ucap Stella kepada penjual dengan nada tegas.
Alexa mengernyit, menatapnya. “Stel, yakin lo? Perut lo kan sering nggak tahan.”
“Gak apa-apa, Lex. Lagi pengin aja,” jawab Stella singkat. Karena masalahnya dengan Kenan, Stella ingin melampiaskan ke makanan pedas. Biar lebih menyala.
Tak jauh dari mereka, Kenan tengah duduk bersama Kendrick, Felix, dan Axel. Awalnya ia tampak santai, namun begitu mendengar Stella memesan makanan pedas, ekspresinya berubah. Ia menatap tajam ke arah meja Stella, seperti tidak suka dengan apa yang didengarnya.
Tak lama, makanan Stella datang, semangkuk mie dengan kuah merah menyala. Stella menyendoknya sedikit, namun sebelum sempat menyuapkan ke mulut, sebuah tangan tiba-tiba meraih mangkuk itu dengan cepat.
“Kenan!” seru Stella kaget.
Kenan meletakkan mangkuk itu ke meja samping, lalu memberi isyarat kepada pelayan untuk membawakan pesanan baru. “Gue udah bilang, jangan makan pedas. Itu nggak baik buat lo.”
Stella menatapnya dengan kesal. “Ken, itu makanan gue. Balikin.”
“Enggak,” jawab Kenan dingin, sambil menunggu pesanan baru datang.
Alexa dan Kiran saling pandang, keduanya jelas merasa canggung melihat kejadian itu. Sementara dari meja sebelah, Kendrick menunduk menahan tawa, Felix berbisik, “Gila, nih orang beneran posesif,” dan Axel hanya menghela napas panjang.
Beberapa menit kemudian, makanan baru datang, semangkuk mie tanpa cabai. Kenan menarik mangkuk itu ke hadapannya, lalu menaruhnya di depan Stella.
“Makan ini.”
“Gue gak mau. gue pesan yang pedas, bukan ini,” Stella menolak sambil menyingkirkan mangkuk itu.
Kenan tidak menyerah. Ia mengambil sendok, menyuapkan mie itu langsung ke hadapan Stella. “Kalau lo gak mau makan sendiri, gue yang suapin. Mulut lo buka, Stel.”
Stella menatapnya dengan mata berapi-api. “Kenan, jangan kayak gini.”
Kenan mencondongkan tubuh, suaranya rendah namun tegas. “Lo tau gue gak suka lo keras kepala. Gue lakuin ini karena gue peduli. Jadi makan.”
Alexa menahan Stella dengan menyentuh lengannya pelan, berbisik, “Udah, Stel. Jangan bikin ribut di sini.”
Stella terdiam beberapa saat, jantungnya berdebar hebat antara marah dan tertekan. Perlahan, ia menoleh, dan mendapati banyak pasang mata di kantin mulai memperhatikan. Perasaan malu bercampur sesak membuatnya tak berkutik.
Akhirnya, dengan berat hati, Stella membuka mulutnya sedikit. Kenan segera menyuapkan sendok itu, seakan ingin menegaskan pada semua orang bahwa ia masih memiliki kendali penuh atasnya.
Kenan tersenyum tipis setelah itu. “Bagus.”